Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati yang Berbisik, Cinta di Persimpangan Takdir

19 November 2024   19:11 Diperbarui: 19 November 2024   19:20 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dutadamaiyogyakarta.id

Di sebuah sudut kota yang tak pernah kehilangan suara, ada dua insan yang duduk dalam diam, mencoba mencari jawaban dari tanya yang menyesakkan dada. Lani dan Raditya, dua hati yang pernah saling terpaut, kini terjebak dalam kebingungan yang tak mudah didefinisikan. Angin sore menyapu lembut taman itu, membawa aroma nostalgia dan perasaan yang sulit dijelaskan.

"Raditya," Lani akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar rapuh, "apakah kau masih mencintaiku, atau semuanya hanya... kebiasaan?"

Raditya menoleh perlahan, mencoba menangkap tatapan Lani. Pertanyaan itu membuatnya terdiam, seolah memaksa dirinya untuk mencari kejujuran yang terkubur di dalam hati.

Lani menatapnya dengan mata yang penuh tanya, ingin mendengar jawaban yang mampu meredakan keresahan di hatinya. "Aku butuh tahu, Raditya. Aku butuh kejujuran. Aku ingin tahu apakah cinta yang kau ucapkan selama ini benar-benar ada, atau hanya formalitas semata?"

Raditya menarik napas panjang. Ia tahu, Lani pantas mendapatkan jawaban yang jujur, meskipun itu mungkin menyakitkan.

"Lani," katanya dengan suara berat, "aku hanya memiliki cinta padamu. Tapi kenyataannya, aku tidak bisa membuktikannya. Cintaku... terhalang oleh janji yang sudah saya tuliskan dengan pasanganku saat ini."

Lani terdiam, berusaha menyerap setiap kata yang keluar dari mulut Raditya. Hatinya seperti terguncang, namun ia tidak terkejut. Sejak awal, ia tahu perjalanan mereka tidaklah mudah.

Sambil menahan air mata, Lani berkata, "Begitupun diriku, Raditya. Cintaku terhalang oleh selebar buku yang dicatatkan kepada negara."

Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kejujuran itu, meskipun menyakitkan, memberikan keduanya ruang untuk merenungkan apa arti cinta sejati di tengah keterbatasan.

"Raditya," Lani berkata lirih, "salahkah kita mencintai, meski tahu cinta ini tak bisa dimiliki?"

Raditya menunduk, mencoba menyusun kata-kata. "Aku tidak tahu, Lani. Yang aku tahu, aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu."

Lani menghapus air matanya, berusaha menguatkan diri. "Mungkin cinta sejati adalah tentang bagaimana kita memilih untuk tetap setia pada apa yang telah kita jalani, meskipun hati kita berkata lain."

Namun, Lani tidak bisa menghapus keraguan yang terus menghantuinya. Ia kembali menatap Raditya dengan tatapan yang penuh beban.

"Raditya," ia berkata pelan, "aku takut. Takut bahwa cinta yang kita miliki hanyalah rayuan, sesuatu yang hanya terasa manis di awal. Apakah kau benar-benar mencintaiku, ataukah ini hanya kebiasaan yang kau lakukan tanpa kau sadari?"

Raditya terdiam, mencoba merangkai kata yang tepat. Sebelum ia bisa menjawab, Lani melanjutkan dengan suara yang bergetar.

"Setiap selesai sholat," Lani mengakui dengan air mata yang mulai mengalir, "aku selalu menangis. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa rasa ini tak bisa hilang? Aku meminta pada Sang Maha Pengasih agar menghilangkan rasa ini, tetapi mengapa tak bisa?"

Raditya menatap Lani, mencoba memahami pergolakan di hatinya. Ia tahu, kata-kata tidak akan mampu menghapus rasa sakit itu, tetapi ia harus mengatakan sesuatu.

"Lani," katanya lembut, "seiring perjalanan waktu, akan hilang dengan sendirinya. Yang datang biarlah datang, nikmati keberadaannya. Saat pergi, biarlah pergi, janganlah menahannya untuk tetap tinggal. Ada siang, ada malam; seterusnya akan silih berganti. Kita tak bisa menolak, hanya bisa menjalaninya."

Lani mendengar kata-kata itu, mencoba untuk mempercayainya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa luka ini tidak akan sembuh dengan mudah.

"Raditya," katanya pelan, "aku ingin percaya bahwa waktu akan menyembuhkan, tetapi luka ini terasa terlalu dalam. Setiap rayuan yang pernah kau ucapkan, entah mengapa, seperti mengakar di hatiku."

Raditya menunduk, merasa bersalah atas perasaan yang ditinggalkan di hati Lani. "Aku tidak pernah bermaksud melukaimu, Lani. Mungkin aku tidak selalu tahu cara yang benar untuk mencintaimu, tetapi perasaanku tulus."

Lani menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tapi pikiran lain kembali menghantuinya.

"Raditya," ia memulai lagi, "kadang aku merasa... kau hanya mencariku saat kau merasa sepi. Apakah aku benar-benar tempatmu berlabuh, atau hanya pelarian dari kesendirian?"

Pertanyaan itu membuat Raditya kembali terdiam. Ia mengenang malam-malam di mana ia mencari Lani, bukan hanya karena cinta, tetapi juga karena tidak tahan menghadapi sunyi. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa cintanya kepada Lani bukan sekadar pengisi kekosongan.

"Lani," ia berkata pelan, "aku mengaku, ada kalanya aku membutuhkanmu lebih dari yang seharusnya. Tapi bukan karena aku takut sendiri. Aku memilihmu karena aku mencintaimu, meski kenyataan memisahkan kita."

Lani mengangguk perlahan, mencoba menerima penjelasan itu. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa cinta yang hanya hadir saat kesepian tidak cukup untuk membangun hubungan yang kokoh.

Lani menunduk, mencoba mengungkapkan ketakutan yang paling dalam di hatinya. "Aku tak bisa menyelami dalamnya hatimu, Raditya," katanya lirih. "Aku takut, kamu hanya mempermainkan perasaanku. Hanya untuk membuatku senang, tapi sebenarnya kamu sudah tak punya perasaan apa-apa padaku. Aku takut, rasa ini hanya aku yang rasakan."

Raditya merasakan beban dari kata-kata itu. Ia tahu, keraguan Lani adalah hasil dari ketidakpastian yang mereka jalani bersama.

"Lani," katanya lembut, "aku tak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku mencintaimu, tapi aku juga tahu bahwa cinta ini adalah luka yang kita jalani bersama. Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku juga tidak bisa memberimu kepastian yang kamu butuhkan."

Lani menatap Raditya dengan air mata yang mengalir. "Aku ingin percaya, Raditya. Tapi aku takut... jika aku terus berjalan seperti ini, aku hanya akan terluka."

Kejujuran menjadi satu-satunya jalan yang tersisa. Raditya akhirnya mengakui bahwa ia mencintai Lani, tetapi janji yang telah ia buat dengan pasangannya menjadi tembok yang tak bisa ia lewati.

"Lani," katanya, suaranya bergetar, "aku mencintaimu, tapi aku juga tahu aku tak bisa memilikimu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah berpura-pura. Setiap momen bersamamu adalah nyata."

Lani menghapus air matanya, mencoba untuk tersenyum. "Aku tahu, Raditya. Aku tahu kau mencintaiku, sama seperti aku mencintaimu. Tapi cinta ini tak cukup, jika kita terus terhalang oleh kenyataan yang tak bisa kita ubah."

Lani dan Raditya meninggalkan taman itu dengan hati yang masih bergelut dengan perasaan. Mereka tahu, cinta sejati tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang melepaskan dan menerima bahwa beberapa rasa hanya bisa disimpan dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun