Â
"Rajam... rajam..."
Demikianlah pekik seru khayalak membelah langit, mewarnai senja dengan hujat serta caci maki yang lahir dari lidah-lidah lelaki berjubah putih, nyaring melebihi lantunan doa mereka. Nampak tangan-tangan terjunjung tinggi, bukan oleh keadilan --munafik sekali bila menamainya suatu keadilan. Bukan. Itu batu gosok dari kampung-kampung tetangga, atau barangkali saripati otak mereka? Tak tahulah, habisnya kosong benar hingga mau-maunya dijadikan centeng buat asal merajam! Â
Seakan gelegear wahyu Tuhan turun dari awan-awan, khayalak menyepi, menyambut muntahan corong pengeras di depan bibir sang ketua Laskar. "Wahai saudara-saudaraku setanah air... janganlah sekali-kali kita sudi dipimpin orang kafir yang tak sujud terhadap Tuhan kita!"
YA!
"Yang keturunan najis!"
YA!
"Yang telah menistakan ajaran-ajaran Tuhan kita!"
YA!
"DEMI TUHAN!!!!!!"
 Kemudian, hujan batu.
Memang 'Demi Tuhan' bukan mantra sakti mandraguna pemanggil hujan batu, tetapi di tengah-tengah benteng amarah membara sosok-sosok berjubah putih itu adalah putra mahkota yang terdakwa berzinah. Nista. Najis. Dan beberapa pekan mendatang raja akan menuding siapa penerus nan layak memegang kendali atas hidupnya ibu kota.
Asoe. Dari namanya kita tahu bahwa sang putra mahkota berasal dari suatu negri nun jauh di sana. Bukan peranakan kandung dalam negri. Mungkin sejak bayi merah dititipkan liong ke nusantara, sebab sebagaimana diceritakan kitab-kitab dari negrinya, bahwa liong mendatangkan kekuatan tak tertandingi bagi mereka yang memilikinya. Ya, tengoklah sekelilingmu, selama masa baktinya dia telah mendatangkan hujan di tengah-tengah kemarau berkepanjangan, mengaliri sungai-sungai hingga musim panen sudi mampir di ibu kota yang mulai berangsur layak menjadi tuan rumah penyambut mancanegara.
Oh, tentu bagaikan langit bumi jika Asoe disandingkan dengan Agung! Dialah putra kandung raja berdarah murni. Tetapi orang yang punya mata, telinga, hati, serta akal sehat tahu Agung okang-okang kaki dan hobi makan koin emas rakyat ; kalau dia sampai peras keringat ya paling-paling buat mengubur tai emasnya itu. Sudah jelas toh rakyat condong ke siapa? Â
Tempo hari, terjadilah malam laknat yang menjadi biang kerok segalanya. Ketika Asoe menyusuri jalan seorang diri, dinaungi awan yang sedang kembung kebanyakan minum hingga kencingnya banyak kali mengguyur bumi, dan kentutnya dahsyat yang melayangkan serakan dedaunan di jalan dengan sekali hembus. Orang-orang terbirit-birit cari teduhan sebab tak mau ikut sakit bersama awan. Sungai jadi-jadian meluap di pinggiran kota, sesekali tai sungguhan berlayar di permukaannya.
Pemandangan selokan mampet tentunya cukup untuk bikin panas mata Asoe, terlepas angin malam merembeskan dingin ke kulitnya. "Asem si kepala dinas kebersihan! Mana tim buat bersihkan selokan yang janji situ kirim siang tadi?! Lihat besok, kursinya di kantor saya buat korek selokan. Biar sekalian saya copot dia!" geram Asoe. Ya, dia memang anti sama manusia-manusia OmDo, alias omong doang. Buatnya yang penting aksi bukan janji. Maka tidak jelas copot apa yang dimaksud di sini. Bisa jadi copot jabatan, copot gaji, copot kaki, copot tangan, copot mata... terserah. Tapi ini negri bukan negri biadab, sudah kenal yang namanya Hak Asasi Manusia dan ada UUD menjamin; lagi pula malam sudah terlampau pekat untuk menjalankan praktek mutilasi; genderuwo dan kuntilanak pasti sedang gahar-gaharnya cari lauk buat hidangan kawinan mereka sehingga bisa-bisa potongan-potongan tubuh itu diperebutkan di kuburan se- RT --kalau kuburan memang punya RT. Keenakan nanti setan-setan itu tak kerja dapat jatah!
Jadi Asoe berpikir mending cepat cari hotel terdekat sebelum dirinya sempat makan orang, sebab alam mimpi sudah menagih kunjungan setelah seharian ditinggal kerja, dan rasanya rumah bermil-mil tambah jaraknya bila hujan badai datang. Dia pun mempercepat langkah tanpa peduli celana makin lepek seiring hentakan kaki. Pokoknya lebih cepat sampai kasur lebih baik. Titik.
Tiba-tiba...
Apa gerangan itu?!
Jangan-jangan genderuwo yang sedang mengintai mangsa di balik bayang-bayang pekat gurita? Atau mungkin... penyamun dengan sembilah pedang siap penggal leher? Belum pasti. Apa sajalah yang nampaknya meringkuk dan menggoyang-goyang sesemakan sama sekali tak bikin Asoe gentar, pergerakan dari balik semak yang amat janggal untuk dianggap kucing kawin justru menggelitik penasarannya. Â Selangkah mendekati... dua langkah... tiga langkah.... Â hua!
"Non, ngapain kamu malam-malam begini? Memangnya tidak kedinginan, tidak dicari bapak ibukmu?"
Alih-alih disantap genderuwo atau dimatikan penyamun, Asoe malah mendapati sesosok gadis. Meski gelap amat gurita dan hujan menjalari wajahnya, Asoe tahu paras si gadis elok sebenarnya jika kotor tidak melekat pada dirinya. Belia, barangkali belum genap dua puluh; mata bundar, hidung bangir, bibir penuh, dan basah melengketkan gaun di tubuh si gadis hingga semakin kentara sintalnya. Iba menjalari batin Asoe, melenyapkan berahi bila memang ada.
"Ada yang bisa saya bantu, Non?"
 "Saya mohon Yang Mulia... jangan bilang-bilang kalau saya ada..."
"Lah, memangnya kamu berbuat salah apa?"
"Tidak ada apa-apa Yang Mulia, sumpah..." Si gadis gelagapan. "Tolong Yang Mulia...tolong saya... kalau sampai mereka tahu saya di sini, saya pasti diteriaki perempuan sundal terus dirajam ramai-ramai. Saya tidak tahu mesti ke mana lagi."Â
Sungguh, Asoe tak habis pikir, buta macam apa yang tega mengejar-ngejar si gadis sampai gemetran terkencing-kencing sebegitu hebatnya. Tapi di hadapnya ada perempuan tak berdaya nan memohon perlindungan, cantik pula, dan meski muncul tanda tanya besar dalam benaknya, naluri lelaki dalam dirinya mengambil alih.
Setengah jam sesudah beroleh check-inmasih terlalu mentah rasanya, sebagaimana Asoe mematangkannya dengan bercakap-caka p barang sejenak bersama si gadis. Tetapi malam benar-benar tiba. Lampu Kamar 131 dipadamkan. Tirai-tirai ditutup. Dan tiada terdengar kata-kata lagi.
Adakah yang salah dari kata 'tidur bersama'?
Sepertinya ya, sebab pagi-pagi sekali mulut seorang porter hotel sudah tak kuasa lagi menahan kabar burung yang hendak mendobrak bak kotoran hendak menjebol keluar, segar dan hangat. Seperti makanan yang berubah wujud ketika dilumat kemudian terlahir dengan wangi busuk nan mengundang kumpul lalat; entah bagaimana ceritanya, mulut si porter bisa mengganti kata 'tidur bersama' menjadi 'meniduri', dan orang-orang hotel menerima kabar menggemparkan sesungguh bumi berguncang. Jadilah, putra mahkota raja meniduri seorang gadis. Tanpa bisa dikandangi, kabar burung terbang mengikuti hembusan angin, merembesi lapak-lapak pasar, bergema di sela-sela bangku warung, menempel di sepatu ibu-ibu, menumpangi percakapan rakyat... Â hingga tiba di telinga Agung. Senyum mengembang di muka Agung.
Kau tidak tahu betapa dahsyat kesal Agung berkecamuk sejak Asoe mendapat porsi di bangku kerajaan. Bibit-bibit permusuhan timbul di hati Agung ketika Asoe bersekongkol dengan raja untuk melakukan pengawasan terhadap upeti dalam lumbung kerajaan; tidak seperti sanak saudaranya yang justru selalu setia menyuapinya dengan koin-koin emas rakyat sebagai ganti tanah buat mengubur tinja mereka. Yang membuat Agung bertambah-tambah radangnya, dirinya tak menemukan sejumput kotoran pun yang mesti dikubur dari Asoe, sehingga tak ada alasan bagi Asoe untuk menyuapi Agung; malah Asoe mengancamnya bilamana berani macam-macam. Sungguh, Agung serasa dihakimi hitam putih oleh kinerja Asoe; ditambah golongan intelek yang menaruh simpati terhadap Asoe (dan melempari Agung tomat busuk) --lengkap sudah. Di matanya Asoe serupa sumbat kakus yang mesti disodok keluar.
"Siapkan kereta kuda! Kita berangkat ke markas Laskar!" seru Agung sumringah.
Sekarang sudah bukan zaman yang enak toh, angkatan bersenjata sudah khilaf tak mau dijadikan centeng liar buat asal tembak kanan-kiri depan-belakang. Kalau di zaman yang serba demokratis begini aparat membela orang-orang benar, musuhnya orang-orang benar ya mau tak mau harus bangun pasukan sendiri. Buat Agung, seragam pasukannya berjubah putih, senjata mereka kitab suci dan sedikit otot nekad kalau-kalau harus bersanding dengan aparat. Laskar, begitu sebutannya. Definisinya, sekelompok orang berjubah yang makan dari nama Tuhan mereka. Ya memang sudah profesi toh... mau bagaimana?
"Yang Mulia..." ujar ketua Laskar mengelus-elus kepangan janggutnya. "Saya beserta seluruh anggota Laskar tentunya memberi dukungan total atas rencana Anda menggulingkan Asoe. Ya, Anda tahulah, demi kelangsungan hidup Laskar... Tapi ingat, rencana Yang Mulia bukan rencana kecil lho..."
Brak!
Wajah Agung padam bak tomat baru keluar rebusan. "Apa?! Anda takut melawan raja heh?! Anda pikir Laskar Anda hebat?! Laskar hanyalah alat sopan santun penggerak rakyat bawah supaya mereka mempercayai kalian sebagai saudara seperjuangan yang unta leluhurnya sama-sama dimangsa naga, dan kini seorang peranakan naga telah menistakan ajaran Tuhan kalian, paham?! Tanpa perlindungan saya, kalian akan menjadi centeng-centeng liar yang tak lama bakal dikandangi aparat, bahkan saya bisa memastikan hal tersebut terjadi pada kalian dalam kurun tempo dekat bilamana kalian tak turut perintah saya, mau kalian?!"
"Ampuni hambamu yang tidak bermaksud membelot, Yang Mulia... tapi setelah dirinci lebih dalam, saya rasa sepuluh krat apel kok kurang buat menggerakkan masa segitu banyaknya. Masih ada biaya operasional Laskar, dua krat untuk sekertariat, dua krat untuk transport, dua krat untuk konsumsi --kira-kira enam krat totalnya. Ah, enam belas krat apel adalah jumlah kecil lah ya jika disandingkan kekayaan Yang Mulia...."
"Bukankah delapan krat apel sudah kalian ambil dulu, katanya sebagai bayaran di muka, belum ditambah dua belas krat apel yang saya janjikan. Masih kurang apa sih?"
"Aduh, mau bagaimana ya? Kan seperti yang Anda ketahui, kami bisa hidup ya dari acara-acara begini, kalau cuma dari sumbangan ya mana cukup? Nah kalau dana lancar, kami bisa kerja dengan maksimal, dan ujung-ujungnya toh Anda juga menikmati hasil kerja kami bukan? Biar sama-sama enak begitu lho... delapan enam ya, Yang Mulia?"
Agung menghela nafas.
"Baiklah. Saya memang tidak keberatan dengan jumlah apel yang kalian minta. Tetapi, jika tindakan kalian tidak sepadan dengan penawaran manis kalian, berarti apel-apel yang sudah saya berikan pada kalian, harus kalian kembalikan kepada saya, kalau tidak... rasakan akibatnya!"
Tidak lama kemudian sepasang tepukan tangan Agung mendatangkan pengawal-pengawal, kentara mempertunjukkan senjata api sebagai ancaman kepada anggota Laskar. Segalanya sudah jelas, siapa yang berkuasa di sana.
"Pokoknya saya tidak mau tahu, Asoe harus jatuh sebelum raja menuding penerus."
Lalu beberapa hari kemudian, datanglah seru-seruan nama Tuhan yang senantiasa menghujat dan merusak persatuan. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan hukum sesuai keinginan. Mengubah jalanan ibu kota menjadi lautan jubah putih, mengubah suara mayoritas menjadi hakim. Ayat-ayat teracung di mana-mana.
Orang-orang menyerukan nama Tuhan sambil bergerak melebur ke kediaman Asoe. Tak hanya para lelaki yang hendak melancarkan penyerbuan, tapi juga anak-anak dan perempuan yang menyaksikan rombongan berangkat. Semua orang mendukung. Sepanjang jalan, sesekali ada yang selawatan, menyanyikan tembang-tembang pembangkit semangat. Umbul-umbul bertorehkan 'ANTI KAFIR' mereka acung-acungkan. Begitulah cara mereka mengirim pesan pada setiap orang di jalanan. Dobrakan, teriakan, seretan, juga pukulan. Bak menyeret anjing, khayalak menggiring paksa Asoe yang belum sempat mengerti apa gerangan salahnya untuk dilemparkan ke tengah-tengah lingkaran masa dan diadili karena tertuduh berzina, karena terdakwa menistakan ajaran Tuhan. Siapa berani menentang?! Ini demi kepentingan agama, demi kepentingan Tuhan.
Tetapi mereka tak tahu, bahwa malam yang digembar-gemborkan seantero negri sesungguhnya ditiduri tanpa adanya seperser sentuhan. Malam berhujan di hotel tersebut, Asoe merelakan kasurnya bagi si gadis. Sementara Asoe memilih sofa sebagai alas bermalam, si gadis  menumpahkan asal muasalnya. Terima kasih katanya, sebab dirinya sedang kabur karena dizolimi lelaki beragama dan tak kuasa melawan karena dikutuk takdir. Takdir dirinya perempuan antah berantah dan mereka kaum beragama, takdir dirinya minor dan mereka mayor.
Demikianlah kebenaran. Namun mata hanya melihat apa yang ingin dilihatnya, telinga hanya mendengar apa yang ingin didengarnya, dan mulut hanya mengikuti kehendak mata dan telinga. Yah, sebenarnya tidak ada agama yang salah. Yang ada hanyalah manusia dengan pemahaman dan sumbunya nan  pendek, sehingga Bhineka Tunggal Ika menjelma menjadi bom waktu yang siap meletus kapan saja. Ke mana perginya Pancasila yang universal bagi seluruh rakyat? Dan bukankah lambang negara kita garuda, bukan naga atau unta?
Entahlah... mungkin burung garuda dijadikan peliharaan orang berharta?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H