Mohon tunggu...
Subiharto (Bejo)
Subiharto (Bejo) Mohon Tunggu... -

Aku akrab disapa Bejo. Tapi, aku tetap saja Aku. Aku bukan kamu, begitu pula sebaliknya. Aku hanya seorang manusia yang sedang belajar "memahami hidup" dan yang Aku mulai dari mencari tahu "tentang kehidupan." Mencoba menata barisan huruf menjadi kata, kalimat, paragraf, dan hingga bisa disebut tulisan (opini, essai, dll) aku jadikan bagian hidupku menjalani kehidupan ini. Kiranya, itulah Aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Uneg-uneg dari Teras

27 Desember 2011   20:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini cukup cerah. Aku duduk bersandar di teras rumah. Sajian kopi buatan emak selalu jadi penyemangat awal hari-hariku. Sebatang rokok dan pisang goreng menjadi pelengkap nikmatnya pagi ini. Tinggal dipinggiran kota. Jauh dari lalulalang suara gemuruh angkutan umum jalan raya, membuatku serasa hidup di desa. Ehmmm…. Nikmat sekali pagi ini, batinku.

“Koran-koran”

Terdengar Pak Abidin si penjual koran menawarkan dagangannya.

“Korannya, pak,” Pintaku.

“Iya, mas”

“Kok, tinggal sedikit korannya, sudah muter darimana saja, pak?”

“Alhamdulillah, mas. Tidak tahu kenapa, tadi banyak yang berminat beli koran.”

“Wah…, nyantai no? Memangnya, ada berita hangat apa, hari ini?”

“Nyantai, mas. Ini tinggal nganter ke pelanggan-pelanggan di RT sebelah itu kok. Kalau masalah berita hangat, banyak mas. Tapi, yang paling mendominasi adalah kasus korupsi.”

“Halah…, bosen, pak. Tiap hari kok disuguhi berita korupsi. Dan yang paling menjemukan lagi, kalaupun terungkap, hukumannya juga lebih kejam dari pencuri ayam.”

“Ehmmm….., iya juga sih, mas. Dan info dari koran-koran yang saya baca, antara yang terungkap dan yang tidak, 1000 banding 1, mas. Banyakan yang tak terungkap.”

“Betul itu, pak. Sesaat rame diberitakan penyidikan. Usut punya usut. Ee… tiba-tiba, lenyap dengan sendirinya.” Tegasku.

“Terus, berita menarik yang lain apa, pak?”

“Ada, mas.”

“Salah satu mahasiswa yang ikut demo kemarin meninggal akibat bentrok dengan petugas keamanan dan terkena peluru nyasar…” baca Pak Abidin dari koran yang ia pegang.

“Terus, ini mas, pemerintah belum bertindak apa-apa meski warganya yang bekerja di Arab terbukti dianiaya majikannya hingga tewas. Belum lagi masalah bangunan-bangunan yang menjadi fasilitas umum, yang pada ambruk, banyak makan korban jiwa yang faktanya baru beberapa tahun serah terima. Padahal, setahu saya setiap nominal yang tertera dalam plakat bukti serahterima tertulis anggaran sesuai standart kebutuhan bangunan itu.”

Terbesit pikirankan, teringat beberapa minggu yang lalu ada jembatan putus disaat kendaraan banyak melintas. Mungkin jembatan itu yang dimaksud pak Abidin. Ngeri, memang. Tak ingin aku bicara soal itu. Lebih baik, aku bicara yang di sini saja.

“Aku sendiri juga heran, Pak.” Kataku, “Bapak tahu kan sekolahan di RT sebelah itu. Masak, gedung baru yang ada di depan itu sudah di kosongkan, karena dindingnya sudah retak hingga atas. Dan lantainya juga sudah terbelah. Padalah gedung itu belum ada 3 tahun lho, pak. Sedangkan gedung pertama beridirnya sekolahan itu, yang sekarang dijadikan kantor masih kokoh.”

“E… mbuh, mas. Kalau masalah bangunan itu, entah arsiteknya yang abal-abal sehingga tak tahu jenis tanahnya atau matrialnya dimakan sama pemborongnya, saya juga tidak tahu.”

“Maktrial kok dimakan ki lho, pak?” kataku memotong penjelasannya.

“Lha sekarang kalau jatah semen 3 sak, hanya diberi 1,5 sak, trus yang 1,5 sak lagi kemana kalau tidak dimakan, mas? Hahaha….,” Jelasnya sambil tertawa.

“Sudah, mas. Aku tak nganter koran dulu. Kasihan nanti pelanggan kalau kesiangan. Pelanggan bisa marah, nanti. Hehe…, rokoknya satu ya, mas. Sambil jalan enak ni kayaknya kalau ngerokok. Hehe…” pamitnya sambil senyam-senyum minta rokok.

“Oke, ambil saja, pak. Santai. Tak usah sungkan. Lain waktu, kalau nganggur, main saja kesini pak. Kita ngobrol-ngobrol lagi. haha…”

“Korannya satu, pak. Harga biasa, kan? Hehe…” Sambil ku ulurkan uang receh dari saku celana kiriku.

“Siap, mas.” jawabnya sambil jalan usai menyulut rokok.

“Iya, harga biasa. Ini korannya. Terima kasih untuk rokoknya. Hehe…” imbuhnya sambil menjulurkan koran padaku.

Pak Abidin pun berjalan membelakangiku. Ia lenyap dari pandanganku.

***

Sekilas obrolan tadi kembali terbayang. Ada apa dengan negeriku?

Kadang aku berpikir, untuk apa aku memikirkan itu semua. Toh, yang berhak bersuara, suaranya belum tentu didengar pemerintah. Malah, yang bersuara dikandangkan dalam penjara bawah tanah ukuran 1×2 meter. Lenyap, dengan suksesnya shooting skenario yang disutradarai petugas berbintang.

Tapi, apakah aku harus diam melihat ketidakadilan yang terjadi di tanah kelahiranku ini?

Berbagai wujud tuntutan keadilan, menjadi tontonan berlabel “Hot News”. Penyiksaan diri, alih-alih mengambil hati sang penguasa untuk menegakkan HAM pun jadi suguhan media. Macam koran ini salah satunya.
Aku sadar, dibawah hanya bisa bersuara. Didengar pemerintah yang tugasnya memerintah—memegang kendali pemerintahan—menjadi harapan nomor wahid. Tanpa perintahnya, kita tak bisa berbuat apa-apa selain hanya bersuara.

***

Ku terperanjat mengibaskan koran ditangan di atas kopiku yang disambangi lalat. Segera ku teguk sisa kopiku.

“kruk… kruck…,” suara perutku

“Emak…, sarapan sudah siap? Hehe… ” teriakku sambil ketawa,

“Sudah le…, sini buruan kalau mau sarapan,” Jawab emak.

Dan akupun langsung menghampiri meja makan. Sarapan.

-Subiharto-
Kandang Pasinaon, 28 Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun