Terhadap adanya problem terkait sumber dan isi kisah mitologis yang ada sekarang itu, maka adalah sebuah langkah baru bahkan terobosan bila temuan terbaru oleh Weliam Boseke bisa ditawarkan sebagai salah satu upaya dekonstruksi itu.
Tapi mungkin saja Boseke kurang sependapat. Karena bagi Boseke, sependapat dengan Pinontoan dan Talumewo bahwa mitologi Toar Lumimuut adalah bagian yang tetap berguna untuk menelusuri siapa sesungguhnya leluhur Minahasa.
Namun jelas bahwa terkait leluhur Minahasa awal, Boseke sudah sampai pada kesimpulan bahwa tiga tokoh utama yang dikisahkan dalam mitologi tentang leluhur pertama Minahasa itu sesungguhnya ada dalam sejarah. Mereka adalah makhluk historis, yang bisa dilacak dan terkait dengan kisah nyata perang tiga negara di Han kuno pada abad ketiga Masehi, yang berimbas pada pengungsian sebagian keluarga istana bersama dan tiba di "tuur in tana" atau pusat bumi sebagai tempat pertama bermukim (dalam bahasa Han: tu uxin dao na = tempat tiba dengan tidak sengaja), dan dibuktikan bahwa Lumimuut itu bukanlah yang melahirkan Toar. Toar adalah cucu dari kaisar besar Liu Bei dan Lumimuut adalah masih kerabat dekat Toar, yang secara level masih terhitung sebagai tante dari Toar.
Jadi tidak ada perkawinan ibu dan anak itu seperti dalam kisah mitologi. Mitologi itu bagi Boseke memang berguna walau bukan kisah persis sejarah. Dari kisah-kisah mitologi kuno yang ada dan bahasa keseharian yang masih bisa dilacak secara lisan maupun tertulis, Boseke berangkat dan tiba pada apa yang disebutnya temuan faktual tentang leluhur Minahasa, bukan teori belaka, seperti yang pernah ramai tahun 60-70an bahkan sampai 2020 ini: dari Austronesia, Mongol, Filipina, Jepang, Yunan Selatan, bahkan sampai di Israel di Timur Tengah.
Penemuan ini diapresiasi dan didukung para ahli juga misalnya Benni E. Matindas dalam bedah buku Leluhur Minahasa karya Boseke di Kalbis Institute Jakarta menjelaskan bahwa satu temuan bisa membantah seribu teori, dan sejak dua tahun lalu tuntutan dan rekomendasi yang dihasilkan dalam bedah buku yg sama di FIB Unsrat, bahwa perlu lebih 200 kata eksis dalam perbandingan dua bahasa untuk dikatakan valid, dan itu sudah jauh dipenuhi oleh Boseke pada saat sedang menuntaskan buku keduanya yg khusus berisi sekitar 700 nama fam Minahasa yang sesungguhnya berisi bukan sekedar sinonim kata tapi ungkapan tentang sang Kaisar dan terkait kisah tentang siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana leluhur Minahasa itu sendiri. Ini termasuk temuan spektakuker karena mesti membandingkan dua bahasa dengan format yang berbeda antara mono silabel dan multisilabel, apalagi terkait sejarahnya yang sudah sangat kuno, yang butuh penelusuran yang panjang dan di sana sini ada banyak kebengkokan, keterpatahan, bahkan keterputusan, namun lagi-lagi kuncinya ada pada bahasa itu sendiri.
Dugaan saya Weliam H. Boseke akan berpegang pada apa yang sudah ada tentang fakta linguistik itu sendiri khususnya, lalu langsung membuat rekonstruksi baru tanpa perlu melewati proses destruksi atau penghancuran pada apa yang sudah ada itu tanpa kehilangan jejak-jejak historisnya.
Temuan Boseke ini menjadi begitu kuat karena didukung oleh fakta linguistik itu sendiri dan fenomenologinya dalam kehidupan masyarakat Minahasa, bahkan ada yang sampai sudah pada tahap uji DNA karena dari sisi bahasa belum ada ahli bahasa yang bisa memberikan falsifikasi yang memadai seperti ditegaskan Max F. Wilar, Admin senior Kawanua Informal Meeting, yg telah menginisiasi pelbagai kehadiran dan gerak pelbagai kelompok profesional Minahasa di perantauan. Malah justru semakin banyak ahli yang memverifikasi, dari dalam maupun luar negeri sampai ke para ahli bahasa Han sendiri yang sekarang memakai Mandarin.
***
Tapi sekali lagi ini adalah tawaran diskusi lanjut untuk semakin membuka wawasan dan pemahaman lebih dalam dan luas tentang eksistensi dan hakikat leluhur Minahasa itu sendiri.
Bagi saya pribadi, kita tidak sedang membuat promosi kisah versi tambahan dari seratusan versi kisah yang sudah ada itu, karena kisah temuan Boseke ini memang tidak sama, walau sekilas di sana sini tokoh-tokohnya disebut dan sama, tapi isinya sama sekali memang menegasi apa yang sudah lebih dulu ada dan terlanjur hendak dipertahankan dengan banyak polesan untuk sekedar mempermooy sekreatif apapun tapi yang tetap tak mampu menghilangkan unsur penting yang terkesan "tabu" terkait dua tokoh utama dalam mitologi itu dari sudut pandang norma tertentu.
Mari kita percantik diri identitas asali leluhur kita dengan mulai berani berpikir dan menelusuri secara jujur dan adil dengan memakai rasio dan iman yang sudah dikaruniakan sang Pencipta kepada kita masing-masing dalam dan melalui komunitas besar keMinahasaan kita.
I Yayat u Leos
/Stefi Rengkuan