Ingat pendeta I-Tsing dari Cina yang bermaksud menimba ilmu ke Nalanda, India, dan bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya pada abad ke-7? Bukannya pergi membawa kapal sendiri, dia itu, tidak seperti yang dilakukan Cheng Ho pada abad ke-15. Waktu itu I-Tsing menumpang kapal Sriwijaya.
Jalur Kayumanis sudah ada jauh sebelum Jalur Sutera Laut yang baru dicanangkan di Tiongkok pada abad ke-10 Masehi, pada masa Dinasti Song (960 -- 1279). Sementara penjelajahan samudera oleh bangsa-bangsa Eropa baru mulai pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16.
Dalam tulisan "Perdagangan pada Masa Majapahit" oleh Drs. Slamet Pinardi dan Drs. Winston S.D. Mambo (dalam bunga rampai 700 Tahun Majapahit) diungkapkan, catatan sejarah menunjukkan, jalur laut Cina -- Indonesia -- India dikenal sejak abad I Masehi. Menurut P.Y. Manguin, kapal-kapal yang menghubungkan India dan Cina kala itu adalah kapal-kapal India dan Indonesia.
Saya menyampaikan ini terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri, karena saya tahu, tak sedikit orang Indonesia yang serba mengecilkan hal-hal terkait adat-budaya-teknologi orang Indonesia. Mengenai hal-hal seperti itu, apakah akan mempercayainya? Belum tentu. Lebih-lebih lagi mengenai cengkih dan pala sangat mahal harganya di zaman Romawi, misalnya. Meskipun sebagai pihak dari golongan orang "pintar" atau kaum cerdik-pandai, niscaya mereka tahu, pada masa itu dipastikan tanaman cengkih dan pala di muka bumi ini hanya dapat ditemukan di Kepulauan Maluku.
Cengkih diidentifikasi sudah populer di kalangan bangsa Sumeria pada 2400 SM. Namun temuan arkeologis di Efrat Barat yang mendapati sebuah wadah berisi cengkih dan berkalender 1.700 tahun sebelum Masehi, jangan-jangan dipandangnya sekedar sebagai bualan pula. Kalau memang begitu, ya sudah, biarkan saja.
Nah, memang mumi Firaun Mesir diawetkannya dengan apa? Dengan rempah-rempah. Termasuk kamper atau kapur barus dan damar atau gaharu. Kamper dan damar yang juga hanya ada di Indonesia, diangkut ke Mesir menggunakan apa? Pasti dengan kapal laut.
Sebenarnya, dengan menyempatkan diri membuka-buka arsip ataupun berbagai data kesejarahan, pasti akan tidak inferior mentalnya. Ya, mudah-mudahan "mereka" makin ada kemauan untuk itu. Hal-hal yang disampaikan dalam tulisan ini pun sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum.
Sejarah pun mencatat, diduga akibat kebijakan Ottoman yang menyebabkan terjadi penjajahan Eropa di mana-mana. Gara-gara larangan memperdagangkan rempah-rempah melalui Selat Bosporus melainkan harus melalui Mesir yang jadi wilayah kekuasaannya, dan Mesir memungut pajak sangat tinggi, membuat Spanyol dan Portugis serta kemudian negara-negara Eropa lain, mengorbankan apa pun demi bisa menemukan sumber rempah-rempah, dan mereka berhasil sampai di Indonesia.
Portugis lebih dulu sampai. Orang Portugis membawa sangat banyak cengkih ke Eropa, yang diperolehnya dari Maluku, dan mendapat keuntungan berlimpah dari perdagangan itu. Harganya tinggi sekali, 1 kg cengkih setara dengan 7 gram emas. Lalu Spanyol datang, Inggeris, Belanda, juga. Peperangan-peperangan diantara mereka benar-benar terjadi di Maluku, yang pada akhirnya Belanda unggul.
Bangsa Indonesia lebih dulu jadi pengarung samudera. Ingatlah pembuktian yang terjadi tahun 2003/2004, ketika kapal bercadik ganda pada relief Candi Borobudur diadakan wujudnya, digunakan untuk napak tilas pelayaran yang diperkirakan pernah terjadi di abad ke-8, betul-betul sampai di Ghana, Afrika Barat. Pembuktian itu dilakukan oleh orang Inggeris, namun tentu dengan para pembuat kapal dan awak kapal orang-orang Indonesia.
 Philip Beale, seorang mantan anggota Angkatan Laut Britania Raya, pada 1982 mengunjungi Borobudur. Melihat relief kapal yang ada pada beberapa bagian candi, terpikir olehnya untuk napak tilas perjalanan perdagangan laut zaman dulu, sebagaimana tergambarkan pada relief candi Borobudur tersebut.