Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahula (3)

26 Februari 2014   05:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua malam yang menyiksa. Malam-malam yang entah sampai kapan akan menayangkan video mimpi yang sama. Mimpi yang terus mengejar. Aku benci dikejar seperti ini, namun aku pun ketakutan akan terungkap. Rasa malu, takut, ngeri dan merinding bercampur merasuki nafas, langkah, dan seluruh gerak tubuh.

Ketika matahari menyibak selimut kegelapan adalah waktu yang sedikit melegakan pikiranku. Ternyata aku masih terbangun dalam keadaan hidup. Tayangan televisi atau pun media yang bagaimanapun benar-benar tak ingin lagi kusaksikan.

Pagi ini kubiarkan tubuhku bersandar di pojokan kursi angkutan umum. Memandangi laju sibuknya orang-orang yang berpacu dengan waktu menuju aktivitas demi menjaga energi nafas kehidupan. Waktu! Ya Waktu yang akan menjawab.

“Bagaimana Joe?” “Clear Bro, sesuai permintaanmu, ini kuncinya dan periksa dalam bagasi belakang, sudah rapi di dalam situ!” “Makasih Joe, Kau memang sahabatku yang paling mengerti!”

Joe terpaku menatapku...

“Pergilah Rey... Sejauh yang Kau mampu.”

“Tidak Joe... walaupun Aku takut dan apapun... akan kuhadapi ini semua... aku hanya menunggu saja.”

“Senyuman yang luar biasa, Bro. Good Luck Rey!”

Joe masih saja mematung menatap laju mobilku. Kusaksikan tatapannya dari spion dalam, seperti orang tak rela melepasku pergi. Bahkan lambaian tanganku saat akan mulai melaju pun tak dihiraukannya. Terima Kasih Joe.

***

“Ini laporan tahunannya Pak, silakan direview dan segera hubungi saya jika ada yang kurang dalam penyajian!”

“Ok, Terima Kasih Rey. Nanti akan saya hubungi jika ada yang kurang, namun jika tidak berarti laporan saya setujui dan akan saya tandatangani.” “Baiklah, saya undur diri kembali ke ruangan Pak.”

Lumayan lama kujabat lengan Pak Andi. Sampai-sampai ia sedikit heran, namun senyumanku akhirnya membuatnya tersenyum juga. Segera kuberbalik untuk menyembunyikan beratnya pikiranku.

Secangkir kopi hitam di kantin lumayan menyegarkan pikiran. Seruputan ketiga tak jadi kulanjutkan manakala melihat tayangan televisi di sudut kantin. Pembunuhan misterius di lampu merah dan korban meninggal tertusuk belati di bagian lehernya. Kejadian sedang dalam penyidikan pihak berwajib. Demikian berita yang tayang. Yang benar-benar membuat dahiku berkeringat. Dingin dingin dan dingin.

Tak kulanjutkan seruputan pada cangkir kopi yang masih lebih dari setengah isinya. Segera kuberanjak dari kantin dan menuju ruangan kerjaku.

“Tok.. tok.. tok...” “Masuk!” “Pak Rey... ada tamu Pak... mereka berdua menunggu di ruang rapat!” “Siapa?” “Tidak tahu Pak, ditunggu segera katanya Pak!” “Baiklah, kamu kembali ke pekerjaanmu, aku segera ke ruang rapat!”

***

Mereka... mereka berdua... tidak dikenal... siapa mereka ya... Arrgghhh kudiam dahulu di toilet yang berjarak beberapa meter dari ruang rapat. Kubasuh wajahku hingga terlihat segar. Lumayan menghapus garis kegelisahan walaupun tubuhku terasa dingin.

Melangkah dengan bibir masih komat-kamit. Begitu pintu terbuka, tampak dua pria berjaket kulit hitam tersenyum ramah.

“Langsung saja ya Pak...” “Rey... saya Rey.”

Kusebut singkat namaku begitu berjabat tangan dengan mereka.

“Ok Pak Rey, kami tak berlama-lama. Apakah bapak pemilik mobil ini?”

Salasatu dari mereka menyodorkan kertas kecil bertuliskan plat nomor mobil yang memang mobilku. Kuanggukan kepala mengiyakan.

"Apakah mobil Pak Rey pernah dipinjamkan pada orang lain Pak?"

"Tidak Pak... Tidak pernah saya pinjamkan!"

“Baiklah kalau begitu Pak Rey, Pak Rey segera ikut kami ke Kantor!” “Ada apa ini Bapak-bapak?” “Ayo Pak, Nanti Pak Rey akan tahu.”

Kedua pria kekar berjaket kulit segera memegang kedua lenganku. Berdampingan kiri kanan mereka menuntun langkahku. Hingga ke Customer Service di bawah. Salasatu dari mereka kemudian menyerahkan sepucuk surat sambil berucap...

“Sampaikan surat ini pada pimpinan perusahaan!”

***

Arrgghh ternyata mereka polisi dan baru kutahu ketika mobil yang melaju membawa kami bertiga berbelok masuk ke kantor kepolisian. Begitu turun mereka segera menuntun lenganku kembali. Kemudian memintaku duduk di atas sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja yang di atasnya ada satu set komputer dan sebuah printer.

Salah satu pria berjaket yang tadi membawaku memulai pertanyaan.

“Selamat siang Pak Rey... Pak Rey Sehat?” “Sehat Pak, kalau boleh saya tahu ada apa ini Pak?” “Nama lengkap Pak Rey?” “Reynaldi Pak!” “Nama Orang tua laki-laki?” “Adrian Pak!” “Bapak benar pemilik mobil bernomor plat ini?” sambil menyodorkan kertas kecil. “Benar Pak!” "Pernah Pak Rey meminjamkan mobil pada orang lain dalam waktu sebulan ini?" "Dari sejak saya miliki hanya saya yang menggunakan Pak!" “Ok... Reynaldi anak dari Adrian... kenal dengan bapak yang duduk di ruang sebelah?"

Kutengok ruang kaca yang bersebelahan dengan ruangan tempatku duduk sekarang.

“Tidak Pak!”

“Baiklah... bapak di sebelah itu adalah penjual rokok di pinggir jalan yang menyaksikan ada tubuh terlempar keluar dan begitu ditengok dalam keadaan tertancap belati dan masih sempat mencatat nomor mobil milik Pak Rey!”

Kutertunduk begitu mendengar itu.

“Pak Rey yang melakukan penusukan hingga tewas korban?”

“Be... benar Pak” Kutertunduk kembali.

“Jangan menunduk Rey...!!!” Plaaaakkk sebuah majalah di hantamkan ke wajahku.

“Siapa lagi selain kamu Rey? Siapa di belakangmu!” Pertanyaan yang membuatku bingung dan kujawab tidak ada lagi selain aku.

“Jangan Bohong kamu!!!” Bluuuggg... kali ini sebuan tinju masuk ke hidungku dan membuatku terjungkal dari kursi.

“Aarrgghhh Apaa ini Pak... tidak ada memang tidak ada selain saya Pak!” kuusap hidungku dengan telapak tangan kanan... darah segar menempel pada telapak tanganku.

“Ti...”

Braaaakkk.... Jangan bohong Loe.... gak mungkin loe sendirian... siapa temen loe!!! Sebuah tendangan mendarat di wajahku.

“Arrgghh tidak Pak... memang saya sendiri yang melakukan!”

Braaakkkk... Bleeduugg... Brruuuggg... tubuhku jadi bulan-bulanan.

Tiba-tiba...

“Mana... mana orangnya... katanya sudah tertangkap? Oh ini ya... ini ya orangnya?”

Braaaakkk... entah dari mana lagi datangnya seorang petugas lagi dan badannya lebih besar... dan entah apa yang mendarat di atas kepalaku... sepertinya sebuah sepatu... membuat mataku berkunang-kunang...

Dan... arrghhh jambakan pada rambutku membuat tubuhku terseret... Arrggghhh sakit sekali rasanya... tubuhku diberdirikan kemudian dengan sekali gerakan... jambakan rambut yang kuat mendaratkan tubuhku entah membentur apa... Arrgggghhh ampun Pak... memang saya hanya sendiri.

Tubuh lunglaiku kembali diseret dengan cara menjambak rambut... kali ini bukan hanya darah yang kurasakan... Aahhh air seni dan kotoranku ikut keluar... tubuhku dingin... Ampuunnn Pak... Ampuunn memang hanya saya sendiri Pak...

Braaggg Bruuuggg Plaaakkk Ploookkk... entah apa saja yang menghujam ke seluruh bagian tubuhku setelah terseret cukup jauh ke ruangan yang agak tertutup.

Mereka semakin banyak...

“Kuat Loe Ya... Coba nih pake ini Ayo ngaku siapa lagi selain Loe Ngaku Loe!!!”

“Ampun pak memang hanya saya sendiri!” lemah jawabanku kali ini... suaraku rasanya habis.

Mereka bukannya berhenti malah semakin menjadi... tubuh terkaparku yang telah bersimbah darah mereka tarik... kemudian kedua lengan pada posisi jari-jariku dimasukkan ke bawah kaki sebuah meja kayu... seluruh jari-jariku tertindih kaki meja kayu... dan mereka entah berapa orang menaiki meja kayu lalu mengenjot-enjot meja kayu...

Teriakanku kembali membahana... mataku tak bisa melihat lagi... penuh dan tertutup noda darah.

“Kuat Loe ya... Kuat Loe Ya! Ayo bilang siapa lagi?”

Tiba-tiba mereka berhenti...

“Sepertinya memang kuat... sudah sangat kuat memang hanya sendiri!” Salah seorang berucap.

“Gak mungkin... pasti masih ada yang lainnya!.”

“Heh... siapa lagi dibelakang loe? HHmmm Gue panggilin wartawan ya biar wajah Loe diekspos!?”

Kujawab lirih dan biarkanlah mereka mengamuk pun... mati ya matilah pikirku...

“Panggil saja Pak wartawan yang banyak Pak... biar sekalian saya bongkar bobroknya bagaimana cara kepolisian menyidik!”

Jawabanku membuat ruangan jadi hening...

“Sudah-sudah... bisa kacau nanti... sudah kuat sekali jawaban orang ini... diproses saja daripada nanti jadi masalah!”

Selesai pembicaraan mereka, salah satu menyeret tubuh lunglaiku yang telah bersimbah darah... sakit rasanya seluruh tubuhku... entah patah atau tidak yang pasti untuk bersuara pun rasanya aku sudah tak sanggup... entah berapa lama mereka melakukan ini semua.

Tubuhku diseret hingga disebuah pintu besi besar... petugas lainnya membuka gembok besar... begitu pintu terbuka... tubuhku di seret kembali hingga ke sudut lorong.

Mataku menatap langit-langit... berusaha menyisir sekitar dengan pandangan yang terhalang noda darah... banyak jeruji... tempat apa ini?

"Sssstttt... sssttttt... hei bangun Loe!"

Sekilas terdengar ada yang memanggil dari arah dalam ruangan berjeruji, namun pandangan mata dan tubuhku sakit seluruhnya... bergerak sedikitpun aku tak sanggup.

"Mati Bang kayaknya... itu lihat darah semua... diam begitu pasti mati! Parah siksaannya kayaknya!"

Demikian yang terdengar sayup di telingaku.

bersambung...

~oooOOOooo~

Cerita Sebelumnya: Rahula [2] ~A Story by Me~ Ilustrasi “Supermassive Black Hole” dari wikia.com; telah diedit sendiri ~Hsu/A.H~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun