Kedua, apakah pembuat kisah dan kisah itu sendiri menunjukkan tiadanya norma yang sama dipegang dengan manusia sekarang atau sejak penilaian moral itu dijatuhkan? Harus dijawab pertama bahwa tak bisa dibuat penilaian berdasarkan pembandingan seperti itu. Mitos ini tidak bisa dipakai untuk menentukan norma yang berlaku dalam hal hubungan suami isteri dalam perkawinan menurut norma agama yang melarang incest.
Tapi kisah itu mungkin harus dilihat sebagai sebuah cara bagaimana leluhur Minahasa berusaha dijelaskan awal mula kehidupan manusia yang sangat dekat secara horizontal bahkan secara vertikal. Lagipula memang ada kisah serupa di beberapa komunitas budaya di nusantara. Malah ada yang lebih ekstrim, misalnya leluhur nya berasal dari hewan. Akan lebih menarik dan kiranya akan lebih banyak pemaknaan yang bisa diangkat ketika menganalisis 90an versi kisah yang dianggap lebih awal itu, juga kisah2 yang ditambahkan kemudian sebagai pembanding.
Ketiga, menurut bung Deni, mesti dibedakan antara fakta historis dan kisah mitologi itu sendiri. Semestinya Kisah mitologi dimaknai sebagai sebuah kisah yang tidak sedang berbicara tentang fakta historis dan karena itu mestinya bukan gamblang tentang incest misalnya, tspi ada sesuatu yang hendak disingkap dan ditegaskan.
Keempat, walaupun bukan kisah faktual historis, mitos itu tidak sama dengan dongeng atau legenda khayalan belaka. Mitos itu merupakan kisah sakral sepaket dengan kepercayaan dan apa yang dikultuskan dalam sebuah ritus upacara tertentu. Denni setuju dengan Bode yang  menjelaskan bahwa sejarawan diajarkan bahwa mereka mesti netral menempatkan suatu persoalan secara proporsional, dan karena itu selama tidak ada referensi yang dianggap lebih sahih, maka mitologi tetap menjadi salah satu sumber yang dijadikan pegangan, tentu dengan pembacaan dan penafsiran yang kontekstual sesuai kaidah ilmiah.
***
Jadi, pembacaan dan penafsiran kisah ini bukan sebagai kisah dengan tujuan moral tertentu dari kacamata agama misalnya, tapi mesti dibingkai dan dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang hadir dalam jagad mikro dan makro kehidupan manusia itu, yang masih sangat awal dalam peradaban manusia. (bdk teori evolusi dan perkembangan manusia dari manusia peramu, nomaden, sampai menetap dalam suatu wilayah)
Bahwa mesti ada awal dari segala sesuatu yang ada, dan peranan roh empat mata angin yang dihadirkan oleh kuasa suci (otoritas) yang diperankan oleh sang Karema sebagai imam yang menjalankan ritual suci, penguhubung dengan sang pencipta. Lalu kehidupan awal itu ditempatkan dalam gambaran yang sangat dekat dalam hubungan ibu dan anak, bukan dalam arti kecenderungan seksual dan pro natal belaka, tapi suatu hubungan intim yang intense batiniah yang tak terpisahkan.
Sangat mungkin bahwa kisah-kisah mitologis ini termasuk yg bukan asli lagi, alias termasuk dalam kisah hybrid yang sudah bercampur dengan teori atau cerita lain, yang dalam ungkapan intelektual Kawanua, Audy Wuysang, bahwa kisah ini sudah dipengaruhi oleh kisah Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang dikisahkan dalam kitab Kejadian, sejak orang Minahasa atau pengarang kisah-kisah ini mulai mengenal kekristenan.
Pendapat Sekjen PIKI ini kiranya masuk akal karena dokumentasi tertulis sangat mungkin baru bisa mulai dibuat pada saat tradisi tulisan (dengan format multi silabel) mulai diajarkan pada jaman kolonial yang berbaur juga dengan pengajaran agama yang bersumber Alkitab. Pengaruh pendidikan dan agama diperkirakan juga sudah masuk dalam diri para Tonaas Walian dalam menuturkan kisah-kisah itu, apalagi karena antusiasme masyarakat pada umumnya pada dunia pendidikan sekolah yang mengharuskan mereka wajib memeluk agama Kristen.
***
Kembali ke pertanyaan awal darimanakah sumber pengetahuan tentang leluhur Minahasa ini? Kalau benar memang bersumber dari pengisahan dari para Wailan dalam sebuah acara ritual kultus dalam upacara kematian, maka perubahan-perubahan termasuk penyimpangan bisa saja sudah terjadi, atau sudah ada yang hilang atau berubah ungkapan dan makna. Maka perlu penelusuran kembali tradisi lisan sejauh tertulis dan terekam, bahkan yang masih bisa ditemukan dalam upacara-upacara adat yang dibawakan tonaas Walian.
Bila perlu sebuah terobosan baru, misalnya dengan memakai teori dekonstruksi atas apa yang sudah ada karena masalah sumber dan kisah itu sendiri meninggalkan banyak pertanyaan dan kebingungan dan keengganan tertentu bahkan tuduhan dan penghakiman moral tertentu. Dekonstruksi berarti mengandaikan sebuah proses destruksi tertentu sambil kemudian membuat proses konstruksi berdasarkan apa yang masih dianggap berguna untuk menghasilkan sebuah bangunan baru tentang leluhur Minahasa itu sendiri.
Host memberikan pertanyaan kepada dua narsum, bagaimana pendapat anda berdua tentang temuan terbaru yang mengatakan bahwa Lumimuut dan Toar berasal dari negeri Han?
Walau hanya disinggung sekilas dan tidak secara khusus membahas ini, namun kedua narsum masih tetap bersifat wait and see, sebagaimana ilmuwan lainnya yang belum membaca lalu belum sependapat atau bahkan masih mempunyai banyak pertanyaan setelah membaca. Kiranya wajar dan proporsional saja menanggapi sesuatu yang sama sekali baru atau mengejutkan, mungkin seperti halnya banyak yang kaget karena ada serastusan versi hanya tentang satu kisah tentang leluhur Minahasa itu. Sebagaimana juga Weliam H. Boseke masih bertanya tentang kepastian rujukan dan penjelasan nara sumber, karena menurutnya para narsum sendiri belum bisa memberikan kepastian tentang kisah ini.Â