Mohon tunggu...
Stefan Sikone
Stefan Sikone Mohon Tunggu... Guru - Mengajar di SMAN 1 Tengaran - Kab. Semarang dan Entreprenuer Bisnis Online

Saya senang menulis dan mengamati bisnis online. Saya berlayar di 3 pulau ilmu: filsafat, ekonomi manajemen, komputer. Mendirikan LPK Bistek untuk memberikan pendidikan dan latihan gratis bisnis online bagi masyarakat yang berminat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cancel Culture, Pedang Bermata Dua di Era Digital?

30 Juli 2024   18:09 Diperbarui: 30 Juli 2024   18:09 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cancel culture merupakan fenomena yang muncul di era digital, di mana individu atau kelompok dikritik secara publik dan diboikot karena tindakan atau pernyataan yang dianggap tidak pantas, tidak etis, atau kontroversial. Fenomena ini umumnya terjadi di media sosial, di mana opini publik dapat menyebar dengan cepat dan luas. 

Cancel culture seringkali dikaitkan dengan gerakan sosial dan politik, khususnya terkait isu-isu seperti ras, gender, seksual, dan agama.  

Di satu sisi, cancel culture dapat menjadi alat untuk mempromosikan keadilan dan akuntabilitas. Individu atau kelompok yang melakukan tindakan diskriminatif atau merugikan orang lain dapat diminta untuk bertanggungjawab atas perbuatan mereka. 

Dampak Positif:

1. Meningkatkan Kesadaran Publik: 

Cancel culture dapat membantu meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu penting, seperti rasisme, seksisme, dan homofobia.  

Ketika seseorang dikritik secara publik karena tindakan atau perkataan yang tidak pantas, hal ini dapat memicu perdebatan dan diskusi tentang isu-isu tersebut, yang pada akhirnya dapat membantu mengubah perilaku dan sikap masyarakat. 

Contohnya, gerakan #MeToo yang muncul pada tahun 2017, menggunakan media sosial untuk mendorong perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan pelecehan seksual. 

Gerakan ini telah membantu mengungkap kasus-kasus pelecehan seksual yang selama ini ditutup-tutupi, dan telah menyebabkan beberapa tokoh berpengaruh di berbagai bidang kehilangan pekerjaan mereka.

2. Mendorong Akuntabilitas:

Cancel culture dapat memaksa individu dan kelompok untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perkataan mereka.  

Ketika seseorang dikritik secara publik, mereka mungkin merasa terdorong untuk meminta maaf, mengubah perilaku mereka, atau bahkan mundur dari posisi publik.  

Contohnya, kasus Kevin Spacey, aktor Hollywood yang dituduh melakukan pelecehan seksual.  

Setelah tuduhan tersebut muncul, Spacey menghadapi boikot dari industri film dan kehilangan beberapa peran penting.  

Hal ini menunjukkan bagaimana cancel culture dapat mendorong akuntabilitas bagi orang-orang yang berkuasa.

3. Mendorong Perubahan Sosial:

Cancel culture dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan sosial.  

Ketika orang-orang bersatu untuk mengkritik tindakan atau perkataan yang tidak pantas, mereka dapat menciptakan tekanan pada individu, kelompok, atau institusi untuk mengubah kebijakan atau praktik mereka.  

Contohnya, boikot terhadap produk-produk perusahaan yang terlibat dalam praktik bisnis yang tidak etis, seperti eksploitasi pekerja atau pencemaran lingkungan.  

Boikot ini telah memaksa perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengubah kebijakan mereka dan menjadi lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Dampak Negatif:

1. Penghukuman Massal:

Seringkali, kritik dan boikot yang dilakukan dalam cancel culture tidak proporsional dengan kesalahan yang dilakukan.  

Individu atau kelompok dapat dihukum secara massal tanpa proses hukum yang adil.  

Contohnya, kasus Justine Sacco, seorang eksekutif perusahaan yang kehilangan pekerjaannya setelah dia menulis tweet yang bersifat rasis.  

Meskipun Sacco telah meminta maaf dan menyatakan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyinggung siapa pun, dia tetap dipecat dan dikritik secara luas di media sosial.

2. Kehilangan Ruang Dialog:

Cancel culture cenderung menciptakan polarisasi dan menghalangi dialog yang konstruktif. Alih-alih mencari solusi bersama, orang-orang lebih mudah terjebak dalam perdebatan yang emosional dan saling menyalahkan.  

Contohnya, perdebatan tentang isu-isu politik atau sosial yang seringkali berlangsung di media sosial. Orang-orang yang memiliki pandangan berbeda seringkali dikritik dan dihina, yang membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam diskusi yang konstruktif.

3. Penyalahgunaan Kekuasaan:

Cancel culture dapat disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk menyerang lawan politik atau individu yang tidak sependapat dengan mereka. 

Contohnya, penggunaan cancel culture untuk membungkam kritik terhadap kelompok atau ideologi tertentu.  Hal ini dapat mengancam kebebasan berekspresi dan menghalangi dialog yang sehat.

4. Kekerasan Online:

Kritik dan boikot yang dilakukan dalam cancel culture seringkali disertai dengan ujaran kebencian, pelecehan, dan intimidasi online.  

Contohnya, serangan online terhadap individu atau kelompok yang dikritik secara publik. Serangan ini dapat menyebabkan kerusakan mental dan emosional yang serius bagi korban.

Kesimpulan

Cancel culture merupakan fenomena kompleks yang memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, cancel culture dapat menjadi alat untuk mempromosikan keadilan dan akuntabilitas. Namun, di sisi lain, cancel culture juga dapat berujung pada penghukuman massal, kehilangan ruang dialog, kekuasaan, dan kekerasan online. 

Perlu dipahami bahwa setiap individu memiliki hak untuk berpendapat dan melakukan kesalahan.  Namun, perlu juga untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perkataan kita. 

Cancel culture dapat menjadi alat yang efektif untuk mempromosikan keadilan, tetapi harus dilakukan dengan bijak dan bertanggung jawab. 

Sebagai masyarakat, kita perlu menemukan cara untuk membangun dialog yang konstruktif dan menyelesaikan konflik dengan cara yang adil dan bermartabat.  

Kita juga perlu melindungi hak individu untuk berpendapat dan melakukan kesalahan, tanpa harus dihukum secara massal.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun