Menurut mereka yang pernah mengumpulkan dan membacanya, dikuatkan oleh pejabat di Dinas Perpustakaan Sulawesi Utara, cerita Lumimuut~Toar sebagai kisah manusia pertama Minahasa ini berjumlah kurang lebih 100 versi. Hal ini mengemuka kembali dalam acara seminar Zoom bertema "Kebenaran dan Pembenaran Sejarah Minahasa" yg diselenggarakan oleh Tou Minahasa Melbourne yang dimoderatori oleh ketuanya sendiri yakni Jeffry Liando.
Orang mungkin kaget dan menggeleng-gelengkan kepala, tanda takjub dan bertanya-tanya dengan keingintahuan yang besar bagi yang belum pernah tahu, atau tanda bingung dan tak menyangka bisa sebanyak itu.
Bagaimana dengan pembaca budiman, yang menyebut berasal usul leluhur Minahasa? Atau malah banyak orang Minahasa tidak pernah atau tak mau tahu lagi tentang mitologi itu karena satu dan lain hal. Masing-masing punya alasan dan konteks sendiri. Ada yang karena memang tak pernah dapat info pelajaran ini di sekolah, atau ada yang pernah tahu ada sesuatu yg dianggap janggal. Penjelasan berikut yang diambil dari seminar Zoom kemarin tanggal 19 September 2020.
Dr. Denni Pinontoan membenarkan referensi sejarawan Minahasa Bode G. Talumewo yang berbicara lebih dahulu menanggapi salah satu pertanyaan tentang kisah manusia pertama Minahasa. Pertanyaan ini hanya salah satu tapi sedemikian penting dan menggugah dari serentetan pertanyaan lengkap yang disiapkan dengan baik oleh sang host dan moderator acara itu.
Bahwa ada sekitar 92 kisah yang terdokumentasi sejak awal, dan yang lainnya tambah kurang saja sifatnya terhadap kisah-kisah yang sudah ada lebih dahulu itu, dan karena itu bisa mencapai 100 lebih versi. Apalagi di zaman komunikasi digital internet sekarang, sangat mungkin orang akan menambah-nambah atau memodifikasi lalu menjadi versi ceritanya sendiri.
***
Pinontoan menambahkan bahwa sesungguhnya mitologi di Minahasa bukan hanya tentang manusia, tapi ada juga mitologi tentang terbentuknya alam semesta, misalnya dalam kisah Keke Panagian atau Keke Kamagi. Menurut dosen Universitas Kristen Indonesia Tomohon ini, kisah itu penting karena menunjuk pada yang pertama ada sebelum manusia hadir menempatinya.
Bisa jadi, bung Denni merujuk pada kisah penciptaan dalam kitab Genesis, di mana manusia justru yang terakhir menjadi puncak ciptaan, setelah alam semesta diciptakan bahkan sebagian besar isinya. Tapi sekali lagi ini hanya mitologi untuk menjelaskan dari mana adanya alam semesta. Karena semua tentang manusia juga yang menjadi sentrum alam semesta, sebagaimana nampak dalam kisah Keke Panagian tersebut, yang memang subyek pertama adalah manusia itu sendiri. Karena manusia itu sendirilah pembuat kisah itu entah sejak kapan.
Dikisahkan bahwa Keke tersebut naik ke angkasa dan kemudian menjadi bulan, bintang, dst. Belum jelas entahkah alam semesta yang dimaksud adalah dunia di atas permukaan tanah daratan, atau menunjuk seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan kosmos. Juga menarik bahwa mitologi alam semesta Minahasa ini berkisah tentang tokoh perempuan karena Keke artinya Nona atau Perawan.
 Mungkin saya salah dengar keke atau tete (kakek tua)? Dan semoga tidak mengulangi kemungkinan salah dan kurang tepat bahkan fatal dalam tradisi lisan bahkan tertulis (baca: tradisi lisan yang dituliskan kemudian!).
Seandainya dia itu perawan, maka ada semacam parallelisme antara penciptaan manusia dan alam semesta disumberkan pada sosok perempuan dalam arahan dan restu dari sosok representan atau imam perantara dari dan dengan Sang Pencipta. Perantara sakral itu diperankan juga oleh sosok perempuan (Karema) dalam kisah Lumimuut melahirkan Toar dan bahkan tokoh perempuan itu sendiri (Panagian/Kamagi) yang berperan sekaligus sebagai  sarana perantara dan sumber penciptaan atau kelahiran  alam semesta.
***
Denni mencoba menunjukkan kisah mitologi alam semesta sebagai pengimbang untuk menunjukkan kosmologi tertentu yang tak lepas dari manusia itu sendiri dalam eksistensinya di bumi berpijak yang berorientasi "langit" di atas.
Tapi diakui memang kisah kosmologi manusia arkais etnis atau bangsa Minahasa dalam mitologi tentang alam semesta tak sebanyak kisah mitologi mereka tentang manusia pertama yang dianggap leluhur Minahasa itu.
Dijelaskan bahwa sejak tahun 60-an para penulis sejarah Minahasa masih membedakan kisah-kisah tentang manusia pertama Minahasa itu dalam kategori teori ilmu antropologi dan  berdasarkan cerita mitologi. Pembedaan ini nampak dalam tulisan FS Watuseke misalnya.
Di perpustakaan UKIT ada buku yang mencatat bahwa pada tahun 70an, sangat mungkin karena dipicu oleh program penulisan cerita rakyat yang digiatkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, fakta kisah ini bergeser lebih luas lagi dan menghasilkan lebih banyak varian, yakni dalam bentuk gabungan teori ilmiah dan mitologi.
Terutama yang menarik adalah teori migrasi penduduk dunia mulai dimasukkan dalam kerangka mitologi, atau dalam ungkapan sebaliknya mitologi mulai disesuaikan dengan teori-teori penyebaran penduduk, misalnya bahwa leluhur Minahasa berasal dari Jepang, Taiwan, Filipina, Mongol, dst.
Maka Denni menilai bahwa sejak itu, kisah yang awalnya relatif masih asli dan murni dan bisa dibedakan dengan segala teori antropologi maupun teori migrasi penduduk dunia, kemudian menjadi rancu alias terkesan dipaksakan. Karena itu perlu didudukkan kembali pada kisah sebenarnya sebagaimana yang diceritakan lebih awal.
Walau demikian, penilaian kritis tersebut masih menyisakan pertanyaan. Misalnya, sejauh mana keaslian kisah yang sudah dianggap lebih awal tersebut? Kapan kisah-kisah lisan itu didokumentasikan tertulis dan siapa yang menulis dan menentukan itu sahih?
Dari uraian di atas, seolah dinyatakan bahwa ada 90-an kisah yang masih murni, dan lainnya sdh bercampur. Tapi angka 90-an itu bukan suatu jumlah sedikit untuk sebuah kisah, bukan? Kalau masih diperas lagi, kira-kira berapa yang masih asli, atau mungkin bisa dibuatkan benang merahnya saja? Adakah yang sekilas sama? Adakah yang lain sama sekali? Dst.
Penelusuran sumber penulisan ini mungkin bisa dibandingkan dengan masalah synoptik dalam Injil terkait sumber yang dipakai. Hanya ada 4 yang dianggap resmi dan diterima oleh Gereja sejak kanonisasi dibuatnya sendiri, dari sekian banyak yang pernah ada dan terdokumentasikan dan beredar pada jaman itu bahkan kemudian, dan tiga (Matius, Markus, Lukas) diantaranya disebut synoptik karena terlihat sama dalam menggunakan sumber penulisan, dan hanya ada satu (Yohanes) dari keempat Injil itu yang dianggap punya sumber tersendiri, dan tetap diterima sebagai kisah tentang Yesus.
***
Untuk itu mau tidak mau kita mesti kembali menelusuri darimana kisah (asli) itu bersumber? Budayawan dari UKIT ini menjawab bahwa kisah-kisah tentang leluhur Minahasa diperoleh dari ritual-ritual yang dibawakan oleh para tonaas Walian dalam upacara adat dalam pelbagai kesempatan, misalnya dalam peristiwa kematian.
Dalam upacara ritual adat, Walian antara lain mengisahkan dengan menyanyi kisah-kisah tentang leluhur Minahasa. Misalnya disebutkan Walian Maeres membawakan ritual adat dalam suatu acara kedukaan, dan dia akan menyanyikan kisah-kisah leluhur dari si yang meninggal sampai pada Lumimuut dan Toar itu.
Merujuk pada sebuah penelitian oleh Makaliwe tentang penelusuran geneologi leluhur Minahasa, Denni menegaskan bahwa muskil dan tak masuk akal lagi untuk menentukan siapa leluhur Minahasa itu hanya dari rentetan genealogis sekarang sampai manusia pertama, Lumimuut Toar itu.
Sangat mungkin ada yang sudah hilang, dan tak tersingkap lagi oleh si Walian dalam upacara Mahorai atau Ramaragesh, apalagi hanya mengandalkan kekuatan ingatan atau bahkan dalam keadaan transce di mana ada kekuatan roh supra natural yang hadir dalam diri si Walian.
Adakah yang pernah merekam kisah yang dibawakan Walian ini secara tertulis dan atau secara audio? Misalnya seperti yang dibuat dalam buku berbahasa Belanda yang dibuat oleh van Kohl, bertahun 1903. Adakah rujukan tertulis yang lebih tua, atau rujukan terbaru yang bisa dijadikan pegangan bagi para peneliti?
***
Penelitian oleh Makaliwe tersebut misalnya makin menegaskan bahwa pada hakikatnya kisah leluhur pertama itu memang mitos saja, dan tak bisa dilihat sebagai kisah sejarah geneologis leluhur Minahasa secara lengkap. Tapi justru mitologi atau cara menjelaskan asal usul kisah mitos itu sendiri mempunyai nilainya tersendiri, yakni menyingkap dan menegaskan orientasi kehidupan manusia. Tegas Denni yang pernah membuat penelitian tentang sebuah komunitas Dayak di pedalaman Kalimantan.
Dalam kisah cukup jelas arah vertikalnya, yakni hubungan dengan dunia roh leluhur dan sang pencipta, dan arah horizontal dalam hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.
Denni menyebut tokoh pertama adalah Lumimuut. Dikisahkan bahwa dialah manusia satu-satunya yang selamat dalam peristiwa air bah yang melenyapkan semua penduduk bumi. Dengan susah payah sampai berkeringat, Lumimuut bisa selamat.
Tokoh kedua adalah Karema. Siapakah sosok ini? Dalam kisah, Karema direpresentasikan sebagai yang sakral di bumi, sebagai pendeta atau imam yang mengantarai dunia langit dan dunia manusia berpijak.
Dikisahkan bahwa Opo Karema menyuruh Lumimuut menghadap empat penjuru angin supaya bisa mendapat keturunan, dan setelah menghadap tiga mata angin, nanti saat hadap angin barat maka dia hamil dan melahirkan Toar, yg kemudian berpisah dan bertemu kembali, lalu keduanya menjadi isteri dan suami. Lagi-lagi Opo Karemalah sebagai representasi yang Ilahi hadir merestui dan memberkati mereka berdua, maka dari dua pasangan inilah awal mula leluhur Minahasa berkembang hingga kini.
***
Bagaimana menjelaskan perkawinan ibu dan anak sendiri yang kemudian melahirkan anak-anak keturunan yang menjadi leluhur Minahasa?
Dalam kacamata etik moral apapun, fakta ini disebut perkawinan incest, dan terlarang di banyak peradaban, walau ada juga yang membolehkannya walau tidak banyak, apalagi di masa manusia makin beradab dengan pengaruh nilai-nilai keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Tapi benarkah demikian adanya dan bagaimana penafsiran yang logis dan faktual? Bagaimana menjelaskannya?
Pertama, perlu dikritisi dengan jelas bahwa penilaian kritis moral itu sejak kapan? Sangat mungkin sejak agama Kristen dan pendidikan ala Barat mulai diterima dan menjadi ukuran standard norma yang berlaku bagi masyarakat.
Kedua, apakah pembuat kisah dan kisah itu sendiri menunjukkan tiadanya norma yang sama dipegang dengan manusia sekarang atau sejak penilaian moral itu dijatuhkan? Harus dijawab pertama bahwa tak bisa dibuat penilaian berdasarkan pembandingan seperti itu. Mitos ini tidak bisa dipakai untuk menentukan norma yang berlaku dalam hal hubungan suami isteri dalam perkawinan menurut norma agama yang melarang incest.
Tapi kisah itu mungkin harus dilihat sebagai sebuah cara bagaimana leluhur Minahasa berusaha dijelaskan awal mula kehidupan manusia yang sangat dekat secara horizontal bahkan secara vertikal. Lagipula memang ada kisah serupa di beberapa komunitas budaya di nusantara. Malah ada yang lebih ekstrim, misalnya leluhur nya berasal dari hewan. Akan lebih menarik dan kiranya akan lebih banyak pemaknaan yang bisa diangkat ketika menganalisis 90an versi kisah yang dianggap lebih awal itu, juga kisah2 yang ditambahkan kemudian sebagai pembanding.
Ketiga, menurut bung Deni, mesti dibedakan antara fakta historis dan kisah mitologi itu sendiri. Semestinya Kisah mitologi dimaknai sebagai sebuah kisah yang tidak sedang berbicara tentang fakta historis dan karena itu mestinya bukan gamblang tentang incest misalnya, tspi ada sesuatu yang hendak disingkap dan ditegaskan.
Keempat, walaupun bukan kisah faktual historis, mitos itu tidak sama dengan dongeng atau legenda khayalan belaka. Mitos itu merupakan kisah sakral sepaket dengan kepercayaan dan apa yang dikultuskan dalam sebuah ritus upacara tertentu. Denni setuju dengan Bode yang  menjelaskan bahwa sejarawan diajarkan bahwa mereka mesti netral menempatkan suatu persoalan secara proporsional, dan karena itu selama tidak ada referensi yang dianggap lebih sahih, maka mitologi tetap menjadi salah satu sumber yang dijadikan pegangan, tentu dengan pembacaan dan penafsiran yang kontekstual sesuai kaidah ilmiah.
***
Jadi, pembacaan dan penafsiran kisah ini bukan sebagai kisah dengan tujuan moral tertentu dari kacamata agama misalnya, tapi mesti dibingkai dan dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang hadir dalam jagad mikro dan makro kehidupan manusia itu, yang masih sangat awal dalam peradaban manusia. (bdk teori evolusi dan perkembangan manusia dari manusia peramu, nomaden, sampai menetap dalam suatu wilayah)
Bahwa mesti ada awal dari segala sesuatu yang ada, dan peranan roh empat mata angin yang dihadirkan oleh kuasa suci (otoritas) yang diperankan oleh sang Karema sebagai imam yang menjalankan ritual suci, penguhubung dengan sang pencipta. Lalu kehidupan awal itu ditempatkan dalam gambaran yang sangat dekat dalam hubungan ibu dan anak, bukan dalam arti kecenderungan seksual dan pro natal belaka, tapi suatu hubungan intim yang intense batiniah yang tak terpisahkan.
Sangat mungkin bahwa kisah-kisah mitologis ini termasuk yg bukan asli lagi, alias termasuk dalam kisah hybrid yang sudah bercampur dengan teori atau cerita lain, yang dalam ungkapan intelektual Kawanua, Audy Wuysang, bahwa kisah ini sudah dipengaruhi oleh kisah Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang dikisahkan dalam kitab Kejadian, sejak orang Minahasa atau pengarang kisah-kisah ini mulai mengenal kekristenan.
Pendapat Sekjen PIKI ini kiranya masuk akal karena dokumentasi tertulis sangat mungkin baru bisa mulai dibuat pada saat tradisi tulisan (dengan format multi silabel) mulai diajarkan pada jaman kolonial yang berbaur juga dengan pengajaran agama yang bersumber Alkitab. Pengaruh pendidikan dan agama diperkirakan juga sudah masuk dalam diri para Tonaas Walian dalam menuturkan kisah-kisah itu, apalagi karena antusiasme masyarakat pada umumnya pada dunia pendidikan sekolah yang mengharuskan mereka wajib memeluk agama Kristen.
***
Kembali ke pertanyaan awal darimanakah sumber pengetahuan tentang leluhur Minahasa ini? Kalau benar memang bersumber dari pengisahan dari para Wailan dalam sebuah acara ritual kultus dalam upacara kematian, maka perubahan-perubahan termasuk penyimpangan bisa saja sudah terjadi, atau sudah ada yang hilang atau berubah ungkapan dan makna. Maka perlu penelusuran kembali tradisi lisan sejauh tertulis dan terekam, bahkan yang masih bisa ditemukan dalam upacara-upacara adat yang dibawakan tonaas Walian.
Bila perlu sebuah terobosan baru, misalnya dengan memakai teori dekonstruksi atas apa yang sudah ada karena masalah sumber dan kisah itu sendiri meninggalkan banyak pertanyaan dan kebingungan dan keengganan tertentu bahkan tuduhan dan penghakiman moral tertentu. Dekonstruksi berarti mengandaikan sebuah proses destruksi tertentu sambil kemudian membuat proses konstruksi berdasarkan apa yang masih dianggap berguna untuk menghasilkan sebuah bangunan baru tentang leluhur Minahasa itu sendiri.
Host memberikan pertanyaan kepada dua narsum, bagaimana pendapat anda berdua tentang temuan terbaru yang mengatakan bahwa Lumimuut dan Toar berasal dari negeri Han?
Walau hanya disinggung sekilas dan tidak secara khusus membahas ini, namun kedua narsum masih tetap bersifat wait and see, sebagaimana ilmuwan lainnya yang belum membaca lalu belum sependapat atau bahkan masih mempunyai banyak pertanyaan setelah membaca. Kiranya wajar dan proporsional saja menanggapi sesuatu yang sama sekali baru atau mengejutkan, mungkin seperti halnya banyak yang kaget karena ada serastusan versi hanya tentang satu kisah tentang leluhur Minahasa itu. Sebagaimana juga Weliam H. Boseke masih bertanya tentang kepastian rujukan dan penjelasan nara sumber, karena menurutnya para narsum sendiri belum bisa memberikan kepastian tentang kisah ini.Â
Terhadap adanya problem terkait sumber dan isi kisah mitologis yang ada sekarang itu, maka adalah sebuah langkah baru bahkan terobosan bila temuan terbaru oleh Weliam Boseke bisa ditawarkan sebagai salah satu upaya dekonstruksi itu.
Tapi mungkin saja Boseke kurang sependapat. Karena bagi Boseke, sependapat dengan Pinontoan dan Talumewo bahwa mitologi Toar Lumimuut adalah bagian yang tetap berguna untuk menelusuri siapa sesungguhnya leluhur Minahasa.
Namun jelas bahwa terkait leluhur Minahasa awal, Boseke sudah sampai pada kesimpulan bahwa tiga tokoh utama yang dikisahkan dalam mitologi tentang leluhur pertama Minahasa itu sesungguhnya ada dalam sejarah. Mereka adalah makhluk historis, yang bisa dilacak dan terkait dengan kisah nyata perang tiga negara di Han kuno pada abad ketiga Masehi, yang berimbas pada pengungsian sebagian keluarga istana bersama dan tiba di "tuur in tana" atau pusat bumi sebagai tempat pertama bermukim (dalam bahasa Han: tu uxin dao na = tempat tiba dengan tidak sengaja), dan dibuktikan bahwa Lumimuut itu bukanlah yang melahirkan Toar. Toar adalah cucu dari kaisar besar Liu Bei dan Lumimuut adalah masih kerabat dekat Toar, yang secara level masih terhitung sebagai tante dari Toar.
Jadi tidak ada perkawinan ibu dan anak itu seperti dalam kisah mitologi. Mitologi itu bagi Boseke memang berguna walau bukan kisah persis sejarah. Dari kisah-kisah mitologi kuno yang ada dan bahasa keseharian yang masih bisa dilacak secara lisan maupun tertulis, Boseke berangkat dan tiba pada apa yang disebutnya temuan faktual tentang leluhur Minahasa, bukan teori belaka, seperti yang pernah ramai tahun 60-70an bahkan sampai 2020 ini: dari Austronesia, Mongol, Filipina, Jepang, Yunan Selatan, bahkan sampai di Israel di Timur Tengah.
Penemuan ini diapresiasi dan didukung para ahli juga misalnya Benni E. Matindas dalam bedah buku Leluhur Minahasa karya Boseke di Kalbis Institute Jakarta menjelaskan bahwa satu temuan bisa membantah seribu teori, dan sejak dua tahun lalu tuntutan dan rekomendasi yang dihasilkan dalam bedah buku yg sama di FIB Unsrat, bahwa perlu lebih 200 kata eksis dalam perbandingan dua bahasa untuk dikatakan valid, dan itu sudah jauh dipenuhi oleh Boseke pada saat sedang menuntaskan buku keduanya yg khusus berisi sekitar 700 nama fam Minahasa yang sesungguhnya berisi bukan sekedar sinonim kata tapi ungkapan tentang sang Kaisar dan terkait kisah tentang siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana leluhur Minahasa itu sendiri. Ini termasuk temuan spektakuker karena mesti membandingkan dua bahasa dengan format yang berbeda antara mono silabel dan multisilabel, apalagi terkait sejarahnya yang sudah sangat kuno, yang butuh penelusuran yang panjang dan di sana sini ada banyak kebengkokan, keterpatahan, bahkan keterputusan, namun lagi-lagi kuncinya ada pada bahasa itu sendiri.
Dugaan saya Weliam H. Boseke akan berpegang pada apa yang sudah ada tentang fakta linguistik itu sendiri khususnya, lalu langsung membuat rekonstruksi baru tanpa perlu melewati proses destruksi atau penghancuran pada apa yang sudah ada itu tanpa kehilangan jejak-jejak historisnya.
Temuan Boseke ini menjadi begitu kuat karena didukung oleh fakta linguistik itu sendiri dan fenomenologinya dalam kehidupan masyarakat Minahasa, bahkan ada yang sampai sudah pada tahap uji DNA karena dari sisi bahasa belum ada ahli bahasa yang bisa memberikan falsifikasi yang memadai seperti ditegaskan Max F. Wilar, Admin senior Kawanua Informal Meeting, yg telah menginisiasi pelbagai kehadiran dan gerak pelbagai kelompok profesional Minahasa di perantauan. Malah justru semakin banyak ahli yang memverifikasi, dari dalam maupun luar negeri sampai ke para ahli bahasa Han sendiri yang sekarang memakai Mandarin.
***
Tapi sekali lagi ini adalah tawaran diskusi lanjut untuk semakin membuka wawasan dan pemahaman lebih dalam dan luas tentang eksistensi dan hakikat leluhur Minahasa itu sendiri.
Bagi saya pribadi, kita tidak sedang membuat promosi kisah versi tambahan dari seratusan versi kisah yang sudah ada itu, karena kisah temuan Boseke ini memang tidak sama, walau sekilas di sana sini tokoh-tokohnya disebut dan sama, tapi isinya sama sekali memang menegasi apa yang sudah lebih dulu ada dan terlanjur hendak dipertahankan dengan banyak polesan untuk sekedar mempermooy sekreatif apapun tapi yang tetap tak mampu menghilangkan unsur penting yang terkesan "tabu" terkait dua tokoh utama dalam mitologi itu dari sudut pandang norma tertentu.
Mari kita percantik diri identitas asali leluhur kita dengan mulai berani berpikir dan menelusuri secara jujur dan adil dengan memakai rasio dan iman yang sudah dikaruniakan sang Pencipta kepada kita masing-masing dalam dan melalui komunitas besar keMinahasaan kita.
I Yayat u Leos
/Stefi Rengkuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H