Si vis pacem para  bellum, kalau berkehendak damai maka bersiaplah untuk berperang. Pepatah Romawi kuno ini masih saja relevan dan aktual sampai jaman perang dingin, bahkan jaman proxy war sekarang ini dalam pelbagai level dan bidang kehidupan antar negara dan perusahaan raksasa, yang paling anyar adalah perang dagang antara  Amerika dan Tiongkok.
Dalam karya besar berupa novel sejarah, War and Peace, Leo Tolstoy sesungguhnya mengisahkan situasi nyata perang dengan analisa psikologis atas apa yang melanda negeri Rusia yang dipicu oleh sang agresor Napoleon Bonaparte dari Prancis. Â Bagi Tolstoy, jelas bahwa perang dan damai adalah sebuah dinamika. Orang bersiap untuk berdamai dalam keadaan perang, dan bersiap untuk berperang dalam keadaan damai. Semua dalam situasi serba tak menentu, antara perang, status quo, damai.
Dalam uraian untuk mencari hubungan hakiki antara konflik, perdamaian, dan keadilan, Franz Magnis-Suseno, dalam buku Berfilsafat dari Konteks, terbitan Kanisius, Yogyakarta, 1995, merumuskan tiga hal pokok: pertama, perdamaian adalah salah satu (dari dua) nilai fundamental kehidupan bersama, kedua, perdamaian hanyalah "benar" apabila berdasarkan keadilan, dan ketiga, konflik terbuka (penggunaan kekerasan), terbatas kadang-kadang dapat dibenarkan sebagai sarana akhir untuk membuka struktur-struktur yang tidak adil.
Secara alamiah, memang konflik itu adalah suatu kondisi yang tak terhindarkan, bersifat laten tapi juga bisa terbuka. Tinggal soalnya bagaimana manusia mengelola konflik itu dengan benar, baik, dan berguna. Dengan kata lain mengelola konflik dengan damai, berdasarkan kebenaran dan keadilan, tanpa paksaan dan kekerasan, bebas dari rasa takut dan ancaman. Damai itu sendiri adalah sebuah keadaan selaras atau hasil dari kemampuan mengelola konflik yang sudah ada dalam diri manusia. Idealnya situasi selaras itu adalah damai sempurna, bukan antara damai dan perang. Perdamaian bukan sekedar situasi tiada konflik, melainkan suatu keadaan berdasarkan pengakuan bebas terhadap tatanan sosial yang mewujudkan idea keadilan.
***
Perang rakyat Minahasa melawan orang luar, khususnya dengan kolonial Eropa, sesuai catatan sejarah, sempat beberapa kali terjadi. Dalam kisah Perang Tondano, pertama sampai keempat terakhir, menjadi cukup jelas bagaimana dinamika perang dan damai itu terjadi. Ada usaha-usaha untuk menghindari perang terbuka dalam masa tidak ada konflik dengan membuat kontrak perjanjian, dan ada usaha untuk menyelesaikan konflik dengan peperangan, bahkan berkali-kali terjadi, daripada berdamai.
Apakah yang membuat orang Minahasa terpaksa berkonflik terbuka dengan orang luar, khususnya dengan kolonial?Â
Penjelasan konteks latarbelakang perlawanan diuraikan dengan detail oleh penulis dalam buku ini sesuai data dan rekonstruksi yang komprehensif.
Menelusuri lebih dalam lagi, ada pendapat mengatakan bahwa orang Minahasa khususnya yang mendiami wilayah danau Tondano adalah orang-orang keras dengan perangai tegas dan gampang meledak. Salah satu fenomena yang gampang diingat orang adalah karakter pemberani yang salah satunya nampak dari mimik dan nada bicara yang penuh percaya diri dan waspada. Sejarawan Indonesia asal Jerman, Adolf Heuken SJ, pernah melabeli para pejuang perang Tondano laksana batu granit yang keras nan cemerlang.Â
Menurut Weliam H. Boseke, peneliti dan penulis buku  Penguasa Dinasti Han, Leluhur Minahasa, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018, orang-orang yang bermukim di wilayah sekitar danau Tondano disebut tong dao na (= bocah-bocah yang sampai di sana, yakni yang kelihatan dari Watu Pinawetengan*1) adalah keturunan dari para veteran dan pejuang yang  mengawal "rakyat yang membawa bovah-bocah" (min na hai zi). Menurut penemuan terbaru ini,  leluhur Minahasa*2 adalah mereka yang diselamatkan atau menyingkir dari  daerah asal, yakni negeri Han (Hua tu), yang dilanda perang saudara yang terkenal dalam sejarah sebagai peperangan terbesar yang disebut Sam Kok (San Guo =  Tiga Negara/Kerajaan) pada abad II dan III Masehi. Karena itu, pengalaman perang itu pasti membawa luka tetapi juga membuat mereka merindukan kedamaian.*3
Dalam Esai yang dibuat khusus menanggapi naskah buku ini, "Budaya Perang Tondano", filsuf kawakan kita, Benni Matindas, walau terbiasa dengan bahasa abstrak, justru memberikan uraian yang gamblang tentang konteks yang melatarbelakangi pecahnya perlawanan ini.
 Menurut Benni, nilai budaya orang Minahasa yang melatari peristiwa perlawanan ini, bahkan dia menguraikannya lebih jauh dengan menyebut pencapaian-pencapaian tertinggi banyak orang Minahasa, sampai pada suatu masa kemudian meredup dan karena itu dia  mengajak orang Minahasa sekarang berefleksi, bagaimana seharusnya manusia sekarang memahaminya demi penemuan dan pengakuan serta peningkatan, bukan romantisme dan kebanggaan semu serta penurunan yang memerosotkan jati diri individu dan kaum Minahasa itu sendiri. (Menarik juga membaca buku Bert Adrian Supit, Menguak Akar Masalah Budaya Minahasa dan GMIM, Epilog Autobiografi, Pohon Cahaya, Yogyakarta, Maret 2019, yang menyoroti realitas dan problematika orang Minahasa yang pernah melahirkan tokoh-tokoh unggul secara individual dalam komunalitasnya, tokoh nasionalis diwakili Dr. Sam Ratulangi dan tokoh religius direpresentasikan oleh DS. A. Z. R. Wenas, dua tokoh yang menjadi inspirasi bagi penulis.) Tulisan Benni ini menerapkan prinsip individualitas dan komunalitas seperti yang diteliti dalam disertasi dari Leiden University oleh Dr. Paul Richard Renwarin, Matuari and Tona'as.Â