Salah satu aspek dari gereja yang paling sering dihindari oleh banyak orang adalah disiplin gereja. Hal ini mulai dikesampingkan, bahkan diabaikan sama sekali. Gereja-gereja mulai memberi ruang yang lebih luas bagi dosa dan sekularisasi. Teguran-teguran yang sensitif mulai dihindari. Ketegasan mulai dihilangkan.
Hal ini diperparah dengan adanya lembaran-lembaran suram tentang disiplin gereja dalam sejarah gereja. Pemaksaan terhadap doktrin dan gaya baptisan tertentu membuat banyak gereja berani melakukan hal-hal yang tak terkatakan di masa lalu (membakar orang hidup-hidup, memenggal kepala seseorang, dan lain-lain). Stereotip yang melekat dengan disiplin gereja beralih dari kasih kepada kebencian.
Praktik yang pada awalnya baik ini semakin sulit untuk diterapkan. Tuntutan gereja terhadap integritas hidup anggotanya semakin merosot. Sebagian gereja mungkin khawatir kehilangan jemaat. Lagipula, sekarang ini perpindahan gereja bisa dilakukan kapan saja, sehingga kekuatan sebuah disiplin gereja tidak sebesar pada zaman dahulu. Beberapa orang yang sedang dikenai disiplin oleh gereja asal bahkan langsung direkrut dalam pelayanan oleh gereja lain. Di tengah semua kesulitan ini, apakah kita hanya mengikuti arus ataukah tetap berdiri di atas kebenaran firman Tuhan?
Bagaimanapun, pada dirinya sendiri disiplin gereja bukanlah sesuatu yang negatif. Praktik ini bersumber dari Alkitab sendiri. Dalam tradisi Reformed, disiplin gereja merupakan salah satu tanda sejati dari gereja yang benar. Persoalan muncul tatkala orang Kristen tidak memahami prosedur disiplin gereja.
Sejarah kekristenan menunjukkan bahwa praktik disiplin gereja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara tepat. Sebagian gereja kurang berani melakukannya padahal situasi menuntut demikian. Sebaliknya, sebagian yang lain justru terlalu gegabah padahal nasihat dan teguran keras saja seharusnya masih cukup. Bagaimana menentukan batasan yang benar? Saat bagaimana disiplin gereja dapat diterapkan?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bersumber dari konsep yang benar tentang prosedur disiplin gereja. Artikel ini akan membahas salah satu teks dalam Alkitab yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni Matius 18:15-17. Teks ini sebenarnya tidak membicarakan tentang disiplin gereja secara formal. Kata "kamu" yang muncul di ayat ini berbentuk tunggal (Yun., sou), yang menunjukkan bahwa ayat 15-17 lebih membicarakan tentang tanggung-jawab pribadi seorang anak Tuhan terhadap saudara seimannya. Ini bukan tentang tindakan pemimpin gereja kepada anggotanya.
Walaupun demikian, bentuk jamak "kalian" (Yun., umin) di ayat 18-20 dan rujukan eksplisit tentang otoritas gereja di sana mengarahkan kita untuk melihat unsur disiplin gereja di ayat 15-17. Disiplin gereja harus dimulai dari sesuatu yang bersifat individual: tanggung jawab masing-masing jemaat. Apa yang dimulai pada tingkat personal (pribadi) bisa menjadi persoalan komunal (bersama) apabila langkah-langkah pelayanan yang personal tidak dihiraukan. Disiplin gereja adalah sikap komunal. Sikap komunal harus dimulai dari sikap individual. Jika persoalan tidak dapat terselesaikan di tingkat individual, disiplin gereja bisa diberlakukan terhadap sesuatu yang sudah menjadi persoalan bagi seluruh gereja. Berdasarkan pertimbangan inilah kita akan mencoba menarik beberapa prinsip penting tentang disiplin gereja dari Matius 18:15-17.
Sebelum prosedur: kasih
Tatkala kita mendengar istilah "disiplin gereja", kata apa yang pertama kali terbersit di pikiran kita? Bagi banyak orang, disiplin gereja diidentikkan dengan hukuman dan ketegasan. Hal ini tentu saja tidak salah. Ada aspek hukuman dan ketegasan dalam disiplin gereja.
Walaupun demikian, disiplin gereja sebenarnya lebih berhubungan, bahkan sangat berkaitan dengan kasih daripada dengan hukuman atau ketegasan. Hukuman dan ketegasan hanyalah wujud dari sebuah kasih yang besar. Poin inilah yang hendak disampaikan dalam Matius 18:15-20.
Orang yang berbuat dosa di sini tetap disebut sebagai "saudara" (18:15). Panggilan "saudara" bukan sapaan biasa. Ini adalah sapaan rohani antar orang percaya. Tidak peduli berapa usia kita atau apa etnis kita, semua orang percaya adalah saudara di dalam Kristus. Tidak peduli betapa besar kesalahan yang dia perbuat, status orang itu tidak berubah menjadi musuh kita. Dia tetap menjadi saudara seiman dalam Kristus, sekalipun disiplin gereja tetap harus dilakukan.
Analisa konteks juga mengarahkan kita untuk melihat disiplin gereja dalam kaitan dengan kasih, yaitu kerinduan kita untuk melihat orang lain memperoleh keselamatan rohani. Dalam perikop sebelumnya, Tuhan Yesus membicarakan tentang domba yang terhilang (18:12-14). Tidak peduli apakah domba itu hanyalah domba-domba kecil yang seringkali diabaikan oleh banyak orang, Tuhan tetap mengasihi domba-domba kecil itu (18:10, 14). Sama seperti domba yang tersesat, demikianlah orang yang sedang melakukan sebuah dosa yang serius. Ia perlu dicari dan diselamatkan. Salah satu caranya adalah melalui disiplin gereja.
Dengan kata lain, alasan yang tepat bagi sebuah disiplin gereja seharusnya adalah keinginan untuk mengembalikan orang percaya dari dosa yang membahayakan dirinya. Disiplin gereja bukan dilakukan untuk mengusir satu orang tertentu dari sebuah gereja, melainkan supaya yang tersesat itu bisa kembali hidup dalam kebenaran.
Perikop selanjutnya juga membicarakan tentang kasih, yaitu pengampunan kepada mereka yang bersalah (18:21-35). Hukuman tidak bisa dipisahkan dari pengampunan. Walaupun sebuah hukuman tetap perlu dilakukan, tetapi pada saat yang sama pengampunan juga harus dilepaskan untuk orang tersebut. Hal ini meneladani Allah sendiri. Dia adalah adil dan setia. Keadilan-Nya mendorong Dia untuk menghukum setiap dosa. Kesetiaan-Nya membuat Dia selalu mengampuni dan menerima kita kembali.
Disiplin gereja tidak hanya menunjukkan kasih dalam bentuk hukuman, melainkan juga dalam bentuk pengampunan. Jadi, berbeda dengan gambaran umum tentang disiplin gereja yang terkesan kejam, disiplin Alkitabiah dibalut oleh kasih. Disiplin gereja tidak dimaksudkan untuk mengenyahkan seorang pembuat masalah (troublemaker), melainkan untuk membebaskan dia dari masalah (trouble-free action). Kasih, bukan kebencian. Keselamatan, bukan pelampiasan amarah. Balutan kasih harus menyertai disiplin gereja. Ketegasan harus dilandasi dengan kasih. Hati yang mengasihi harus mengalahkan setiap kemarahan dan kebencian. Disiplin gereja adalah sebuah bentuk kasih.
Hukuman yang diberikan atas dasar kebencian dan rasa terganggu adalah sebuah kekeliruan. Tanpa kasih, disiplin gereja tidak berarti apa-apa; justru akan berubah menjadi monster yang menakutkan bagi semua jemaat. Jangan bicara tentang disiplin gereja tanpa bicara tentang kasih. Jangan melakukan disiplin gereja kalau hati kita tidak mengasihi orang yang didisiplin.
Konsep ini sejalan dengan apa yang Paulus katakan dalam 2 Korintus 7:10. Salah satu hal positif yang diberikan melalui disiplin gereja adalah dukacita sementara yang menghasilkan sukacita yang luar biasa karena membawa pada perubahan hidup. Hal senada diungkapkan penulis PB lain yang mengatakan bahwa teguran dan disiplin yang mendatangkan ketidaknyamanan akan menghasilkan buah kebenaran (Ibr. 12:11).
Prosedur (ayat 15-17)
Bagaimana sebuah disiplin gereja seharusnya diterapkan? Apakah semua dosa patut dikenakan disiplin gereja? Tidak! Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah penentuan jenis dosa yang layak untuk didisiplin. Dalam Matius 18:15 tidak ada keterangan eksplisit tentang jenis dosa yang dilakukan. Sebagian versi Inggris menambahkan "terhadap/melawan engkau", karena mereka mengikuti beberapa salinan Alkitab yang memang memiliki bacaan tersebut. Dalam salinan-salinan yang lebih tua dan lebih bisa dipercaya, tambahan itu tidak ada (LAI:TB "saudaramu berbuat dosa"; NASB "if your brother sins"; bdk. RSV/NIS/ESV "if your brother sins against you"). Penambahan "terhadap/melawan engkau" mungkin didorong oleh pertanyaan Petrus di ayat 21. Jadi, bacaan yang lebih sesuai dengan teks asli adalah yang tanpa tambahan.
Mengapa demikian? Penalaran kita akan membawa pada kesimpulan bahwa para penyalin cenderung memperjelas sebuah teks, bukan mengaburkannya. Dari sisi kritik tekstual, kemungkinan yang paling masuk akal adalah ketiadaan frasa "against you" di dalam naskah asli Alkitab.
Jika demikian, dosa yang sedang dibahas di 18:15-20 tidak boleh dibatasi pada masalah perselisihan pribadi. Lalu dosa seperti apa yang sedang dibicarakan di sini? Teks memberikan secuil petunjuk yang bermanfaat. Dosa yang perlu dikenai disiplin adalah yang berpotensi merusak keselamatan seseorang. Ungkapan "engkau telah mendapatkannya kembali" (lit. "engkau telah memenangkannya kembali") menyiratkan bahwa orang yang ditegur melakukan sebuah dosa yang serius dan membuat dia "terhilang", bukan sekadar masalah pribadi yang remeh-temeh. Keseriusan ini lebih terlihat jelas apabila kita kaitkan dengan perumpamaan tentang domba yang tersesat di 18:12.
Berikutnya, dosa yang didisiplin adalah dosa yang sangat serius (ay. 15). Frasa "engkau telah mendapatnya kembali" menunjukkan bahwa sebelumnya orang ini dalam keadaan tersesat. Sama seperti perikop di atasnya. Orang-orang yang terkena disiplin gereja adalah orang-orang yang tersesat. Sebagai contoh dari tindakan yang dimaksud adalah menjelek-jelekkan kekristenan, memegang doktrin dasar yang keliru, melampaui batas moralitas, dan membawa pengaruh buruk atau menyebabkan kerugian besar pada sebagian besar jemaat di gereja setempat.
Percabulan yang terjadi di jemaat Korintus tampaknya sudah memberikan pengaruh buruk dalam jemaat. Paulus mengumpamakan itu seperti pengaruh ragi pada adonan roti (1Kor. 5:6b). Banyak orang memberikan penerimaan terhadap orang ini, sehingga menimbulkan kesan bahwa kesalahan tersebut tidak seberapa serius. Penerimaan ini ditunjukkan melalui pergaulan (5:9, 11) dan makan bersama (5:11). Kata 'bergaul' (synanamignymi) dalam konteks ini mengarah pada kedekatan yang khusus. Ini juga didukung oleh kesediaan untuk makan bersama. Sesuai konteks pada zaman dahulu, makan bersama membutuhkan kedekatan dalam tahap tertentu.
Tidak semua dosa layak mendapatkan disiplin gereja. Untuk dosa-dosa tertentu, nasihat dan teguran saja sudah cukup. Dalam kasus 1 Korintus 5:1-13, dosa yang dilakukan tidak dapat dikompromikan. Hidup dengan ibu tiri adalah kesalahan yang menjijikkan, bahkan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah sekalipun (5:1). Tidak heran, Paulus bukan hanya sekali saja mendengar kabar buruk ini, tetapi berkali-kali (bdk. present tense 'diberitakan', akouetai).
Dosa di atas bukan hanya serius, namun juga dipegang terus-menerus. Disiplin gereja hanya diberlakukan jika semua cara penggembalaan yang lain sudah tidak berhasil. Begitu pula dengan Matius 18:15-20. Orang tersebut tidak hanya melakukan suatu dosa yang serius, tetapi ia terus-menerus melakukan dan tidak menghiraukan nasihat dari banyak orang. Dosa yang serius ini dilakukan dengan keras kepala dan tanpa perasaan bersalah.
Dalam 1 Korintus 5:1-13, ada banyak petunjuk yang membuktikan bahwa dosa percabulan ini sudah lama berlangsung tanpa ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun. Paulus sudah pernah mengirimkan surat lain sebelumnya untuk membahas persoalan yang sama (5:9-10). Keterangan waktu present tense dalam frasa "hidup dengan istri ayahnya" (lit. terus-menerus memiliki istri ayahnya") menyiratkan kontinuitas dosa. Kontinuitas ini akan menjadi lebih serius apabila pelaku kesalahan terus-menerus menolak bimbingan rohani yang diberikan oleh gereja (Mat. 18:15-17).
Prosedur kedua adalah pemberian nasihat secara pribadi (ayat 15). Perintah ini terlihat aneh di zaman postmodern. Sikap individualistik dipupuk. Kecuekan dianggap bukti kedewasaan. Dalam konteks persekutuan sesama anak-anak Allah (12:49-50; 25:40; 28:10), Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk memberikan teguran kepada saudara seiman yang melakukan dosa (18:15).
Dalam teks Yunani, sebelum perintah "tegurlah" ada kata "pergilah" (hypage, demikian juga RSV/NRSV). Kata ini menyiratkan sebuah inisiatif. Kita tidak boleh hanya menunggu dan berpangku tangan tatkala kita melihat saudara seiman kita melakukan dosa. Sesuatu harus dilakukan secara proaktif. Kita tidak boleh seperti Kain yang berkata: "Apakah aku penjaga adikku?" (Kej. 4:9b). Â
Kata "elencho" yang digunakan di sini memiliki makna yang cukup kuat. Kata ini dipakai untuk teguran Yohanes Pembaptis kepada Herodes (Luk. 3:19). Karya Roh Kudus yang menuduh orang berdosa juga menggunakan kata "elencho" (Yoh. 16:8). Paulus menasihati jemaat Efesus untuk menelanjangi (elencho) perbuatan-perbuatan kegelapan (Ef. 5:11, 13). Untuk beberapa kesalahan, nasihat saja sudah cukup. Untuk kesalahan-kesalahan lain yang serius, teguran perlu diberikan (Tit. 1:13-14) dengan segala kewibawaan (Tit. 2:15). Gereja seharusnya tidak mengenal konsep bergosip dan saling memfitnah.
Walaupun ada ketegasan dalam sebuah teguran, hal itu tidak berarti bahwa teguran bisa dilakukan secara sembarangan. Tuhan Yesus melarang sikap menghakimi orang lain tanpa melihat diri kita sendiri yang juga berdosa (Mat. 7:1-5). Teguran harus dibarengi dengan segala hikmat, pengajaran, dan kesabaran (Kol. 3:16; 2Tim. 4:2). Teguran bukan pelampiasan kemarahan, melainkan wujud kasih yang besar demi kebaikan orang yang kita tegur (Tit. 1:13; Why. 3:19). Teguran adalah upaya pengembalian kepada hal yang benar.
Pembiaran dosa bukan hanya sebuah dosa. Sikap ini bisa menyebabkan dosa yang lain. Imamat 19:16-18 mengaitkan teguran kepada orang lain dengan fitnah, kepahitan hati, dan pembalasan dendam. Orang yang tidak berani menegur sesamamnya biasanya terjebak pada salah satu dosa tersebut. Jadi, teguran bukan hanya menyelamatkan orang lain dari dosa, tetapi juga menyelamatkan diri kita dari dosa. Gereja harus berani mewartakan kebenaran!
Prosedur ketiga adalah pelibatan saksi-saksi (ayat 16), tentunya yang dapat dipercaya. Berbeda dengan penyelidikan kasus modern yang sudah mengalami banyak kemajuan teknologi, keterlibatan dua atau tiga saksi dalam sebuah perkara yang bersumber dari ajaran Perjanjian Lama (Im. 19:15) sangat diperlukan dalam konteks kuno. Selanjutnya orang-orang Yahudi dan gereja mula-mula tetap mengadopsi prinsip ini (Yoh. 8:17; 2Kor. 13:1; 1Tim. 5:19; Ibr. 10:28). Inti dari pemanggilan saksi-saksi adalah konfirmasi agar tidak terjadi kesalahan penilaian atau subjektivitas dalam taraf tertentu.
Tentu saja saksi di sini bukan sembarang saksi. TUHAN melarang orang mengucapkan saksi dusta (Kel. 20:16; Ul. 5:20). Saksi dusta akan dikenai hukuman yang sama dengan yang ia rencanakan pada orang lain (Ul. 19:18-19). Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman (Ams. 19:5, 9). Pada waktu menjelaskan tentang prosedur pengusutan tuduhan terhadap seorang penatua, Paulus mengajarkan pemanggilan saksi dan memberi peringatan agar orang-orang yang terlibat tidak berprasangka dan tidak memihak (1Tim. 5:19-21). Keterangan yang konsisten dari para saksi yang netral dan kredibel akan meneguhkan kebenaran suatu peristiwa.
Sikap negatif terhadap dosa seringkali sama seriusnya dengan dosa yang dilakukan. Kita mengenal kasus Saul dan Daud dengan baik. Keduanya bukan pemimpin yang sempurna. Mereka berdosa. Kualitas kepemimpinan mereka justru dibedakan dari sikap terhadap dosa. Penyakit serius dalam jemaat Korintus bukan hanya jenis dosa yang menjijikkan, tetapi respon yang keliru terhadap keseriusan dosa tersebut. Baik pelaku maupun jemaat lain malah sombong dan tidak mau berduka (1Kor. 5:2).
Penolakan terhadap keterangan saksi-saksi dari orang yang akan diberikan disiplin gereja akan menghantar kita pada tahap selanjutnya. Prosedur keempat adalah pemberitahuan kepada seluruh jemaat (ayat 17a). Pemberitahuan ini dilakukan dalam perkumpulan bersama dalam konteks ibadah (bdk. ayat 18-20; 1Kor. 5:3-5). Tidak ada gosip sebagai media penyebaran informasi. Semua dilakukan secara terbuka dan bersama-sama. Apa yang mulanya harus dilakukan secara pribadi (ayat 15), sekarang harus diungkap secara publik karena kekerasan hati orang yang melakukan dosa tersebut (ayat 17).
Pemberian disiplin harus mempertimbangkan kebersamaan semua elemen gereja yang lain. Paulus merasa perlu memberikan persetujuannya terhadap hukuman yang layak diambil (1Kor. 5:3). Ia tidak lupa mengingatkan jemaat Korintus tentang kesatuan rohani antara mereka, walaupun terpisah oleh jarak (5:4). Poin yang ingin disampaikan adalah persetujuan dan kesatuan hati. Dalam konteks gereja modern, kebersamaan ini dapat ditunjukkan melalui keputusan bersama majelis (tipe presbyterian) atau rapat bersama jemaat (tipe congregational). Pendeknya, disiplin gereja tidak boleh hanya ditentukan oleh orang tertentu. Kebersamaan ini menjamin objektivitas keputusan.
Maksud dari langkah publik ini adalah penguatan persuasi pastoral, bukan mempermalukan seseorang di depan publik atau pembunuhan karakter. Efek yang diharapkan adalah jera, bukan malu. Tindakan ini mengantisipasi pembenaran diri dari orang yang ditegur karena ketiadaan penyataan kebenaran secara komunal. Langkah ini sekaligus sebagai sarana edukasi bagi jemaat-jemaat yang lain, terutama untuk melihat respons gereja yang tegas dan jelas terhadap dosa. Mereka belajar bahwa walaupun gereja tidak pernah bisa sempurna, tetapi gereja juga tidak pernah berkompromi dengan dosa, terutama yang membahayakan keselamatan seseorang. Implikasi yang diharapkan dari hal ini adalah pertobatan yang secepatnya dari jemaat lain yang masih berkanjang dalam dosa-dosa.
Prosedur terakhir adalah pemberian disiplin (ayat 17b). Jika semua langkah pastoral sudah dilakukan dan tidak berhasil, maka langkah terakhir yang harus diambil adalah pendisiplinan. Maksudnya, gereja perlu membuat batasan pergaulan dan persekutuan yang jelas dengan orang yang dikenai disiplin. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah ungkapan "biarlah dia menjadi bagimu seperti seorang kafir atau pemungut cukai" (kontra LAI:TB "pandanglah dia"). Pembatasan pergaulan terjadi karena ulah orang yang berbuat dosa. Penolakannya terhadap pandangan seluruh jemaat menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya berbeda dengan jemaat lain. Jadi, gereja hanya meneguhkan apa yang orang itu ingin dan layak dapatkan: pembedaan dari yang lain!
Bahasa yang digunakan dalam teks ini bersifat sangat Yahudi. Bukan berarti Tuhan menyetujui pandangan umum tersebut. Ia hanya menggunakannya sebagai sarana komunikasi yang relevan.
Di mata orang-orang Yahudi pada waktu itu, kelompok masyarakat yang paling rendah secara spiritual dan moral adalah orang-orang non-Yahudi. Kelompok berikutnya adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (pelacur, dsb.). Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang baik dari mereka (Mat. 5:46-47; 6:7).
Penggunaan ungkapan kultural semacam ini dalam konteks disiplin gereja berarti pembatasan pergaulan. Bentuk konkret dari pembatasan ini tidak dijelaskan dalam Alkitab. Dalam hal ini gereja perlu menggunakan akal budi Kristiani untuk menentukan bentuk disiplin yang konkret. Yang penting adalah sikap gereja yang tegas terhadap dosa tetapi penuh kasih terhadap orang berdosa. Disiplin bisa diterapkan secara progresif sambil melihat perubahan hidup; mulai dari penonaktifan pelayanan, pelarangan mengikuti perjamuan kudus, sampai pelarangan untuk mengikuti ibadah bersama-sama (dilayani secara pribadi di rumah).
Walaupun akhirnya kita kehilangan orang yang bersangkutan, tetapi kita sudah melalui semua prosesnya dengan cara yang benar. Apabila dia adalah orang pilihan, suatu hari nanti Tuhan pasti akan sanggup menyelamatkan dia dan mengembalikannya ke dalam komunitas orang percaya.
Aplikasi
Disiplin gereja bukan untuk dilalaikan. Disiplin gereja tidak seharusnya dilakukan tanpa kasih dan prosedur yang benar. Kiranya semua pembaca artikel ini diberi ketundukan dan kerendahan hati untuk menerima bahwa disiplin adalah sesuatu yang penting dalam pertumbuahn rohani kita. Teguran dari saudara seiman adalah anugerah dari Tuhan. Ketika dosa ditegur dan firman Tuhan mengungkapkan kesalahan kita, apakah kita bersedia taat dan bertobat?
Lebih jauh, kiranya kita diberikan kasih yang cukup untuk menegur dengan kasih. Motivasi, cara, dan tujuan kita, semuanya harus bersumber dari kasih Kristus yang kita terima di kayu salib. Bantulah orang-orang yang melakukan kesalahan. Doakan mereka supaya kembali kepada Allah.
Untuk kita yang saat ini mungkin sedang mengalami disiplin gereja, Tuhan selalu bersedia memulihkan dan mengampuni dosa-dosa kita. Injil merupakan penyataan tentang kasih Allah yang mahakasih. Itulah yang ditawarkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus. Kita semua adalah manusia berdosa: layak untuk dibuang dan dihukum dalam kekekalan. Begitu mudahnya kita mengakui bahwa kita adalah anak Allah yang sudah ditebus melalui pengorbanan Kristus, tetapi dengan sama mudahnya juga kita jatuh ke dalam dosa yang karenanya Kristus mati.
Namun, "Jesus sees our sin more clearly than anyone, yet he loves us more than anyone." Yesus mengasihi dan mau mengampuni segala pelanggaran kita. Tiap kali kita malu menghadap takhta Tuhan yang kudus karena kegagalan yang berulang, Bapa di surga tidak pernah menghitung dan mengingat-ingat kesalahan kita yang lalu. Setiap kali adalah kali pertama. Pengampunan-Nya selalu tersedia. Tuhan tak pernah gagal mengasihi orang yang gagal. Kegagalan kita tidak akan pernah membuat Allah memalingkan wajah-Nya terhadap kita. "We have given God countless reasons not to love us. None of them have been strong enough to change Him," kata seorang teolog yang bernama Paul Washer.
Ketika hukum karma mengatakan bahwa kita mendapatkan apa yang layak kita dapatkan, kekristenan menyatakan bahwa Yesuslah yang mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan. Inilah pengampunan yang manusia butuhkan. Hanya Injil yang bisa menjawabnya melalui karya penebusan Kristus di atas kayu salib.
Dosa kita memang besar, tetapi lebih besar lagi kasih-Nya kepada kita. Tuhan sudah mengampuni semua kesalahan, penyesalan, kekecewaan, kekeliruan, pelanggaran, dan dosa orang-orang yang memercayai Injil Yesus Kristus. Jangan biarkan kita hidup dengan perspektif masa lalu yang salah. Jangan biarkan diri kita dikuasai oleh perasaan bersalah yang berlebihan sehingga meremehkan anugerah dan kasih Allah.
Bagi kita yang masih terus jatuh bangun di dalam dosa, datanglah kepada salib Kristus: di sana selalu tersedia pengampunan untuk kita, tanpa perlu ada disiplin gereja terlebih dahulu. Tuhan mengasihi orang berdosa. Kita memang tidak pantas dikasihi oleh Tuhan, namun Kristus mengasihi kita dengan cara menyelesaikan semua dosa kita di atas kayu salib; baik dosa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tuhan tahu kita akan melakukan banyak dosa, tetapi Tuhan yang sama toh tetap mati bagi kita. Itulah kasih karunia Tuhan yang besar bagi orang yang percaya kepada-Nya.
Akhirnya, kita semua didorong untuk berdoa bagi gereja-gereja di dunia, supaya kita semua menjadi gereja yang serius terhadap kesucian, dan di sisi lain juga menjadi gereja yang menjunjung tinggi kasih Kristus di tengah-tengah kita. Biarlah kita menggabungkan teguran dengan kasih oleh pertolongan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H