Mohon tunggu...
Steeps_Maayy05
Steeps_Maayy05 Mohon Tunggu... Lainnya - Part of AWWriters

Hi, i'm a newbie in here. I need to explore my oppinions in here, don't forget to follow me for the next experience on my writing. Big love, from author ♥️♥️♥️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Topeng Rasa Bencana

21 Januari 2021   21:52 Diperbarui: 21 Januari 2021   22:03 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gema riak menghantam sukma

Seolah pandai mengikat resah
Gurau seolah bertahta
Namun, hati nestapa siapa peduli?

***

Kau tengah berdiam di pojok ruang hampa, temenung seribu bahasa tanpa gurau yang menyela. Kau bertanya pada dirimu yang tengah merapuh, apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirimu. Kau menganggap dirimu sebuah tembok beton yang tak dapat rapuh meski dihantam badai, kau juga berkata bahwa kau adalah lautan yang tak dapat terbelah meski kau merasa muram, dan kau artikan dirimu sebagai singa yang tangguh dalam menghadapi berbagai situasi.

Tapi lihatlah dirimu sekarang! Kau seperti porselen yang mudah rapuh, kau juga seperti bubur yang dengan mudahnya tercampur ratakan dengan kotornya lumpur, dan kau seperti hujan yang dengan mudahnya menyusup ke dalam tanah yang keras, namun mampu menggenang jadi lautan asa. Tak ada periak lara yang senantiasa mengelilingi, hanya ada duka, duka, dan duka yang selalu saja menghampiri.

Di ruang hampa, kau temenung seribu bisu. Tak dapat dipungkiri, kau kalah! Kau lemah dengan dirimu, dan kau mulai membenci dirimu yang lemah. Hingga akhirnya kau berkaca dalam cerminmu seraya berkata, "Aku tembok yang berasal dari beton. Akulah pemilik kaca yang tidak mudah pecah. Dan akulah sang pemilik diri, aku berhak atas diriku! Bukan kau, atau kalian!"

Selalu saja kau rapalkan mantra itu saat kau merasa terguncang. Dan disana terdapat orang yang mengintip di balik ruang hampa yang tengah kau tempati. Ia datang kepadamu, melilitkan tangan di tubuhmu. Sampai akhirnya kau sadar, bahwa kau perlu seseorang untuk menjadi sandaran yang dapat membuatmu merasa nyaman tanpa harus merasa tertekan dengan kelamnya keadaan diluar sana.

"Ah, ceritanya keren banget sih. Maknanya menarik, jadi pengen cari yang volume keduanya, deh! Kalau ada, sih."

"Kamu mau novelnya? Sini yuk, kerumahku! Aku punya sampai volume kelimanya loh."

"Eh, beneran?"

"Iya, yuk ke rumahku! Nanti aku pinjamkan semua deh, buat kamu. Tapi jangan lupa dikembalikan, ya?"

"Siap, Ra!"

Mereka mulai melangkahkan kaki, keberadaan mereka mulai menghilang dari tempat awal mereka bercengkrama. Namun desis-desis hina bermunculan saat mereka telah pergi dari sana. Mereka selalu saja diremehkan oleh para mulut jalang yang tak kenal lelah dengan lontaran asu mereka. Bahkan si mulut jalang tak segan melakukan hal kotor yang membuat mereka berdua terangkap dalam jaring-jaring racun yang mereka buat untuk menjerat kedalam lembah kotor, lingkaran mereka.

Cacian, hinaan, serta perlakuan bangsat selalu saja menghampiri. Mereka masih kukuh untuk menghadapinya. Bahkan mereka benar-benar tak ambil pusing dengan hal itu. Mereka berdua selalu melontarkan canda tawanya yang hambar. Rasa yang belum tertabur, sangat terasa nyata. Tapi, tetap saja kan? Tak ada yang mau menabur aneka rasa yang belum tercampur.

***

"Cut! Mana adegan tentang pertemuan dengan seorang pemuda tadi? Mengapa kau melewatkannya?"

"Ah, maafkan aku yang pelupa. Yang ku ingat setelah menuju ke rumahnya untuk mengambil semua volume novel itu hanya sekedar ke bukit belakang vila itu. Lalu, setelahnya aku sama sekali tak ingat dengan dialog milikku. Maafkan aku!"

"Kau selalu saja menjadi pengacau! Ayo hafalkan naskahmu, dan jangan lupa dengan alurnya. Kau menghancurkan reputasi yang sudah ku bangun dengan baik! Dasar jalang!"

"Baik, akan aku ingat kembali dialog milikku. Maaf, aku tau semua ini kesalahan yang fatal! Aku dapat mengingatnya secepat kilat kalau kau mau. Maaf!'

"Serah kau saja!"

"Ara, ayo! Akan aku bantu untuk mengingat dialogmu!"

"Terima kasih, kau sangat membantuku!"

***

Gadis itu datang menuju bukit yang berada di belakang vila kosong itu dengan langkah gontainya, seolah ia tak ingin meninggalkan matahari tenggelamnya. Ia terlihat menikmati pemandangannya, dengan suka ria ia mengambil sebuah kamera dan memotret gambar pemandangan yang ada di hadapannya.

Secara tidak sengaja, seorang pemuda juga ikut terpotret dalam kameranya. Gadis itu mendekat, dan menepuk hangat pundak milik lelaki itu. "Ah, apa yang terjadi?"

"Mereka selalu saja meneriakiku dengan sebutan jalang."

"Mengapa begitu?"

"Mereka berpikir bahwa aku adalah anak seorang jalang. Padahal mereka tak mengerti apapun tentangku, atau keluargaku sekalipun!" Lelaki itu menatap muram angkasa lepas yang berada di hadapannya. Lalu, kembali tersenyum kecut sembari menatap tanah yang ia pijak.

"Kau pernah membaca sebuah pepatah, mengenai pohon?"

"Apa itu?" Tangannya mengusap tengkuk secara terus menerus, wajah polosnya terlalu lucu untuk memerankan sebagai tokoh yang bingung. Gadis memberikan buku bersampul toska, sedangkan lelaki itu mengambilnya dan segera membuka buku itu. Kepalanya berpikir keras untuk memikirkan kalimat yang ada.

~ ".... Hanya saja aku tidak pernah peduli, sebutan orang padaku atau anggapan mereka, yang terpenting adalah bagaimana aku hidup, dan bagaimana aku menjaga mereka yang penting untukku. Salah satu guruku pernah berkata, pohon menjadi lebih tinggi dari pada rumput karena keinginannya untuk mendapat sinar matahari lebih besar dari rumput, sementara bunga lebih indah dari pada rumput karena keinginannya untuk terlihat lebih cantik dari rumput." [Tokoh Utama] menepuk pundak gadis itu. "Tidak peduli apa yang orang katakan atau pandangan orang terhadapmu, menjadi seperti apa dirimu itu tergantung keinginanmu yang paling dalam." ~

"Apa itu?"

"Itu kalimat yang ku lupakan saat bermain peran tadi. Mereka juga meneriakiku jalang, akibat keteledoranku. Sampai akhirnya, peranku diganti oleh orang lain." Gadis itu hanya menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.  Terdapat bercak-bercak rasa kesal, hampa, emosi, atau apapun itu jadi satu.

"Tapi, aku tidak akan pernah memikirkan hal itu lagi. Sudah kuputuskan, bahwa aku tidak akan menyerah dengan segala keadaan! Kau juga seharusnya seperti itu. Aku tau, kau kuat. Dan aku yakin, suatu saat kau dapat menjadi seperti apa yang kau mau, tanpa tekanan yang memberatkan!"

"Ya, semoga begitu. Apa kau yakin dengan ucapanmu?"

"Ya! Kenapa tidak?"

"Itu karena..."

"Cut!"

***

Gadis itu telah menyelesaikan perannya dengan baik, bahkan pujian selalu menghiasi hari-harinya. Namun, ia sama sekali tidak melupakan kejadian dimana ia dihakimi. Setiap ia melihat kerumunan, ia selalu saja mengingat masa terburuk yang ada dalam hidupnya. Semalam ia dengan gemetar meminum obat penenang dengan dosis tinggi. Tubuhnya terasa melayang bebas, sama seperti ia pergi ke kelab untuk bermabuk ria minggu lalu.

Lalu pagi ini, ia lompat dari lantai lima akibat efek samping dari obat penenangnya sendiri. Sekarang, ia telah tiada akibat serangan panik yang tiba-tiba hadir akibat telah overdosis obat penenang, hingga menghadirkan halusinasi yang berkepanjangan selama semalaman penuh. Bahkan semalam terdengar suaranya berteriak tak karuan akibat kesal, entah kesal dengan siapa akupun tak tau.

Ah, kau terlalu bodoh untuk mengakhiri hidupmu sekarang. Tapi tak apa, kau masih dapat ku jadikan sebagai sumber keuanganku, meski kau telah tiada. Malangnya nasibmu, si gadis dungu kacung setiaku!

~ The End ~

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun