“Oke, ambil saja, pak. Santai. Tak usah sungkan. Lain waktu, kalau nganggur, main saja kesini pak. Kita ngobrol-ngobrol lagi. haha…”
“Korannya satu, pak. Harga biasa, kan? Hehe…” Sambil ku ulurkan uang receh dari saku celana kiriku.
“Siap, mas.” jawabnya sambil jalan usai menyulut rokok.
“Iya, harga biasa. Ini korannya. Terima kasih untuk rokoknya. Hehe…” imbuhnya sambil menjulurkan koran padaku.
Pak Abidin pun berjalan membelakangiku. Ia lenyap dari pandanganku.
***
Sekilas obrolan tadi kembali terbayang. Ada apa dengan negeriku?
Kadang aku berpikir, untuk apa aku memikirkan itu semua. Toh, yang berhak bersuara, suaranya belum tentu didengar pemerintah. Malah, yang bersuara dikandangkan dalam penjara bawah tanah ukuran 1×2 meter. Lenyap, dengan suksesnya shooting skenario yang disutradarai petugas berbintang.
Tapi, apakah aku harus diam melihat ketidakadilan yang terjadi di tanah kelahiranku ini?
Berbagai wujud tuntutan keadilan, menjadi tontonan berlabel “Hot News”. Penyiksaan diri, alih-alih mengambil hati sang penguasa untuk menegakkan HAM pun jadi suguhan media. Macam koran ini salah satunya.
Aku sadar, dibawah hanya bisa bersuara. Didengar pemerintah yang tugasnya memerintah—memegang kendali pemerintahan—menjadi harapan nomor wahid. Tanpa perintahnya, kita tak bisa berbuat apa-apa selain hanya bersuara.
***