Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hukum Kasih dan Gugatan Hukum dalam Gereja: Antara Iman "Buta", Hati Nurani Jernih, dan Ajaran Moral Ketat

12 Agustus 2020   18:22 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:16 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila institusi gereja dipahami sebagai sakramen keselamatan Ilahi sejauh menjalankan semua ajaran dan sabda sang Ilahi sendiri, maka mestinya berlaku juga prinsip bahwa seorang pejabat sejauh menjalankan ajaran gereja itu maka dia pantas ditaati sebagaimana yang dituntut dari seluruh umat beriman, baik hirarki maupun awam, untuk tunduk hormat dan patuh terhadap Magisterium Gereja terutama dalam hal ajaran iman dan moral. Dan bagaimana sebaliknya?

Dalam kasus film di atas, nampak bahwa pengacara mewakili pihak institusi Gereja menjalankan aturan dan prinsip moral gerejawi. Dan apakah pengacara mewakili guru yang dipecat itu sudah menjalankan tugasnya demi kepentingan si yang dibela?

Nampaknya sang sutradara film sangat paham esensi dan kompleksitas problematika dalam kasus hukum seturut cara berpikir dan argumentasi  moral serta praksis internal Gereja. Pada akhirnya, memang suara hati pribadi manusia itulah yang penting dihargai, tapi dengan tetap bereferensi pada tata hukum kodrat yang juga diyakini mestinya tidak bertentangan dengan hukum Ilahi, dan itu tak bisa didispensasikan.

Akan menarik dan lebih pas kiranya bila kasus ini disidangkan dalam tribunal pengadilan gerejawi yang memang lazim dipraktikkan dalam Gereja juga.

Apakah hasilnya akan berbeda dari pengadilan sipil pemerintah?

Film di atas jelas memakai sistem pengadilan yang lain dengan di Indonesia dengan sistem kontinental Eropa di mana hakim adalah pengambil keputusan, sementara dalam konteks sistem peradilan Amerika Serikat memakai sistem Anglo Saxon, juri adalah penentu siapa bersalah dan tidak bersalah.

Tentang siapa yang mesti menjadi hakim dan juri saja ternyata berbeda sistem di setiap negara, tapi di dalam institusi gereja Katolik nampaknya sistem pengadilan gerejawinya satu dan sama, baik di Vatikan maupun di Amerika juga di Indonesia dan di mana saja. Tapi soal keputusan itu adil dan tak adil belum tentu sama hasilnya?

Ada banyak pertanyaan yang bisa dimunculkan soal menang kalah dalam pengadilan seperti itu.

Ya tanpa menyederhanakan persoalan ini, mungkin bisa dinyatakan bahwa itulah problem pengadilan manusiawi bahwa semua ada batasnya, bermula dari keterbatasan aturan hukum itu sendiri, lalu keterbatasan oleh penegak hukum itu sendiri yang seolah berjuang untuk saling mengalahkan untuk bisa menang, bahkan sadar tak sadar melakukannya dengan cara-cara melawan hukum itu sendiri, baik prosedur dan bahkan nilainya sendiri tanpa peduli martabat manusia (dan institusi sekuler dan rohaninya) yang dibela, oleh penggugat maupun tergugat.

Maka dalam segala keterbatasan itu, sangat benar apa yang dinyatakan dalam sebuah buku dogmatika, Allah Menggugat manusia, tapi tak sekedar itu, Allah juga sekaligus menyembuhkan dan membebaskannya untuk hidup lebih baik bahkan mengejar kesempurnaan hidup itu, yakni hidup dengan dan dalam kasih, yang akan dilengkapi dan disempurnakan kelak dalam kehidupan kekal. Amin.#stefirengkuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun