Percabulan yang terjadi di jemaat Korintus tampaknya sudah memberikan pengaruh buruk dalam jemaat. Paulus mengumpamakan itu seperti pengaruh ragi pada adonan roti (1Kor. 5:6b). Banyak orang memberikan penerimaan terhadap orang ini, sehingga menimbulkan kesan bahwa kesalahan tersebut tidak seberapa serius. Penerimaan ini ditunjukkan melalui pergaulan (5:9, 11) dan makan bersama (5:11). Kata 'bergaul' (synanamignymi) dalam konteks ini mengarah pada kedekatan yang khusus. Ini juga didukung oleh kesediaan untuk makan bersama. Sesuai konteks pada zaman dahulu, makan bersama membutuhkan kedekatan dalam tahap tertentu.
Tidak semua dosa layak mendapatkan disiplin gereja. Untuk dosa-dosa tertentu, nasihat dan teguran saja sudah cukup. Dalam kasus 1 Korintus 5:1-13, dosa yang dilakukan tidak dapat dikompromikan. Hidup dengan ibu tiri adalah kesalahan yang menjijikkan, bahkan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah sekalipun (5:1). Tidak heran, Paulus bukan hanya sekali saja mendengar kabar buruk ini, tetapi berkali-kali (bdk. present tense 'diberitakan', akouetai).
Dosa di atas bukan hanya serius, namun juga dipegang terus-menerus. Disiplin gereja hanya diberlakukan jika semua cara penggembalaan yang lain sudah tidak berhasil. Begitu pula dengan Matius 18:15-20. Orang tersebut tidak hanya melakukan suatu dosa yang serius, tetapi ia terus-menerus melakukan dan tidak menghiraukan nasihat dari banyak orang. Dosa yang serius ini dilakukan dengan keras kepala dan tanpa perasaan bersalah.
Dalam 1 Korintus 5:1-13, ada banyak petunjuk yang membuktikan bahwa dosa percabulan ini sudah lama berlangsung tanpa ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun. Paulus sudah pernah mengirimkan surat lain sebelumnya untuk membahas persoalan yang sama (5:9-10). Keterangan waktu present tense dalam frasa "hidup dengan istri ayahnya" (lit. terus-menerus memiliki istri ayahnya") menyiratkan kontinuitas dosa. Kontinuitas ini akan menjadi lebih serius apabila pelaku kesalahan terus-menerus menolak bimbingan rohani yang diberikan oleh gereja (Mat. 18:15-17).
Prosedur kedua adalah pemberian nasihat secara pribadi (ayat 15). Perintah ini terlihat aneh di zaman postmodern. Sikap individualistik dipupuk. Kecuekan dianggap bukti kedewasaan. Dalam konteks persekutuan sesama anak-anak Allah (12:49-50; 25:40; 28:10), Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk memberikan teguran kepada saudara seiman yang melakukan dosa (18:15).
Dalam teks Yunani, sebelum perintah "tegurlah" ada kata "pergilah" (hypage, demikian juga RSV/NRSV). Kata ini menyiratkan sebuah inisiatif. Kita tidak boleh hanya menunggu dan berpangku tangan tatkala kita melihat saudara seiman kita melakukan dosa. Sesuatu harus dilakukan secara proaktif. Kita tidak boleh seperti Kain yang berkata: "Apakah aku penjaga adikku?" (Kej. 4:9b). Â
Kata "elencho" yang digunakan di sini memiliki makna yang cukup kuat. Kata ini dipakai untuk teguran Yohanes Pembaptis kepada Herodes (Luk. 3:19). Karya Roh Kudus yang menuduh orang berdosa juga menggunakan kata "elencho" (Yoh. 16:8). Paulus menasihati jemaat Efesus untuk menelanjangi (elencho) perbuatan-perbuatan kegelapan (Ef. 5:11, 13). Untuk beberapa kesalahan, nasihat saja sudah cukup. Untuk kesalahan-kesalahan lain yang serius, teguran perlu diberikan (Tit. 1:13-14) dengan segala kewibawaan (Tit. 2:15). Gereja seharusnya tidak mengenal konsep bergosip dan saling memfitnah.
Walaupun ada ketegasan dalam sebuah teguran, hal itu tidak berarti bahwa teguran bisa dilakukan secara sembarangan. Tuhan Yesus melarang sikap menghakimi orang lain tanpa melihat diri kita sendiri yang juga berdosa (Mat. 7:1-5). Teguran harus dibarengi dengan segala hikmat, pengajaran, dan kesabaran (Kol. 3:16; 2Tim. 4:2). Teguran bukan pelampiasan kemarahan, melainkan wujud kasih yang besar demi kebaikan orang yang kita tegur (Tit. 1:13; Why. 3:19). Teguran adalah upaya pengembalian kepada hal yang benar.
Pembiaran dosa bukan hanya sebuah dosa. Sikap ini bisa menyebabkan dosa yang lain. Imamat 19:16-18 mengaitkan teguran kepada orang lain dengan fitnah, kepahitan hati, dan pembalasan dendam. Orang yang tidak berani menegur sesamamnya biasanya terjebak pada salah satu dosa tersebut. Jadi, teguran bukan hanya menyelamatkan orang lain dari dosa, tetapi juga menyelamatkan diri kita dari dosa. Gereja harus berani mewartakan kebenaran!
Prosedur ketiga adalah pelibatan saksi-saksi (ayat 16), tentunya yang dapat dipercaya. Berbeda dengan penyelidikan kasus modern yang sudah mengalami banyak kemajuan teknologi, keterlibatan dua atau tiga saksi dalam sebuah perkara yang bersumber dari ajaran Perjanjian Lama (Im. 19:15) sangat diperlukan dalam konteks kuno. Selanjutnya orang-orang Yahudi dan gereja mula-mula tetap mengadopsi prinsip ini (Yoh. 8:17; 2Kor. 13:1; 1Tim. 5:19; Ibr. 10:28). Inti dari pemanggilan saksi-saksi adalah konfirmasi agar tidak terjadi kesalahan penilaian atau subjektivitas dalam taraf tertentu.
Tentu saja saksi di sini bukan sembarang saksi. TUHAN melarang orang mengucapkan saksi dusta (Kel. 20:16; Ul. 5:20). Saksi dusta akan dikenai hukuman yang sama dengan yang ia rencanakan pada orang lain (Ul. 19:18-19). Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman (Ams. 19:5, 9). Pada waktu menjelaskan tentang prosedur pengusutan tuduhan terhadap seorang penatua, Paulus mengajarkan pemanggilan saksi dan memberi peringatan agar orang-orang yang terlibat tidak berprasangka dan tidak memihak (1Tim. 5:19-21). Keterangan yang konsisten dari para saksi yang netral dan kredibel akan meneguhkan kebenaran suatu peristiwa.