Mazhab Ciputat merujuk pada kelompok intelektual Muslim yang berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang terletak di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Mazhab ini dikenal karena pendekatan mereka yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada modernisasi sosial-politik dalam pemikiran Islam.
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dipandang sebagai dua tokoh kunci dalam peletakan dasar Mazhab Ciputat. Keduanya berperan signifikan dalam mengembangkan pemikiran Islam moderat dan progresif di Indonesia, terutama di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN), sebelumnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya tokoh kunci generasi kedua dari Mazhab Ciputat, di antaranya adalah Fachry Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Effendy, Din Syamsuddin, Iqbal Abdurrauf Saimima, Mansur Faqih, dan Hadimulyo, mereka dikenal karena kontribusi mereka dalam mengembangkan pemikiran Islam yang progresif. Mereka sering terlibat dalam dialog interfaith dan mengadvokasi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, serta hak asasi manusia dalam konteks Islam.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan ciri utama dari Mazhab Ciputat, sekaligus sebagai upaya rekonstruksi Mazhab Ciputat. Ciri utama tersebut adalah: Pendekatan Moderat dan Inklusif, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Transformasi Pendidikan Islam, dan Pembaruan Pemikiran Islam.
1. Pendekatan Moderat dan Inklusif
 Pendekatan moderat dan inklusif merupakan salah satu ciri utama Mazhab Ciputat, yang mencerminkan upaya untuk menjadikan pemikiran dan praktik Islam relevan dalam konteks sosial, budaya, dan politik yang beragam di Indonesia. Hal ini ditandai dengan:
(1) Toleransi dan Kerukunan: Mazhab Ciputat menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama. Pendekatan ini mendorong pengikutnya untuk menghormati perbedaan dan mencari titik temu dengan penganut agama lain. Dalam konteks Indonesia yang plural, toleransi menjadi kunci untuk menciptakan kerukunan dan harmoni di tengah masyarakat yang beragam.
(2) Dialog Antaragama: Intelektual dalam Mazhab Ciputat aktif dalam mendorong dialog antaragama sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antarumat beragama. Mereka percaya bahwa dialog dapat mengurangi prasangka dan konflik, serta memperkaya pemahaman antarumat. Melalui dialog, pemikiran Islam yang moderat dapat disampaikan dan diterima dalam konteks yang lebih luas.
(3) Penerimaan terhadap Pluralisme: Pendekatan ini mencakup penerimaan terhadap pluralisme, baik dalam konteks agama maupun budaya. Mazhab Ciputat melihat keragaman sebagai sesuatu yang alami dan positif, sehingga mendorong pengikutnya untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan yang harus dihargai, bukan sebagai penghalang. Ini juga mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
(4) Reinterpretasi Ajaran Islam: Mazhab Ciputat mendorong reinterpretasi ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial yang ada. Hal ini berarti mengajak umat untuk membaca dan memahami teks-teks keagamaan dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan kritis, sehingga ajaran Islam dapat diterima secara luas dan relevan dengan tantangan kontemporer.
(5) Keterlibatan dalam Isu Sosial: Mazhab Ciputat tidak hanya terfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga terlibat dalam isu-isu sosial dan politik. Para intelektualnya sering memberikan pandangan yang moderat dan konstruktif terhadap isu-isu seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan demokrasi. Mereka berusaha untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam sejalan dengan upaya membangun masyarakat yang adil dan beradab.