Mohon tunggu...
Cerpen

Nista

15 September 2017   20:20 Diperbarui: 15 September 2017   20:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ada yang bisa saya bantu, Non?"

 "Saya mohon Yang Mulia... jangan bilang-bilang kalau saya ada..."

"Lah, memangnya kamu berbuat salah apa?"

"Tidak ada apa-apa Yang Mulia, sumpah..." Si gadis gelagapan. "Tolong Yang Mulia...tolong saya... kalau sampai mereka tahu saya di sini, saya pasti diteriaki perempuan sundal terus dirajam ramai-ramai. Saya tidak tahu mesti ke mana lagi." 

Sungguh, Asoe tak habis pikir, buta macam apa yang tega mengejar-ngejar si gadis sampai gemetran terkencing-kencing sebegitu hebatnya. Tapi di hadapnya ada perempuan tak berdaya nan memohon perlindungan, cantik pula, dan meski muncul tanda tanya besar dalam benaknya, naluri lelaki dalam dirinya mengambil alih.

Setengah jam sesudah beroleh check-inmasih terlalu mentah rasanya, sebagaimana Asoe mematangkannya dengan bercakap-caka p barang sejenak bersama si gadis. Tetapi malam benar-benar tiba. Lampu Kamar 131 dipadamkan. Tirai-tirai ditutup. Dan tiada terdengar kata-kata lagi.

Adakah yang salah dari kata 'tidur bersama'?

Sepertinya ya, sebab pagi-pagi sekali mulut seorang porter hotel sudah tak kuasa lagi menahan kabar burung yang hendak mendobrak bak kotoran hendak menjebol keluar, segar dan hangat. Seperti makanan yang berubah wujud ketika dilumat kemudian terlahir dengan wangi busuk nan mengundang kumpul lalat; entah bagaimana ceritanya, mulut si porter bisa mengganti kata 'tidur bersama' menjadi 'meniduri', dan orang-orang hotel menerima kabar menggemparkan sesungguh bumi berguncang. Jadilah, putra mahkota raja meniduri seorang gadis. Tanpa bisa dikandangi, kabar burung terbang mengikuti hembusan angin, merembesi lapak-lapak pasar, bergema di sela-sela bangku warung, menempel di sepatu ibu-ibu, menumpangi percakapan rakyat...  hingga tiba di telinga Agung. Senyum mengembang di muka Agung.

Kau tidak tahu betapa dahsyat kesal Agung berkecamuk sejak Asoe mendapat porsi di bangku kerajaan. Bibit-bibit permusuhan timbul di hati Agung ketika Asoe bersekongkol dengan raja untuk melakukan pengawasan terhadap upeti dalam lumbung kerajaan; tidak seperti sanak saudaranya yang justru selalu setia menyuapinya dengan koin-koin emas rakyat sebagai ganti tanah buat mengubur tinja mereka. Yang membuat Agung bertambah-tambah radangnya, dirinya tak menemukan sejumput kotoran pun yang mesti dikubur dari Asoe, sehingga tak ada alasan bagi Asoe untuk menyuapi Agung; malah Asoe mengancamnya bilamana berani macam-macam. Sungguh, Agung serasa dihakimi hitam putih oleh kinerja Asoe; ditambah golongan intelek yang menaruh simpati terhadap Asoe (dan melempari Agung tomat busuk) --lengkap sudah. Di matanya Asoe serupa sumbat kakus yang mesti disodok keluar.

"Siapkan kereta kuda! Kita berangkat ke markas Laskar!" seru Agung sumringah.

Sekarang sudah bukan zaman yang enak toh, angkatan bersenjata sudah khilaf tak mau dijadikan centeng liar buat asal tembak kanan-kiri depan-belakang. Kalau di zaman yang serba demokratis begini aparat membela orang-orang benar, musuhnya orang-orang benar ya mau tak mau harus bangun pasukan sendiri. Buat Agung, seragam pasukannya berjubah putih, senjata mereka kitab suci dan sedikit otot nekad kalau-kalau harus bersanding dengan aparat. Laskar, begitu sebutannya. Definisinya, sekelompok orang berjubah yang makan dari nama Tuhan mereka. Ya memang sudah profesi toh... mau bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun