"Yang Mulia..." ujar ketua Laskar mengelus-elus kepangan janggutnya. "Saya beserta seluruh anggota Laskar tentunya memberi dukungan total atas rencana Anda menggulingkan Asoe. Ya, Anda tahulah, demi kelangsungan hidup Laskar... Tapi ingat, rencana Yang Mulia bukan rencana kecil lho..."
Brak!
Wajah Agung padam bak tomat baru keluar rebusan. "Apa?! Anda takut melawan raja heh?! Anda pikir Laskar Anda hebat?! Laskar hanyalah alat sopan santun penggerak rakyat bawah supaya mereka mempercayai kalian sebagai saudara seperjuangan yang unta leluhurnya sama-sama dimangsa naga, dan kini seorang peranakan naga telah menistakan ajaran Tuhan kalian, paham?! Tanpa perlindungan saya, kalian akan menjadi centeng-centeng liar yang tak lama bakal dikandangi aparat, bahkan saya bisa memastikan hal tersebut terjadi pada kalian dalam kurun tempo dekat bilamana kalian tak turut perintah saya, mau kalian?!"
"Ampuni hambamu yang tidak bermaksud membelot, Yang Mulia... tapi setelah dirinci lebih dalam, saya rasa sepuluh krat apel kok kurang buat menggerakkan masa segitu banyaknya. Masih ada biaya operasional Laskar, dua krat untuk sekertariat, dua krat untuk transport, dua krat untuk konsumsi --kira-kira enam krat totalnya. Ah, enam belas krat apel adalah jumlah kecil lah ya jika disandingkan kekayaan Yang Mulia...."
"Bukankah delapan krat apel sudah kalian ambil dulu, katanya sebagai bayaran di muka, belum ditambah dua belas krat apel yang saya janjikan. Masih kurang apa sih?"
"Aduh, mau bagaimana ya? Kan seperti yang Anda ketahui, kami bisa hidup ya dari acara-acara begini, kalau cuma dari sumbangan ya mana cukup? Nah kalau dana lancar, kami bisa kerja dengan maksimal, dan ujung-ujungnya toh Anda juga menikmati hasil kerja kami bukan? Biar sama-sama enak begitu lho... delapan enam ya, Yang Mulia?"
Agung menghela nafas.
"Baiklah. Saya memang tidak keberatan dengan jumlah apel yang kalian minta. Tetapi, jika tindakan kalian tidak sepadan dengan penawaran manis kalian, berarti apel-apel yang sudah saya berikan pada kalian, harus kalian kembalikan kepada saya, kalau tidak... rasakan akibatnya!"
Tidak lama kemudian sepasang tepukan tangan Agung mendatangkan pengawal-pengawal, kentara mempertunjukkan senjata api sebagai ancaman kepada anggota Laskar. Segalanya sudah jelas, siapa yang berkuasa di sana.
"Pokoknya saya tidak mau tahu, Asoe harus jatuh sebelum raja menuding penerus."
Lalu beberapa hari kemudian, datanglah seru-seruan nama Tuhan yang senantiasa menghujat dan merusak persatuan. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan hukum sesuai keinginan. Mengubah jalanan ibu kota menjadi lautan jubah putih, mengubah suara mayoritas menjadi hakim. Ayat-ayat teracung di mana-mana.