Tentu kita miris dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain adalah suara sirine tanda bahaya bagi negara ini. Saya sering menyebut kondisi negara saat ini sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi memang ada ketentuan tentang negara dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara. Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit menemukan orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang lain secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan.
Membangun politik etis dan berakhlak mulia.
Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:
1.     Etika Sosial Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
2.     Etika Politik dan Pemerintahan
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
3.     Etika Ekonomi dan Bisnis
Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua, perekonomian kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar "seolah-olah" semakin besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya praktik korupsi.
4.     Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan