Kapal pun dibuat di galangan kapal tradisional di pulau Kangean, sebelah utara Bali. Kapal Borobudur tadi lalu diberi nama Samudra Raksa, diresmikan di pelabuhan Benoa, Bali, pada 15 Juli 2003. Peresmian oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan pada waktu itu, I Gde Ardika, bersama spesialis budaya kantor UNESCO perwakilan Jakarta, Philippe Delanghe.
Ekspedisi diberangkatkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri dari Jakarta, 30 Agustus 2003. Enam bulan kemudian tiba di Accra, Ghana, pada 23 Februari 2004. Ini jalur perdagangan komoditas kayumanis dan rempah-rempah pada umumnya di zaman dulu banget. Melintasi Samudera Hindia melewati Maladewa, Madagaskar, Cape Town di Afrika Selatan, dan berakhir di Accra, Ghana.
Itu termasuk kapal kecil, sebenarnya, hanya berbobot 30 gros ton berkapasitas 15 orang. Ekspedisi dipimpin oleh Beale dengan nakhoda Kapten Laut I Gusti Putu Ngurah Sadana. Benar-benar sampai di Ghana, pesisir barat Afrika, dan di sana kapal Samudra Raksa dibongkar, lalu dibangun kembali untuk disimpan di Museum Samudra Raksa, tak jauh dari Candi Borobudur.
Masih perlu bukti lagi? Rupanya, pengalaman orang-orang Indonesia bila bertemu dengan orang-orang Madagaskar di luar negeri selalu menimbulkan kesenangan pada diri orang Madagaskar itu, karena dipandangnya sebagai saudara tua, ternyata memang begitulah adanya. Selama ini seolah-olah hanya karena bahasa Malagasi, bahasa nasional Madagaskar, Â diidentifikasi sangat dekat dengan bahasa Maanyan, bahasa daerah suku Dayak di Kalimantan (yang sebenarnya banyak juga kesamaannya dengan bahasa Jawa), ternyata orang Madagaskar memang keturunan orang Indonesia.
Mengenai bahasa tadi, sebagai contoh, Bahasa Indonesia satu,bahasa Malagasi isa, bahasa Maanyan isa (bahasa Jawa lama: sa, ada juga: esa, bahasa Jawa baru: siji). Bahasa Indonesia dua, bahasa Malagasi roa, bahasa Maanyan rueh, (bahasa Jawa kuno: rwa, bahasa Jawa baru: loro atau ro seperti dalam ro-las = dua belas). Bahasa Indonesia tiga, bahasa Malagasi telo, bahasa Maanyan telu (Jawa: telu). Bahasa Indonesia empat, bahasa Malagasi efatra, bahasa Maanyan epat (Jawa: papat). Indonesia lima, Malagasi dimy, Maanyan dime(Jawa: lima). Indonesia enam, Malagasi enina, Maanyan enem (Jawa: enem). Indonesia tujuh, Malagasi fito, Maanyan fitu(Jawa: pitu). Indonesia delapan, Malagasi valo, Maanyan walu (Jawa: wolu). Indonesia sepuluh, Malagasi folo, Maanyan sepuluh(Jawa: sepuluh). Bahasa Indonesia seratus, bahasa Malagasi zato, bahasa Maanyan jatuh (Jawa: satus).
Bahasa Indonesia batu, bahasa Banjar batu, bahasa Malagasi vato, bahasa Maanyan watu(Jawa: watu). Indonesia bubu, Banjar lukak, Malagasi vuvu, Maanyan wuwu (Jawa: wuwu). Indonesia nama, Banjar ngaran, Malagasi anarana (Jawa: aran). Indonesia padi, Banjar nasi, Malagasi vary, Maanyan parei(Jawa: pari). Dan lain-lain.
Ternyata bukan hanya kemiripan bahasa saja yang menunjukkan ada hubungan orang Madagaskar dengan orang Indonesia. Sebuah sumber menyebutkan, orang Madagaskar berasal dari "induk" 28 wanita Indonesia dan dua orang wanita Afrika.
Pada Rabu, 11 Maret 2015, Prof. Herawati Sudoyo dari Eijkman Institute for Biology Moleculer menyampaikan kepada media, mengenai 28 perempuan Indonesia yang menjadi nenek-moyang orang asli Madagaskar. Dirinya bersama tiga orang peneliti lain asal Prancis, New Zealand dan Arizona, telah melakukan penelitian asal-usul orang Madagaskar sejak 2005 dan hasilnya sudah dirilis tahun 2012.
Penelitian melalui pencocokan DNA 2.745 penduduk Indonesia dengan DNA 266 penduduk Madagaskar. Hasilnya, memang orang Madagaskar keturunan orang Indonesia, dari 28 wanita Indonesia yang tiba di Madagaskar pada 1.200 tahun lalu.
Dengan fakta tersebut apakah masih ada yang suka meremehkan bangsa sendiri, masih ada yang tak percaya kalau bangsa Indonesia adalah pelopor kemaritiman dunia di zaman dulu?
Kedatangan 28 wanita Indonesia ke Madagaskar 1.200 tahun yang lalu itu ketika candi Borobudur sedang dibangun. Mungkin relief Kapal Borobudur sedang dipahat-pahat pula. Kapal tersebut terbilang kecil, sebenarnya, seperti telah disinggung di muka; hanya berbobot 30 ton dengan kapasitas 15 orang. Ada kapal yang lebih besar, dan lebih tua, kira-kira 200 tahun sebelum candi Borobudur dibangun.