Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hukum Kasih dan Gugatan Hukum dalam Gereja: Antara Iman "Buta", Hati Nurani Jernih, dan Ajaran Moral Ketat

12 Agustus 2020   18:22 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:16 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggugat Gereja, Menggugat Tuhan atau Menggugat Manusia sendiri? Berkaca dari kasus hukum warga gereja vs institusi gerejawi
-------------------------
Dalam film drama seri Bluff City Law (Eps 9) tadi malam berkisah tentang seorang ibu guru muda yang dipecat sekolahnya karena dianggap melanggar aturan sekolah milik lembaga Gereja. Pastor Paroki dan para siswa tetap berada di pihak Ava, ibu guru yang adalah warga paroki yang aktif hidup menggereja itu.

Bagaimana pun juga Ava yang sedang hamil tua ini sebenarnya pasrah saja sebagaimana suaminya juga pasrah sebagai orang beriman, tidak sampai hati dan berpikir menuntut pihak Gereja sebagai pemilik sekolah. Namun teman parokinya sesama perempuan adalah seorang pengacara mendorong si ibu guru untuk menggugat pihak gereja (Keuskupan). Sementara senior pengacara lebih setuju mengikuti pendapat berdasarkan keyakinan ibu guru dan suaminya itu.

"Saya mencari tanda dari Tuhan entahkah saya boleh menggugat pihak Gereja sebagai pemilik sekolah." Kata sang ibu guru ragu dan dianggukkan suaminya.

Nampak di luar rumah saat itu juga sekelompok murid dan guru dipimpin oleh sang Pastor Paroki sedang menyanyi lagu rohani yang indah dengan penuh sukacita sebagai tanda simpati dan dukungan bagi sang ibu.

"We shall overcome, we shall overcome, we shall overcome, some day. Oh deep in my heart..."

"Lihat dan dengarkanlah, Ava, kehadiran dan nyanyian merekalah tanda dari Tuhan sendiri." kata pengacara muda brilian, Sidney Strait, diperankan oleh aktris Caitlin McGee.

***

Proses gugatan pun ditempuh, mulai dengan tahap negosiasi sebagai tahap aman untuk memediasi kepentingan dua pihak. Terungkap beberapa pelanggaran kecil pihak si guru, namun ada salah satu yang dianggap berat adalah tindakan memberikan referensi buku tambahan yang sebenarnya dilarang oleh Gereja. Dan ini sudah sesuai dengan kontrak perjanjian yg sudah diketahui dan ditandatangani oleh semua guru. Tapi sang guru beralasan bahwa tambahan itu sudah dikomunikasikan dengan orangtua murid sendiri, dan terkait dengan peningkatan kompetensi membaca kritis para murid yang akan menempuh pelajaran tahap lanjut.

Alhasil, kesepakatan untuk berdamai melalui negosiasi di luar pengadilan itu tak tercapai, maka berlanjut ke pengadilan.

Sang guru yang sangat saleh ini sebenarnya tak mau lagi meneruskan tapi pengacara tetap yakin bahwa ini mesti diteruskan. Pengacara senior, Elijah Strait diperankan aktor kawakan Jimmy Smits, sebagai atasan dan ayah Sidney sendiri mengingatkan untuk menghentikan saja perkara ini seturut kata hati sang guru. Tapi pengacara muda ini bersikukuh untuk terus dilanjutkan karena dia melihat ada ketidakadilan yang tak boleh dibiarkan begitu saja.

Setelah masa sidang yang menghadirkan Pastor Paroki sebagai saksi sekaligus bagian dari pihak tergugat, nampaknya perkara akan segera diputuskan dengan mengabulkan pihak penggugat sekolah. Karena sang Pastor malah bersaksi bahwa ibu guru tidak bersalah, justru sekolah yang bersalah, karena kehamilan itu adalah mukjizat dari Tuhan sendiri. Dan ibu muda ini meyakini anak sebagai pemberian Ilahi dan berhak untuk melanjutkan kehamilannya tanpa mesti dipecat dari sekolah.

Pengacara tergugat tak bisa memakai sang Pastor sebagai saksi pendukungnya lagi. Dan memaksa menghadirkan dokter ahli yang membantu kehamilan ibu itu. Walau ditolak oleh pengacara penggugat karena dokter ahli tidak masuk dalam daftar saksi, namun hakim tetap menerima menghadirkan kesaksian dokter yang mengatur tindakan proses kehamilan ibu yang sudah tiga kali keguguran itu.

Dalam kesaksian dokter inilah menjadi lebih jelas posisi dan alasan sekolah terpaksa memecat ibu guru hamil itu. Pemecatan diambil bukan pertama karena pelanggaran profesi guru, bukan juga pada fakta kehamilan itu sendiri, tapi bagaimana kehamilan itu terjadi dengan segala resiko pilihan dan konsekuensi moralnya. Pilihan mengandung dengan cara di luar metode alamiah, yakni dengan cara pembuahan atau mempertemukan sel telur dan sel sperma di dalam tabung itulah yang menjadi alasan.

Pasalnya metode In Vitro Fertilization (IVF) itu atau dikenal umum proses bayi tabung ini memungkinkan beberapa embrio hidup, dan hanya satu embrio yang dipilih untuk dilanjutkan dalam proses kandungan sang ibu, dengan konsekuensi embrio lainnya tak dipilih alias mesti dibiarkan gugur dengan sendirinya di luar. Nah pengabaian atau pengguguran embrio ini merupakan pelanggaran moral yang berat oleh pihak Gereja yang mewajibkan semua lembaga di bawahnya menaati aturan tersebut.

Demikian mendasarnya prinsip ini misalnya terungkap dalam sebuah pernyataan gerejani bahwa tindakan menggugurkan kandungan oleh semua pihak pelaku dan yang terlibat dengan sadar dalam proses itu terkena ekskomunikasi atau hilangnya keanggotaan gerejani secara otomatis, tanpa mesti diketahui oleh pihak Gereja.

Karena itu mengetahui hal ini sang suami menjadi kurang berkenan dan meninggalkan ruang sidang, entah sedih dan merasa bersalah karena ada embrio lain yang terpaksa mesti digugurkan atau karena sudah melanggar ajaran moral gereja.

Itulah kiranya posisi orang Katolik umumnya seturut norma Gereja. Memang ini termasuk kasus yang khusus tapi prinsipnya adalah hormat pada kehidupan sejak ada pembuahan. Prinsip ini kiranya mempunyai konsekuensi atas ajaran tentang pencegahan kelahiran dengan alat KB yang dilawankan dengan KB alamiah (mengikuti masa subur tak subur wanita) yang dianjurkan. Tetapi semua dilarang khusus terkait alat KB yang sifatnya abortif (menggugurkan embrio yg sdh terjadi karena pertemuan sel telur dan sel sperma).

Namun itulah pilihan berat suara hati yang dibuat sang isteri yang sebenarnya sudah tak berharap akan bisa mengandung lagi dengan aman, karena sudah beberapa kali keguguran. Apalagi kemungkinan hidup dari embrio lainnya itu hanya 5% dibandingkan 50% bila hanya satu embrio saja yang dipertahankan hidup dalam kandungan. Dan pada saat-saat sidang di ruang pengadilan, kandungan itu sudah mendekati kelahirannya.

***

Sidang sudah selesai, dan tinggal menunggu pembacaan hasil rapat para juri.

"Bersyukurlah engkau akan bisa kembali sebagai guru dan ada banyak dukungan dari komunitas gereja dan para murid." Hibur sang pengacara saat menemui Ava yang sedang hening berdoa dalam gereja.

"Bukan soal menang kalah, tapi kami mencintai kehidupan kami sebagai orang beriman seperti ini, dan di sinilah kami akan membesarkan anak pertama kami. Bahkan ini bukan karena gedung gereja dan komunitas belaka, namun ini soal iman keyakinan bahwa Tuhan senantiasa hadir dan menyertai hidup kami." Demikian kata sang ibu penuh keyakinan dengan wajah yang mantap berseri.

 "Apakah kau tak bisa melihat dan merasakan kasih Tuhan itu dalam kehidupanmu?" Lanjutnya, sambil memegang pundak sang pengacara.

"Ya, ayahku sangat meyakini hal itu dalam kehidupannya." kata pengacara itu dengan tersenyum ragu, karena dia sendiri belum punya anak malah sedang pisah ranjang dengan suaminya yang adalah Jaksa.

"Bagaimana denganmu sendiri, apakah kau percaya bahwa penyelenggaraan Tuhan itu ada?" lanjut tanya Ava penasaran.

"Sejujurnya, saya tidak tahu." Namun dengan senyum terkulum menatap sang calon ibu ini, si pengacara tersenyum dan nampak mengagumi keyakinan iman dari ibu guru Ava yang dibelanya ini.

***

Setelah kata-kata penutup yg meyakinkan dari pengacara tergugat, maka giliran pengacara penggugat ini. Apa lagi yang bisa disampaikan untuk memengaruhi para juri yang nampaknya cenderung kurang bersimpati pada sang korban pemecatan tapi lebih mengikuti norma aturan yang sekian jelas dan tegas sebagai benteng kokoh untuk melindungi kehidupan itu sendiri, terutama yang tak bisa bersuara atau tak mampu membela dirinya sendiri.

Sidney sebagai pengacara penggugat mulai membuka pernyataannya dengan tenang dan penuh keharusan.

"Sejak kecil saya biasa masuk gereja dan mendengarkan ajaran cinta kasih, dan salah satu aspeknya adalah pengampunan. Tapi iman buta tak bisa saya pahami, sejak saya beranjak dewasa."

Hening sejenak dan semua menatap sang pengacara muda yang cerdas dan telah memenangkan banyak kasus besar bahkan yang sulit.

"Dan Ava, ya dia sebagai guru dan seorang ibu justru yang menunjukkannya kepada saya apa artinya beriman itu, yakni percaya total pada rahmat kasih Tuhan, apapun resikonya."

Sidney tidak berusaha membantah kata-kata meyakinkan dari sang pengacara tergugat, namun seolah hendak menunjukkan saripati hidup beriman sesungguhnya terkait isi iman dan bagaimana tindakan iman itu sendiri, yakni percaya bahwa Tuhan itu kasih dan layak dipercayai, dan bahwa anak yang dikandungnya mesti dia perjuangkan dan terima dalam iman yakni sebagai bukti kasih Tuhan sendiri.

Tak ada yang lebih penting dari meyakini rahmat kasih Tuhan dalam dan melalui peristiwa kehamilan ini, apapun situasi dan caranya. Dan dia tak berusaha untuk mempersalahkan siapapun termasuk sekolah yang memecatnya, juga tak mempertanyakan ajaran moral gereja yang ketat itu.

***
Akhirnya sidang pengadilan selesai dengan dibacakan ya keputusan para juri.

Entah mengapa juri memutuskan memenangkan pihak tergugat, yakni pihak sekolah (Gereja).

Namun begitu, alur kisah yang dibangun sang sutradara tetap ditutup dengan kotbah dalam Misa di gereja paroki yang turut dihadiri sang pengacara dan seniornya. "Ada tiga keutamaan hidup injili itu, yakni iman, harapan, dan kasih. Dan Allah meminta umat manusia untuk percaya bahwa yang paling besar dari ketiganya adalah kasih...!"

Dan kata-kata peneguhan sang calon ibu itu kepada pengacara muda tersebut, "Terimakasih, Cindy, sungguh engkau telah menunjukkan diri penuh kasih, bahkan kau tidak berpikir mau mengakuinya. Usahamu yang gigih untuk membuat dunia lebih baik, itu tindakan iman yang paling kuat!" Sebuah pengakuan penuh hormat dan kerendahan hati dari seorang beriman kepada pihak lain yang semata bertindak karena dorongan simpati kemanusiaan untuk sebuah kebaikan dan keadilan.

***

Dalam Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) pun yang dipakai dalam pengadilan tribunal gerejani Katolik Roma di kata pengantarnya disebutkan bahwa pada akhirnya semua rumusan hukum itu mesti berawal dan berakhir pada prinsip kasih itu sendiri.

Jadi, ada benarnya posisi awal apa yang diyakini oleh si ibu bahwa ini bukan soal kalah dan menang secara formal hukum. Karena Kasih itulah hukum terutama yang melampaui rasio termasuk susunan hukum buatan manusia sendiri.

Ada banyak inspirasi iman harap kasih yang nyata dari film ini, tanpa mesti menggurui apalagi memrovokasi umat beriman awam atau menggugat hirarki sebagai pejabat institusi Gereja sendiri, seolah tanpa ada jalan dialog lagi. Namun cara berpikir dan bersikap umat dan mereka yang dipercaya mewakili Gereja sebagai institusi sosial kelihatan dan rohani tak kelihatan, melalui film ini bisa dipakai untuk berdiskusi dan berdialog kritis dalam upaya memahami menjelaskan kasus yang dihadapi dan nilai normatif patokan serta mengupayakan sikap dan tindakan yang benar baik berguna atau rasional dan bijak, sebagai solusi, bukan malah menambah masalah saja.

Bagaimanakah ungkapan dan penegasan diri orang beriman yang mengaku dan percaya... Allah yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi dan segala isinya,...dan akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik?

Sejauh manakah Institusi gerejawi bisa dituntut, dan sejauh mana pejabat Gereja mewakili institusi gereja wi misalnya bisa dituntut oleh pengadilan sipil dan gerejawi sendiri?

Bila institusi gereja dipahami sebagai sakramen keselamatan Ilahi sejauh menjalankan semua ajaran dan sabda sang Ilahi sendiri, maka mestinya berlaku juga prinsip bahwa seorang pejabat sejauh menjalankan ajaran gereja itu maka dia pantas ditaati sebagaimana yang dituntut dari seluruh umat beriman, baik hirarki maupun awam, untuk tunduk hormat dan patuh terhadap Magisterium Gereja terutama dalam hal ajaran iman dan moral. Dan bagaimana sebaliknya?

Dalam kasus film di atas, nampak bahwa pengacara mewakili pihak institusi Gereja menjalankan aturan dan prinsip moral gerejawi. Dan apakah pengacara mewakili guru yang dipecat itu sudah menjalankan tugasnya demi kepentingan si yang dibela?

Nampaknya sang sutradara film sangat paham esensi dan kompleksitas problematika dalam kasus hukum seturut cara berpikir dan argumentasi  moral serta praksis internal Gereja. Pada akhirnya, memang suara hati pribadi manusia itulah yang penting dihargai, tapi dengan tetap bereferensi pada tata hukum kodrat yang juga diyakini mestinya tidak bertentangan dengan hukum Ilahi, dan itu tak bisa didispensasikan.

Akan menarik dan lebih pas kiranya bila kasus ini disidangkan dalam tribunal pengadilan gerejawi yang memang lazim dipraktikkan dalam Gereja juga.

Apakah hasilnya akan berbeda dari pengadilan sipil pemerintah?

Film di atas jelas memakai sistem pengadilan yang lain dengan di Indonesia dengan sistem kontinental Eropa di mana hakim adalah pengambil keputusan, sementara dalam konteks sistem peradilan Amerika Serikat memakai sistem Anglo Saxon, juri adalah penentu siapa bersalah dan tidak bersalah.

Tentang siapa yang mesti menjadi hakim dan juri saja ternyata berbeda sistem di setiap negara, tapi di dalam institusi gereja Katolik nampaknya sistem pengadilan gerejawinya satu dan sama, baik di Vatikan maupun di Amerika juga di Indonesia dan di mana saja. Tapi soal keputusan itu adil dan tak adil belum tentu sama hasilnya?

Ada banyak pertanyaan yang bisa dimunculkan soal menang kalah dalam pengadilan seperti itu.

Ya tanpa menyederhanakan persoalan ini, mungkin bisa dinyatakan bahwa itulah problem pengadilan manusiawi bahwa semua ada batasnya, bermula dari keterbatasan aturan hukum itu sendiri, lalu keterbatasan oleh penegak hukum itu sendiri yang seolah berjuang untuk saling mengalahkan untuk bisa menang, bahkan sadar tak sadar melakukannya dengan cara-cara melawan hukum itu sendiri, baik prosedur dan bahkan nilainya sendiri tanpa peduli martabat manusia (dan institusi sekuler dan rohaninya) yang dibela, oleh penggugat maupun tergugat.

Maka dalam segala keterbatasan itu, sangat benar apa yang dinyatakan dalam sebuah buku dogmatika, Allah Menggugat manusia, tapi tak sekedar itu, Allah juga sekaligus menyembuhkan dan membebaskannya untuk hidup lebih baik bahkan mengejar kesempurnaan hidup itu, yakni hidup dengan dan dalam kasih, yang akan dilengkapi dan disempurnakan kelak dalam kehidupan kekal. Amin.#stefirengkuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun