Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penjual Ember

21 September 2015   08:05 Diperbarui: 21 September 2015   08:05 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika matahari masih sibuk menggeliat dalam peraduannya, wajahnya sudah begitu segar berseri menyambut hari. Menggendong sebuah ransel lusuh, berjalan ke samping rumahnya yang beratapkan baliho bekas dan berdinding campur dari bahan-bahan bekas. 

Dua buah ember hitam besar yang biasanya digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga untuk menampung air dan mungkin juga cucian baju diikatkan dengan dua buah potongan tali plastik kecil bekas yang biasanya ia kumpulkan sambil berjalan berkeliling. Dimasukkannya potongan tali plastik ke lubang kecil di pinggiran ember, diikat, ketika dirasa kuat diikatkan lagi ujung tali plastik satunya pada besi chrome kecil yang menjadi penghias ransel lusuhnya. Kiri kanan ia ikatkan. Tampak seperti seekor kura-kura dengan tempurungnya manakala dua buah ember hitam besar itu terikat dan tergantung di belakang ransel di belakang punggungnya.

Merogoh saku celana panjangnya mengeluarkan sebuah kertas kecil berisi daftar tulisan. Nama-nama komplek perumahan. Seperti daftar giliran ke mana ia akan berjalan setiap harinya. Terdiam sejenak sambil menengadah ke langit yang masih agak gelap sambil mengucapkan sesuatu. Sebuah Doa terpanjatkan dari bibirnya. Dua buah ember lagi dipegangnya masing-masing dengan jari-jari lengan kanan dan kiri. Posisi bagian belakang ember berhadapan ke bagian dalam pelukan ke dua lengannya. Mulailah ia berjalan.

"Brak, Brak" 

Bunyi bagian belakang ember yang beradu. Demikian caranya berjualan. 

"Hei, Berisik! Pagi-pagi sudah gaduh!"

Terkadang mendapatakn umpatan. Bisa biasa saja, sedang, dan terkadang begitu keras. Umpatan menjadi makian.

Tetap diam tanpa reaksi sambil terus berjalan. Yang ia cari adalah yang membutuhkan. Yang suka menampung manfaat. Yang tidak keberatan dengan caranya mencari rejeki. 

Sudah beberapa hari kuikuti penjual ember itu. Hari pertama dan beberapa hari selanjutnya namun belum sampai seminggu. Waktu awal yang membuatku menyerah oleh jarak dan juga cuaca. Keingintahuan apakah ia berhasil menjual ember-embernya. Banyak tanya dalam hati. Dan hari ini akan kuikuti hingga dapat menghapus dahaga keingintahuanku.

Panas dan pegal di bagian betis mulai terasa. Sudah tiga botol air mineral kuteguk sambil juga membasahi atas kepalaku. Belum ada satupun yang berhasil ia jual. Entah sudah berapa kilometer berjalan kaki. Baginya biasa dan bagiku luar biasa pegal dan lelah.

Di sebuah ujung tikungan, seorang ibu memanggilnya. Si ibu menawar dan ia menggerakkan jari-jarinya. Bahasa tubuh. Apakah Ia? Entahlah belum bisa memastikan. Satu lembaran uang berwarna hijau. Berarti dua puluh ribu Rupiah. 

Hebat. Berkilo-kilo dan akhirnya bisa menjualnya. Luar Biasa bagiku dan mungkin akan menyerah jika harus menjadi dirinya.

Ketika ke dua kalinya ia memasuki tempat ibadah dan menyelesaikan ibadanya. Duduk bersandar di bawah sebuah pohon mangga yang rindang. Di atas sebuah batu gunung yang ada di bawah pohon. Kuputuskan untuk mendekatinya.

Dengan sebuah senyuman ia mempersilakan untuk duduk. Pembicaraan dimulai. Dari hal sederhana sampai akhirnya ke arah yang ia lakukan selama ini.

"Berapa yang didapat setiap hari Pak?"

"Tak menentu, Dik!"

"Jika terjual semua Pak?"

"Keuntungannya lima ribu Rupiah jika terjual satu, Dik!"

"Oh..."

Hanya kata 'oh' begitu mendengar jawabannya. Berkilo-kilo jika terjual semua berarti Dua Puluh Ribu Rupiah. Aku makan dan lainnya dalam satu hari bisa lebih dari nilai itu. Dan tentunya ia pun harus membeli kembali barang dari hasil penjualannya.

"Bapak tidak merasa lelah?"

"Awalnya iya, Dik, lama-lama terbiasa!" Sambil tersenyum.

"Pertanyaan terakhir, Pak. Apa yang sudah Bapak dapatkan dari berjualan seperti ini?"

"Nikmat dan rasa syukur, Dik! Masih bisa melakukan hal seperti ini, dan..."

"Dan Apa, Pak?"

"Mengurangi sampah plastik, Dik. Ember yang saya jual itu olahan dari sampah-sampah plastik!"

Tak melanjurkan pembicaraan. Melepaskan lelah sambil menuggu redanya cucuran keringat. Setelah itu aku pamit. Hari yang melelahkan dan minggu depan sudah mulai penelitian sekaligus praktik kerja sehubungan penyusunan skripsi di sebuah pabrik plastik terbesar di kota ini. 

***

Hari ini penelitianku di mulai. Dan hari ini terjadwal langsung berbicara dengan direktur utama yang sekaligus juga pendiri dan pemilik pabrik plastik. Kemeja putih, celana panjang hitam, sepatu kulit dan yang utama sisir kecil untuk merapikan rambutku yang memang harus diberi jel agar bisa rapi.

"Tok, tok, tok!"

"Masuk!"

Aku pun masuk, langkah pertama dan sebuah senyuman pria yang berdiri menyambutku dengan kursi besar mewah di belakangnya.

"Bapak..."

Iya tersenyum mempersilakan duduk. Rasa gugupku luar biasa.

"Tenanglah mengapa harus terlihat seperti itu!"

Aku pun duduk namun tak berani berkata apapun. Hanya ucapan Luar Biasa dalam hati.

"Nikmatilah penelitianmu di sini. Atau mungkin ingin menggantikan posisiku pun aku tak keberatan sama sekali!"

"Baiklah satu pertanyaan saja, Pak?"

"Oh Apa itu?"

"Apa harapan Bapak terhadap penelitian saya nantinya?"

"Harapan? Hhmm Baiklah. Aku ingin kamu mendapatkan rasa bersyukur setelah selesai nanti, namun jika tidak mendapatkan mungkin aku tak akan menandatangani hasil penelitianmu di ruangan ini. Intinya sampai mendapatkan itu dan kuberikan keleluasaan untuk itu!"

Aku diam dan belum berani memberikan jawaban.

"Aku permisi!"

"Bapak mau ke mana?"

"Kamu tahu aku akan ke mana! Namun jika bingung akan kukatakan sekali lagi. Aku mau mencari rasa syukur sebanyak-banyaknya, Dik!"

Aku diam sambil berpikir.

Pencari dan pendahaga rasa Syukur.

***

~hanya imajinasi datar~

~Hsu~

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun