Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerusakan Total

14 Februari 2018   18:55 Diperbarui: 18 Agustus 2018   12:03 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap aliran teologi pasti memiliki keunikan dan penekanan tertentu yang menjadi ciri khas dari aliran tersebut, sekaligus membedakannya dari berbagai aliran yang lain. Begitu pula dengan aliran Teologi Reformed. Walaupun Teologi Reformed memiliki beberapa konsep yang sama dengan aliran lain dalam lingkup teologi injili (misalnya konsep tentang ketidakbersalahan Alkitab, keilahian Yesus, finalitas Kristus dalam keselamatan, dsb.), namun Teologi Reformed memiliki keunikan sendiri.

Salah satu cara paling cepat dan cukup mudah untuk memahami keunikan Teologi Reformed yang sangat luas tersebut adalah melalui Lima Pokok Calvinisme yang disingkat TULIP: T = Total Depravity (Kerusakan Total), Unconditional Election (Pemilihan Tanpa Syarat), L = Limited Atonement (Penebusan Terbatas), I = Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak), P = Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Walaupun TULIP dirumuskan untuk merespons suatu problem tertentu yang spesifik, tetapi doktrin ini tetap bernilai universal. Walaupun tidak dimaksudkan sebagai ringkasan dari keseluruhan Teologi Reformed, tetapi TULIP tetap mewakili apa yang menjadi karakteristik Teologi Reformed.

Latar belakang perumusan

Perumusan TULIP tidak bisa dipisahkan dari perkembangan tradisi Reformed di Belanda (lihat Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries, 315-318). Di tengah pergumulan bangsa Belanda untuk meraih kemerdekaan nasional dari tangan Spanyol, gereja-gereja di Belanda – yang mayoritas adalah gereja Reformed – terus berbenah diri. Sebuah sinode nasional di Emden pada tahun 1571 mengesahkan sistem pemerintahan gereja presbyterian. Sinode ini juga mengadopsi Pengakuan Iman Belgia (Belgic Confession) yang dipersiapkan Guido de Bres pada tahun 1561 dan direvisi oleh Francis Junius. Pengakuan iman ini sebelumnya telah diterima dalam sebuah pertemuan di Antwerp pada tahun 1566 dan selanjutnya disahkan dalam sebuah sinode nasional di Dort tahun 1574. Dengan demikian, Pengakuan Iman Belgia dan Katekismus Heidelberg (Heidelberg Catechism) menjadi standar teologi gereja-gereja Reformed di Belanda. Mereka juga mendirikan Universitas Leiden pada tahun 1575 dan menjadikannya sebagai pusat studi teologi Reformed. Tidak heran, gereja di Belanda telah menjadi sumber dari berbagai karya teologis yang berbobot dan sebagai salah satu pusat pemikiran Reformed yang sangat berpengaruh pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 (John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition, 38).

Beberapa waktu kemudian Belanda juga menjadi pusat perdebatan teologis terkenal. Semua ini berawal dari seorang yang bernama Yakobus Armenius (1560-1609). Ia mempelajari teologi di Leiden dan Genewa, di bawah bimbingan Theodorus Beza, penerus John Calvin di Genewa. Setelah 15 tahun menjadi pendeta di Amsterdam, ia mulai mengajar di Universitas Leiden pada tahun 1603. Ia menganggap ajaran Reformed telah dilebih-lebihkan oleh Theodorus Beza dan Gomarus, karena itu ia berusaha untuk memodifikasi ajaran Reformed sehingga – menurut dia – Allah tidak dianggap sebagai pencipta dosa maupun manusia tidak bisa berbuat apa-apa di tangan Allah. Secara khusus ia menolak konsep tentang anugerah Allah yang tidak dapat ditolak, walaupun ia meyakini bahwa tidak ada orang yang bisa datang kepada Allah kalau tidak mendapat anugerah.

Usaha ini menuai protes dari koleganya di Leiden, yaitu Francis Gomar. Armenius lalu meminta diadakan sinode nasional untuk membahas masalah ini, tetapi ia meninggal dunia lebih dahulu sebelum pertemuan itu diadakan. Para pendukung Armenius – termasuk di antaranya adalah Hugo Grotius – mengumpulkan ide-ide mereka dalam Remonstrans pada tahun 1610. Armneius mengajarkan bahwa manusia dapat mengambil inisiatif dalam keselamatan setelah Allah memberikan anugerah dasar yang memampukan kehendak mereka untuk bekerja sama dengan Allah. Ia menerima doktrin predestinasi (pemilihan), tetapi ia menganggap penetapan ini didasarkan pada pra-pengetahuan Allah. Ia mengajarkan bahwa penebusan Kristus cukup untuk semua orang, tetapi hanya efektif bagi mereka yang dipilih untuk selamat. Ia meyakini bahwa manusia dapat menolak anugerah Allah. Sehubungan dengan orang percaya, Armenius berpendapat bahwa Allah akan memberikan anugerah kepada orang-orang kudus sehingga mereka tidak jatuh ke dalam dosa, namun ia mempercayai bahwa Alkitab tampaknya mengajarkan kemungkinan bagi seorang percaya untuk murtad.

Akhirnya sebuah pertemuan internasional diadakan di Dort pada tahun 1618-1619. Sekitar 130 orang dari berbagai tradisi Reformed di Eropa menghadiri pertemuan ini. Hasil dari pertemuan ini adalah dirumuskannya Lima Pokok Calvinisme dan Kanon Dort (Canons of Dort). Selanjutnya para rohaniwan yang mengikuti Armenianisme dicopot dari jabatan mereka. Mereka yang memihak Armenius harus menghadapi penganiayaan sampai tahun 1625. Walaupun dianiaya, ajaran Armenian mampu memiliki pengaruh yang cukup kuat di salah satu aliran gereja Anglikan pada abad ke-17, gerakan Methodis pada abad ke-18, dan Bala Keselamatan.

Beberapa penjelasan penting seputar TULIP

Sebagian sarjana melihat ajaran Armenian sebagai respon terhadap ajaran hyper-Calvinis yang dipopulerkan Beza. Mereka berpendapat bahwa Beza terlalu mengandalkan rasio (pemikiran logis) dalam merumuskan ajaran Reformed, sehingga dia telah salah memahami Calvin dalam beberapa aspek. Pendapat seperti ini tampaknya perlu dikaji ulang. Beza sebenarnya hanya berusaha untuk mengikat beberapa konsep Calvin yang tidak terlalu berkaitan sehingga menjadi sebuah sistem teologi yang logis dan koheren. Pendekatan ini merupakan respons Beza terhadap perubahan berpikir orang-orang waktu itu yang kembali menganut filsafat Aristotelian dengan penekanan pada koherensi dan sistematisasi konsep-konsep (Alister E. McGrath, Historical Theology, 169). Jika dibandingkan dengan pendekatan Calvin, upaya Beza ini jelas sangat berbeda, tetapi apa yang disampaikan Beza pada dasarnya sama dengan ajaran Calvin.

Hal lain seputar TULIP yang sering disalahpahami adalah istilah “Lima Pokok Calvinisme”. Penggunaan istilah ini bisa menimbulkan kesan bahwa semua pokok penting dari teologi Reformed sudah tercakup dalam TULIP, padahal sistem Teologi Reformed jauh lebih luas, seluas Alkitab itu sendiri (Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme, ed. rev., vii). Akibat kesalahpahaman seperti ini, Teologi Reformed seringkali hanya diidentikkan dengan predestinasi, padahal Calvin sendiri tidak menekankan predestinasi. Ada beberapa bukti yang mengarah kepada konklusi ini:

  • Doktrin predestinasi Calvin sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus. Calvin sendiri mengakui pengaruh ini secara eksplisit dalam bukunya Treatise on Predestination.
  • Martin Luther juga memiliki konsep predestinasi yang sangat bernuansa Agustinian (De servo arbitrio, Desember 1525). Dalam perdebatannya melawan Erasmus yang menekankan kehendak bebas manusia, Luther menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengingini yang baik. Keselamatan hanya dimungkinkan melalui kehendak Allah yang benar-benar bebas.
  • Dalam Institutio edisi ke-1 Calvin tidak memasukkan topik predestinasi. Topik ini baru dibahas di edisi ke-2, itupun dalam kaitan dengan ekklesiologi sehubungan dengan respons terhadap pemberitaan firman Allah. Dalam edisi tahun 1559, pembahasan tentang predestinasi menjadi lebih panjang dan diletakkan setelah doktrin Allah dan dalam kaitan dengan pengudusan serta pembenaran.
  • Ketertarikan Calvin terhadap doktrin berkaitan dengan aspek praktis. Ia ingin mengoreksi pandangan beberapa orang yang salah tentang predestinasi: Melanchthon – predestinasi spekulatif dan tidak berguna. Albertus Pighius (De libero hominis arbitrio et divina gratia libri decem, 1542) – kerja sama antara kehendak dan anugerah Allah. Jerome Bolsec – anugerah ditawarkan pada semua orang; hasil dari anugerah ditentukan oleh respons manusia.

Doktrin predestinasi Calvin didasarkan pada natur manusia yang sudah tercemar dan tidak mungkin bisa menginginkan Allah. Kemampuan untuk percaya pasti berasal dari anugerah Allah semata-mata. Jadi, predestinasi hanyalah konsekuensi dari konsep teologi lain yang lebih mendasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun