Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik

Urgensi Etika Politik di Indonesia

4 Mei 2014   14:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 9076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liberalisasi politik telah dibuka oleh Habibie dengan membebaskan tahanan politik yang bersikap kritis terhadap SOeharto, termasuk kelompok radikal bermukim di Malaysia, Pakistan, dan Afganistan dibolehkan kembali ke Indonesia. Habibie juga membuka kran kebebasan pers dan memberi kebebasan berorganisasi yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat. Liberalisasi ini membawa dampak yang luas bagi dinamika perpolitikan di Indonesia dengan perubahan jumlah partai politik dalam pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik.  Adanya pertimbangan melihat jumlah partai yang ada, serta banyaknya partai kecil yang tidak memenuhi syarat perolehan suara (threshold) dalam pemilu 1999, maka melalui UU No. 12 Tahun 2002, partai politik yang bisa diperkenankan ikut pemilu 5 April 2004 harus memenuhi ketentuan pasal 9 yang menyatakan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memenuhi kebijakan tersebut. Dalam pemilu 2004 tercatat ada 148.000.369 warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, namun hanya 124.420.339 jiwa yang menggunakan suaranya. Ini berarti ada 23.580.030 orang tidak menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu 2004 tersebut juga dilakukan pemilihan DPR dan DPD, dengan demikian, dalam tubuh MPR terdapat dua tempat, yakni DPR dan DPD. Model ini sekali lagi mencoba meniru model pemerintahan Amerika dimana kongres terdiri dari 2 rumah, yakni senat dan DPR. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jika dalam DPR terdapat 100 orang wakil ditunjuk untuk jatah ABRI dan Non-ABRI serta penempatan wakil daerah di MPR setelah melalui pemilihan di DPRD tingkat provinsi, maka dalam pemilu 2004 semua anggota DPR dan anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat sesuai pasal 2 UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Dengan demikian, terpilih tidaknya seseorang anggota DPR dan DPD sangat tergantung dari pemilih. Perubahan ini sangat fundamental karena sebelumnya keterwakilan seorang anggota DPR sangat ditentukan oleh pimpinan partai.

Selain masalah partai politik, yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa. Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika.

Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas, politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa.

Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya, status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin.

Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya merugikan rakyat.

Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa lebih berdosa daripada melanggar hukum karena pada dasarnya etika merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Pelajar ilmu hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama, etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam bermasyarakat untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah, kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.

Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin tergerus oleh berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi, perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan "okol" ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih menggunakan "okol" ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.

Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi yang suka "menjual" keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapatan. Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan merupakan prestasi akademik luar biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa punya artikel, buku, atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya, padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri. Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon koruptor. Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.

Dewasa ini, ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap permisif masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela, salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti.

Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa melibatkan moral dan etika. Penegakan hukum yang hanya sekedar menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika dan moral keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagal diwujudkan.

Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan. Namun demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang dijalankan justru mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa suap dalam bentuk commitment fee atau kick back dalam proyek misalnya, menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika. Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh, korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena pejabatnya yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun