Menjelang detik-detik peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, publikasi kembali karya tulis almarhum Johan Fredrik Mambu SH tentang kisah Perang Tondano kiranya sangat relevan. Walau berkisah tentang sejarah dalam suatu lokalitas wilayah dan massa jauh sebelum proklamasi kemerdekaan itu, buku ini memperlihatkan benang merah dan alasan rakyat Indonesia harus berjuang  terus demi bebas dari penindasan dan bebas untuk memulihkan martabat diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan, segala hal dasar kebaikan bersama negara bangsa bahkan bumi semesta.Â
Publikasi buku ini diprakarsai oleh Irjen Pol. Carlo Brix Tewu, Deputi Ketertiban dan Keamanan Kementerian Polhukam, kiranya layak menjadi pintu masuk untuk memaknai kemerdekaan dan identitas nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terjalin oleh pelbagai wilayah dan masyarakatnya yang sangat beragam itu, salah satunya Minahasa yang ada di Sulawesi Utara.Â
***
Historia vitae magistra est. Sejarah adalah guru kehidupan. Pepatah bijak di kalimat awal ini menegaskan pentingnya belajar kehidupan dari sejarah. Sejarah yang bagaimana? Masing-masing bisa punya versi sendiri. Namun dengan sumber dan metode tertentu, walau ada kritikan, sejarah sebagai ilmu terus eksis, dan mestinya bisa menjadi sebuah pegangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pentingnya mempelajari sejarah dengan baik terungkap juga dalam ungkapan sejarawan ternama, Â George Santayana, Those who cannot remember the past are condemned to repeat it. Â Mereka yang tidak ingat dengan masa lalu dikutuk untuk mengulanginya. Bisa dilanjutkan bahwa mereka yang peduli dengan sejarah akan akan diberkati untuk tidak mengulangi kesalahan atau untuk belajar sesuatu demi perubahan dan kemajuan yang lebih baik di masa sekarang dan masa depan.
Adagium "Sejarah ditulis oleh pemenang" mengungkapkan sisi lain dari obyektivitas dan subyektivitas penelitian dan penulisan sejarah.
 Karena itu, kita mesti kritis membaca data sejarah, tanpa harus terjebak pada kecurigaan yang berlebihan. Kita mesti terus terbuka pada upaya penelitian dan penulisan tentang siapakah manusia Minahasa di masa lampau itu, termasuk penggalan peristiwa dalam suatu masa di Minahasa melawan kesewenangan pihak kolonial. Apalagi masih kurang tulisan dan referensi tentang masa lalu Minahasa, bahkan bukan tidak mungkin ada yang keliru atau tidak tepat, ada yang tak punya referensi apapun, ada yang bersifat mitos dan legenda belaka, dan di antaranya ada yang sukar dipahami dalam kajian mitologi maupun ilmu pengetahuan.
***
Lepas dari sah tidaknya bahan data dan metode yang dipakai sejarawan, ada sinyalemen menguatnya sikap curiga-mencurigai di kalangan orang Minahasa, terutama pada saat mengalami kekalahan atau lebih tepatnya berdamai kembali dengan pemerintah pusat dalam peristiwa pergolakan yang disebut "Perjuangan Semesta" atau Permesta. (Franky Rengkung, Biografi Ronni Senduk, Batalyon R Djin Kasuang, Cahaya Pineleng, Jakarta, 2017.) Selama masa perang itulah sikap saling curiga bertumbuh dan membuahkan beberapa sikap yang kecut dan pahit, seperti pengkhianatan dan aksi cowboy liar, mementingkan ego sampai main hakim sendiri. Termasuk dalam hal hasil karya dan penemuan ilmiah, ada indikasi merosotnya sikap ksatria mengakui keunggulan pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi, berkembangnya sikap cari jalan pintas untuk mengejar penghargaan pribadi dengan meninggalkan sikap genuine dan adil, termasuk sikap malas dan cari gampang serta untung diri sendiri.
***
Dalam momen penerbitan kembali naskah ini, kiranya relevan dan hakiki mengangkat dan merefleksikan prinsip-prinsip orang Minahasa yang menjadi nilai dasar dan pegangan kuat para leluhur dalam menghadapi masalah kehidupan, internal maupun eksternal. Kita bisa belajar sesuatu yang berguna dan bermakna dari kisah Perang Tondano ini.
Si vis pacem para  bellum, kalau berkehendak damai maka bersiaplah untuk berperang. Pepatah Romawi kuno ini masih saja relevan dan aktual sampai jaman perang dingin, bahkan jaman proxy war sekarang ini dalam pelbagai level dan bidang kehidupan antar negara dan perusahaan raksasa, yang paling anyar adalah perang dagang antara  Amerika dan Tiongkok.
Dalam karya besar berupa novel sejarah, War and Peace, Leo Tolstoy sesungguhnya mengisahkan situasi nyata perang dengan analisa psikologis atas apa yang melanda negeri Rusia yang dipicu oleh sang agresor Napoleon Bonaparte dari Prancis. Â Bagi Tolstoy, jelas bahwa perang dan damai adalah sebuah dinamika. Orang bersiap untuk berdamai dalam keadaan perang, dan bersiap untuk berperang dalam keadaan damai. Semua dalam situasi serba tak menentu, antara perang, status quo, damai.
Dalam uraian untuk mencari hubungan hakiki antara konflik, perdamaian, dan keadilan, Franz Magnis-Suseno, dalam buku Berfilsafat dari Konteks, terbitan Kanisius, Yogyakarta, 1995, merumuskan tiga hal pokok: pertama, perdamaian adalah salah satu (dari dua) nilai fundamental kehidupan bersama, kedua, perdamaian hanyalah "benar" apabila berdasarkan keadilan, dan ketiga, konflik terbuka (penggunaan kekerasan), terbatas kadang-kadang dapat dibenarkan sebagai sarana akhir untuk membuka struktur-struktur yang tidak adil.
Secara alamiah, memang konflik itu adalah suatu kondisi yang tak terhindarkan, bersifat laten tapi juga bisa terbuka. Tinggal soalnya bagaimana manusia mengelola konflik itu dengan benar, baik, dan berguna. Dengan kata lain mengelola konflik dengan damai, berdasarkan kebenaran dan keadilan, tanpa paksaan dan kekerasan, bebas dari rasa takut dan ancaman. Damai itu sendiri adalah sebuah keadaan selaras atau hasil dari kemampuan mengelola konflik yang sudah ada dalam diri manusia. Idealnya situasi selaras itu adalah damai sempurna, bukan antara damai dan perang. Perdamaian bukan sekedar situasi tiada konflik, melainkan suatu keadaan berdasarkan pengakuan bebas terhadap tatanan sosial yang mewujudkan idea keadilan.
***
Perang rakyat Minahasa melawan orang luar, khususnya dengan kolonial Eropa, sesuai catatan sejarah, sempat beberapa kali terjadi. Dalam kisah Perang Tondano, pertama sampai keempat terakhir, menjadi cukup jelas bagaimana dinamika perang dan damai itu terjadi. Ada usaha-usaha untuk menghindari perang terbuka dalam masa tidak ada konflik dengan membuat kontrak perjanjian, dan ada usaha untuk menyelesaikan konflik dengan peperangan, bahkan berkali-kali terjadi, daripada berdamai.
Apakah yang membuat orang Minahasa terpaksa berkonflik terbuka dengan orang luar, khususnya dengan kolonial?Â
Penjelasan konteks latarbelakang perlawanan diuraikan dengan detail oleh penulis dalam buku ini sesuai data dan rekonstruksi yang komprehensif.
Menelusuri lebih dalam lagi, ada pendapat mengatakan bahwa orang Minahasa khususnya yang mendiami wilayah danau Tondano adalah orang-orang keras dengan perangai tegas dan gampang meledak. Salah satu fenomena yang gampang diingat orang adalah karakter pemberani yang salah satunya nampak dari mimik dan nada bicara yang penuh percaya diri dan waspada. Sejarawan Indonesia asal Jerman, Adolf Heuken SJ, pernah melabeli para pejuang perang Tondano laksana batu granit yang keras nan cemerlang.Â
Menurut Weliam H. Boseke, peneliti dan penulis buku  Penguasa Dinasti Han, Leluhur Minahasa, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018, orang-orang yang bermukim di wilayah sekitar danau Tondano disebut tong dao na (= bocah-bocah yang sampai di sana, yakni yang kelihatan dari Watu Pinawetengan*1) adalah keturunan dari para veteran dan pejuang yang  mengawal "rakyat yang membawa bovah-bocah" (min na hai zi). Menurut penemuan terbaru ini,  leluhur Minahasa*2 adalah mereka yang diselamatkan atau menyingkir dari  daerah asal, yakni negeri Han (Hua tu), yang dilanda perang saudara yang terkenal dalam sejarah sebagai peperangan terbesar yang disebut Sam Kok (San Guo =  Tiga Negara/Kerajaan) pada abad II dan III Masehi. Karena itu, pengalaman perang itu pasti membawa luka tetapi juga membuat mereka merindukan kedamaian.*3
Dalam Esai yang dibuat khusus menanggapi naskah buku ini, "Budaya Perang Tondano", filsuf kawakan kita, Benni Matindas, walau terbiasa dengan bahasa abstrak, justru memberikan uraian yang gamblang tentang konteks yang melatarbelakangi pecahnya perlawanan ini.
 Menurut Benni, nilai budaya orang Minahasa yang melatari peristiwa perlawanan ini, bahkan dia menguraikannya lebih jauh dengan menyebut pencapaian-pencapaian tertinggi banyak orang Minahasa, sampai pada suatu masa kemudian meredup dan karena itu dia  mengajak orang Minahasa sekarang berefleksi, bagaimana seharusnya manusia sekarang memahaminya demi penemuan dan pengakuan serta peningkatan, bukan romantisme dan kebanggaan semu serta penurunan yang memerosotkan jati diri individu dan kaum Minahasa itu sendiri. (Menarik juga membaca buku Bert Adrian Supit, Menguak Akar Masalah Budaya Minahasa dan GMIM, Epilog Autobiografi, Pohon Cahaya, Yogyakarta, Maret 2019, yang menyoroti realitas dan problematika orang Minahasa yang pernah melahirkan tokoh-tokoh unggul secara individual dalam komunalitasnya, tokoh nasionalis diwakili Dr. Sam Ratulangi dan tokoh religius direpresentasikan oleh DS. A. Z. R. Wenas, dua tokoh yang menjadi inspirasi bagi penulis.) Tulisan Benni ini menerapkan prinsip individualitas dan komunalitas seperti yang diteliti dalam disertasi dari Leiden University oleh Dr. Paul Richard Renwarin, Matuari and Tona'as.Â
Sejatinya buku ini dipublikasikan untuk membuka kembali lembaran-lembaran lama untuk dijadikan patokan dan arah baru penuh vitalitas dalam kesadaran dan pencerahan untuk berpikir dan bertindak dengan aksi-aksi nyata demi perubahan dan transformasi, dalam perspektif masa lalu antara masa depan, dalam dinamika dan harmoni antara nilai normatif dan realitas praktis, menuju cita-cita akhir kehidupan manusia dalam segala level kehidupannya.
Sejarah tentang waktu dan peristiwa di masa lampau, tapi bukan sekedar ingatan akan sejumlah pengetahuan dan sumber serta referensinya. Ilmu  sejarah bukan sekedar rekonstruksi atas sejumlah data dan lalu bebas tafsir. Dia bukan imaginasi subyektif di masa lampau dan masa depan, walau kreatuvitas berpikir sangat ditunjang oleh daya imaginasi.  Bukan sekedar deskripsi realitas, tapi sekaligus mengandung sebuah upaya hermeneutika dan sekaligus strategika demi sebuah transformasi masyarakat.
***
Buku ini memberi manfaat sejarah lokal bagi sejarah nasional, memakai ungkapan sejarawan nasional, JJ Rizal, "bukan saja menyumbangkan kajian sejarah lokal kita yang miskin, tetapi juga pengetahuan kita yang miskin ikhwal daerah-daerah dan masyarakat dengan sejarahnya di Indonesia." Â Karena kisah ini memaparkan juga keunikannya dalam lintasan sejarah perlawanan daerah-daerah di Nusantara. Misalnya lain dengan jalannya peperangan yang terjadi di tanah Mori, Sulawesi Timur, yang memiliki keunikan perjuangan habis-habisan, pantang menyerah, demi melaksanan perintah dan menjunjung martabat tinggi sang Raja, termasuk tindakan bunuh diri dan menghabisi warga daripada menyerah dan dikuasai musuh. (Edward L. Poelinggomang, Kerajaan Mori, Sejarah dari Sulawesi Tengah, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2008.)
 Keunikan peperangan orang Minahasa adalah bukan pada struktur dan perintah penguasa tertinggi, melainkan ditentukan oleh sistem kepemimpinan primus inter pares (yang terkemuka di antara yang terkemuka) yang didukung oleh komunitas budaya yang menjunjung tinggi kesetaraan di antara sesama warganya.
Sikap ini didasarkan pada nilai individualitas dari si pemimpin dan bahkan warga biasa dalam tata nilai tak kenal menyerah demi menegakkan martabat pribadi yang sangat dijunjung tinggi oleh komunitas. Penentuan panglima perang (Teterusan) pun tidak ditentukan secara jabatan semasa, melainkan oleh kebutuhan fungsional dan situasional. Ukung Tewu sebagai Teterusan dalam perang terbesar tersebut kiranya tidak bertindak sendiri, melainkan dalam koordinasi dengan semua ukung atau kepala Walak dan Pakasaan yang terlibat.
Konsistensi dan dinamika memperjuangkan martabat diri sampai titik penghabisan diri sendiri, termasuk keluarga dan segala harta benda, tapi tidak merasa perlu dengan mengorbankan sesama lain yang masih bisa menyelamatkan diri untuk terus membangun kekuatan baru.
***
Pro kontra atau pelbagai versi perang Tondano yang selalu saja ada dan diciptakan, kiranya tetap menyiarkan sebuah hal yang pasti tentang siapakah manusia Minahasa, individualitas dan komunalitasnya. Dalam pergumulan pemikiran dan mashab apapun, termasuk dalam pendekatan dan ilmu sejarah dan ilmu humaniora umumnya, sesungguhnya tak jauh tentang memahami siapakah manusia itu.Â
Intelektual asal Tataaran Tondano, Audy Wuysang, menyebut tulisan Edy Mambu ini sebagai sebuah pendekatan yang keras, yang mempertegas tulisan "lunak" Bert Supit yang lebih dulu membuat koreksi kisah dan rekonstruksi khususnya terkait tokoh-tokoh utama. Ketegasan ini terasa bisa diterima karena disertai dengan referensi baru yang validitasnya kuat dan bisa diverifikasikan. Karena itu perlu sebuah keheningan batin dan kedinginan kepala untuk membahas sebuah kajian akademis tentang sejarah Minahasa ini, bukan dengan emosi yang mengaburkan nalar dan nurani. Sedingin dan sejernih danau Tondano yang penuh kenangan indah, seperti kata penyair lagu lama.Â
Penulisnya sendiri, biasa dipanggil singkat Edy Mambu, tak sempat lagi menyaksikan buku ini diterbitkan, karena dia sudah bersatu dengan Sang Awal dan Akhir. Dan sebagaimana harapannya bahwa kisah manusia heroik di tanah Minahasa ini makin dikenal luas oleh warga Minahasa, Indonesia bahkan dunia, patut disyukuri bahwa peristiwa ini telah diusahakan diterima untuk dihargai oleh Negara, dan sudah terwujud dengan dimasukkkannya kisah perang ini dalam diorama di Museum Keprajuritan TNI dan buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Semoga beliau sudah berbahagia di alam kehidupan abadi yang final dan ultim.
Dalam pendahuluan naskah ini tampak bahwa penulis sadar tentang beberapa penulis lain termasuk sejarawan kolonial yang sudah lebih dahulu meneliti dan menulis, namun ada beberapa koreksi dan tambahan yang menjadi sumbangan penulis berdasarkan referensi kepustakaan dan tuturan lisan dari sejumlah tokoh.Â
Tentu saja masih akan ada tulisan-tulisan yang akan memberi evaluasi kritis dan pengembangan, dan semoga buku yang dipublikasikan kembali dengan semangat yang diperbaharui makin dikenal luas dan dimaknai secara dalam, apalagi pasca kisah ini secara resmi masuk dalam perbendaharaan kisah heroik perlawanan bangsa Indonesia melawan penindasan dan penjajahan.
Semoga publikasi ini menjadi bagian dari upaya untuk menggairahkan penelitian dan penulisan tentang sejarah Minahasa, dan upaya melindungi karya cipta dan penghargaan pada originalitas serta keterbukaan diri kaum Minahasa, khusus para intelektualnya, untuk terus memacu diri mengolah diri menjadi yang terbaik, menjadi yang terdepan, paling tidak menjadi yang terbaik untuk diri sendiri dan keluarga serta komunitas dan publik nasional dan bahkan global.#
Catatan kaki
0) Perang Permesta ini bisa disebut juga perang saudara, sebuah perang yang mengakibatkan hilangnya beberapa generasi anak muda, dan disinyalir menyebabkan kemunduran di segala bidang secara bertahap. Menurut Weliam H. Boseke, Permesta tidak boleh dibilang kalah. Fakta sesungguhnya adalah Permesta dibujuk untuk kembali ke pangkuan Ibu pertiwi dan permesta. Permesta tidak menyerah. Pasukan Permesta dibujuk untuk dialihkan menjadi TNI dalam penyelesain damai, kemudian Permesta menerima dan bersedia naik kapal kapal TNI menuju Jawa, baru dilucuti dalam perjalanan, dan kemudian tidak semua Permesta otomatis menjadi TNI, sebagian disebut kembali ke masyarakat. Sebagian yang tidak kembali ke Menado, mengadu nasib di Jawa dan sebagian mengadu nasib ke Jakarta dan menjadi kelompok yang disebut SARTANA (Sarinah Tanah Abang) yang jasanya dipakai pihak Ciputra yang dipercaya Bung Karno membangun Gedung Sarinah dan Pusat Perbelanjaan Tanah Abang.
Pembentukan Kerukunan Keluarga Kawanua sangat kental diwarnai oleh para tokoh Permesta ini juga, dan bukan kebetulan diawali juga oleh perkumpulan orang perantauan dari wilayah seputar Danau Tondano itu.
1) Di sebuah lokasi Pinabetengan  terdapat prasasti yang diyakini sebagai tempat pembagian wilayah (pinawetengan=tempat berbagi, arti kontemporer ini masih ada kemiripan dalam bahasa Han kuno! ), untuk ditempati masyarakat Minahasa awal. Dari tempat itulah, secara geo spasial, leluhur Minahasa membagi wilayah untuk warganya, yakni Tombulu (bocah-bocah kaki gunung), Tonsea (bocah-bocah yang turun gunung), Tontemboan (bocah-bocah yang berjalan ke perbukitan), dan Toulour (anak anak pasukan veteran).
2) Leluhur Minahasa itu tak lain adalah para keturunan penguasa Dinasti Han. Ada banyak bukti yang coba dipaparkan penulis untuk mendukung temuannya dari sisi linguistic. Ada banyak kesamaan dan kemiripan, atau kalau ada perubahan bentuk pun, masih bisa ditelusuri dalam bahasa Han (Tiongkok kuno). Misalnya nama-nama orang Minahasa yang kemudian menjadi fam (family name = famili naam) ternyata berasal dari nyanyian Karema, yang tak lain adalah syair pujian penuh hormat kepada Amang Kasuruan yang adalah Sang Kaisar sendiri, yakni Liu Bei. Buku tentang Fam Minahasa dan asal usulnya dari Dinasti Han ini akan segera terbit.
Â
3) Idealitas hidup ini terungkap dalam kata penting yang menunjuk pada nilai dan identitas Minahasa, pernyataan sepakat untuk hidup bersatu dan berdamai (mahesaesaan, maesaan, dalam latinisasi Han: Ma huei xie yi jia an ). Ungkapan-ungkapan lain yg menunjukkan idealitas persatuan dan perdamaian, misalnya pa ka e sa an (ba kwai yi jia an = agar menjadi satu keluarga yang damai. Rahasia mengenali bahasa Minahasa dan Han adalah pada menyadari perbedaan penggunaan bahasa ideografis atau mono syllabel dan multi silabel.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H