Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik

Urgensi Etika Politik di Indonesia

4 Mei 2014   14:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 9076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, manjadi suatu kajian yang menarik bagi penulis. Hal ini karena saat ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya, tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.

Kurangnya  etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

Saat ini negara sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih baik. Sudah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial.

Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya diantara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.

Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.

Untuk itu perlu diketahui tentang bagaimana sesungguhnya Carut marut politik nasional, bagaimana Membangun politik etis dan berakhlak mulia, dan bagaimana Membangun politik social.

Carut marut politik nasional

Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun merupakan sesuatu yang fenomenal. Kemajuan ekonomi yang sempat diraih diera pemerintahan soeharto tidak diikuti oleh perubahan politik dalam mendorong demokrasi. Sebaliknya justru kemajuan ekonomi ini memberikan basis legitimasi bagi kelangsungan otoritarianisme. Huntington dalam Ismanto (2004) yang dipengaruhi oleh pemikiran teori modernisasi, memandang bahwa kehadiran suatu rezim yang otoritarianisme merupakan proses dan tahapan yang sulit dihindari bagi Negara berkembang. Oleh karena itu, peralihan kekuasaan dari presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto tidak berarti mengakhiri struktur otoritarian yang dibangun oleh Soekarno. Bahkan gagasan dan prakter-praktek otoritarian selama demokrasi terpimpin justru dikembangkan melalui cara-cara yang lebih sistematis dan canggih (sophisticated). Depolitisasi dan restrukturisasi system kepartaian yang diperkenalkan pada awal 1970-an membuka ruang bagi Soeharto untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan politik lebih sistemis.

Ketika Soeharto jatuh dan digantikan oleh B. J. Habibie, gerakan reformasi menggulir terutama dibidang politik dan pemerintahan. Habibie berusaha untuk menegakkan demokrasi dan meminta pemeilihan umum dipercepat dengan mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan Pemilu. Undang-undang ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang atau golongan untuk membentuk partai politik yang tadinya sangat terbatas dan tertutup pada masa orde baru. Menjelang pelaksanaan pemilu 1999 sudah ada 150 partai politik tercatat didepartemen Kehakiman dan Perundang-undangan, namun hanya 48 partai politik yang memenuhi persayaratan dan diperkenankan ikut menjadi peserta pemilu 1999. Pada periode tersebut, terjadi konstalasi politik yang berubah karena Golkar sudah berpisah dengan Karya ABRI setelah Edy Sudrajat dikalahkan oleh Akbar Tanjung dalam memperebutkan jabatan Ketua Umum Golkar. Edy Sudrajat keluar membentuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).

Liberalisasi politik telah dibuka oleh Habibie dengan membebaskan tahanan politik yang bersikap kritis terhadap SOeharto, termasuk kelompok radikal bermukim di Malaysia, Pakistan, dan Afganistan dibolehkan kembali ke Indonesia. Habibie juga membuka kran kebebasan pers dan memberi kebebasan berorganisasi yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat. Liberalisasi ini membawa dampak yang luas bagi dinamika perpolitikan di Indonesia dengan perubahan jumlah partai politik dalam pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik.  Adanya pertimbangan melihat jumlah partai yang ada, serta banyaknya partai kecil yang tidak memenuhi syarat perolehan suara (threshold) dalam pemilu 1999, maka melalui UU No. 12 Tahun 2002, partai politik yang bisa diperkenankan ikut pemilu 5 April 2004 harus memenuhi ketentuan pasal 9 yang menyatakan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memenuhi kebijakan tersebut. Dalam pemilu 2004 tercatat ada 148.000.369 warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, namun hanya 124.420.339 jiwa yang menggunakan suaranya. Ini berarti ada 23.580.030 orang tidak menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu 2004 tersebut juga dilakukan pemilihan DPR dan DPD, dengan demikian, dalam tubuh MPR terdapat dua tempat, yakni DPR dan DPD. Model ini sekali lagi mencoba meniru model pemerintahan Amerika dimana kongres terdiri dari 2 rumah, yakni senat dan DPR. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jika dalam DPR terdapat 100 orang wakil ditunjuk untuk jatah ABRI dan Non-ABRI serta penempatan wakil daerah di MPR setelah melalui pemilihan di DPRD tingkat provinsi, maka dalam pemilu 2004 semua anggota DPR dan anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat sesuai pasal 2 UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Dengan demikian, terpilih tidaknya seseorang anggota DPR dan DPD sangat tergantung dari pemilih. Perubahan ini sangat fundamental karena sebelumnya keterwakilan seorang anggota DPR sangat ditentukan oleh pimpinan partai.

Selain masalah partai politik, yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa. Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika.

Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas, politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa.

Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya, status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin.

Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya merugikan rakyat.

Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa lebih berdosa daripada melanggar hukum karena pada dasarnya etika merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Pelajar ilmu hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama, etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam bermasyarakat untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah, kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.

Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin tergerus oleh berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi, perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan "okol" ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih menggunakan "okol" ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.

Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi yang suka "menjual" keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapatan. Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan merupakan prestasi akademik luar biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa punya artikel, buku, atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya, padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri. Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon koruptor. Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.

Dewasa ini, ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap permisif masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela, salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti.

Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa melibatkan moral dan etika. Penegakan hukum yang hanya sekedar menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika dan moral keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagal diwujudkan.

Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan. Namun demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang dijalankan justru mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa suap dalam bentuk commitment fee atau kick back dalam proyek misalnya, menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika. Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh, korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena pejabatnya yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.

Tentu kita miris dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain adalah suara sirine tanda bahaya bagi negara ini. Saya sering menyebut kondisi negara saat ini sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi memang ada ketentuan tentang negara dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara. Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit menemukan orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang lain secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan.

Membangun politik etis dan berakhlak mulia.

Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:

1.      Etika Sosial Budaya

Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.

2.      Etika Politik dan Pemerintahan

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

3.      Etika Ekonomi dan Bisnis

Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua, perekonomian kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil.

Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar "seolah-olah" semakin besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya praktik korupsi.

4.      Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.

5.      Etika Keilmuan

Etika ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6.      Etika Lingkungan

Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menanamkan etika, mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika bernegara adalah:

a.      Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.

b.     Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan inte

c.      lektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa.

Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.

Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh negara dan para aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara.

Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan menggagalkan tujuan kita mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.

Membangun politik sosial

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia senantiasa akan selalu berinteraksi dengan yang lainnya dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Melalui proses interaksi dan komunikasi ini pula lahirlah sebuah budaya dalam kehidupan masyarakat. Suatu budaya yang diterapkan dalam kehidupan suatu sistem sosial akan mempengaruhi sistem komunikasinya pula. Karena itulah komunika memiliki kaitan yang sangat erat. Sama halnya yang dikatakan oleh Edward T. Hall, "Budaya adalah komunikasi" dan "Komunikasi adalah budaya". Budaya adalah hasil dari proses komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam berkomunikasi, budaya sangat mempengaruhinya baik secara pola, jenis ataupun konteks. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu sistem sosial yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.

Menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Budaya politik merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap objek sosial-sistem politik-yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian). Budaya politik merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap objek social-sistem politik yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian).

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi kemudia komunikasi juga ikut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Ini berlaku juga pada budaya politik yang berpengaruh kuat terhadap komunikasi politik di Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat, Almond dan Verba mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya politik yang dapat ditemukan, yaitu budaya parokial, kaula, dan partisipan. Untuk Indonesia sendiri saat ini ada dua budaya politik yang ada dalam masyarakat, yaitu budaya politik parokial dan kaula. Masyarakat Indonesia masih tertinggal dalam hak dan kewajiban akan politiknya. Hal ini disebabkan pengalaman politik di kehidupan masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme, dan patrimonialisme. Hanya sebagian saja yang sudah memiliki budaya partisipan dalam kehidupan politknya, yaitu kalangan elite politik dan masyarakat perkotaan. Hal ini ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.

Sistem politik demokratis yang dijalankan Indonesia saat in masih belum seiring dengan kebudayaan politik yang ada di dalamnya. Idealnya, negara yang demokratis bisa didapatkan jika budaya politik masyarakat yangpartisipan. Namun, kembali pada budaya politik yang terdapat di Indonesia-parokial dan kaula-belum bisa mewujudkan sistem yang demokrasi. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, kalangan pemerintah dan elite politik harus mengambil langkah-langkah strategis demi mewujudkan budaya politik partisipan (demokrasi). Ini dilakukan untuk mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis. Kepentingan dan aspirasi rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan.

Penerapan suatu konsep seringkali menjadi kabur ketika akan diaplikasikan di dalam praktek berpolitik dalam kehidupan sehari-hari, namun proses institusionalisasi demokrasi partisipatif akan terdorongmelalui desentralisasi dan devolusi kewenangan ke tigkat lokal karena partisipasi maksimum masyarakat dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran dariunit pengambilan keputusan. Demokrasi pertisipatif juga dapat ditingkatkan dengan memfasilitasi terbangunnya institusi masyarakat seperti asosiasi berbasis tempat tinggal, mata pencaharian, hobi dan sebagainya yang memungkinkan berlangsungnya solidaritas antar individu dan upaya kolektif. Keberadaan komite masyarakat, forum masyarakat dan bentuk-bentuk asosiasi yang demokratis lainnya dianggap strategis untuk mengimplementasikan demokrasi partisipatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun