Cheonsa, nama aneh yang aku berikan untuk gadis berambut ikal dan berkulit putih pucat di sekolahku. Dia adalah gadis sederhana yang mudah bergaul dan memiliki sifat yang baik. Terkadang tingkah lakunya membuat kami, aku dan teman- temanku tertawa.Aku sangat mengenal sosok gadis penuh harap ini, sejak aku tau dia menyukai sahabat karibku.
Tiga tahun yang lalu, aku dan Raka baru saja masuk ke sekolah menengah pertama di kota kecil ini. Entahlah, mungkin karena wajah tampanku ini membuat aku dan Raka menjadi bahan bisikkan manis kakak- kakak perempuan di sekolahku.
Di tengah keriuhan siswa perempuan yang mengelilingi tubuhku dan Raka. Aku temukan sepasang bola mata hitam yang sendu menatap dengan serius ke arah Raka. Cahaya matanya menembus kaca tebal jendela kelas mencari jalan untuk menatap seorang pangeran yang tak mengenalinya. Namun, bukan seperti yang aku bayangkan, Cheonsa yang aku kenal pertama kali tidaklah pemalu dan pendiam seperti sekarang. Dia mengalikan tatapannya ke arahku, dia tersenyum sedikit dan memberikan sebuah isyarat agar aku mengatakan kepada Raka bahwa ada seorang putri yang menunggunya di balik jendela itu.
Puisi- puisi indah untuk Raka mulai bermunculan setiap hari. Cheonsa memulai petualangan cintanya lewat perasaan yang dia utarakan dengan percikan tinta pada kertas putih. Kata- kata pujian untuk pangeran impiannya membuat Raka tersanjung. Aku tidak pernah berpikir bahwa cinta yang dirasakan sang Cheonsa hanya sebatas cinta monyet di bangku SMP.
Cheonsa bukan gadis buruk rupa yang membuat sang pangeran jijik terhadapnya. Raka menyadari ketulusan puisi cinta Cheonsa. Namun, untuk membuktikan itu Raka membuang semua surat yang Cheonsa berikan.
Perasaan Cheonsa tersakiti, tidak ada lagi puisi indah yang bisa kubacakan untuk pangerannya. Lama- kelamaan Raka menyesali perbuatannnya. Saat sang Cheonsa berjalan di taman belakang sekolah bersama putri- putri lainnya, pengeran datang membawa penyesalan dan meminta maaf pada Cheonsa.
“Maafkan aku, bisakah kita mengulangnya dari awal?.” Tanya Raka
“Sa, maafin aja Sa.”
Cheonsa yang lugu mencarik sebuah kertas dan mencatat nomor ponsel yang ternyata sudah tidak aktif lagi.
“Alsa, apa Raka menelponmu tadi malam?.” Tanya sahabat Cheonsa yang mendapatkan gelengan pelan dari Cheonsa.
“Bagaimana bisa?.”
“Tentu saja bisa, jika pangeran mencintai putrinya dia harus berusaha mendapatkan maaf.”
“Ampun deh Sa, negeri khayalanmu terlalu besar untuk kau harapkan.”
Setelah mendapat tipuan dari sang putri yang mengaguminya. Raka tidak mau kehilangan perhatian dan pujian dari Cheonsa.
Setangkai bunga sederhana yang aku petik dari taman sekolah, membuat rona merah pipi sang putri terlihat. Aku melihat jelas Cheonsa tersenyum malu mendapatkan bunga yang sebenarnya tidak berharga itu dari Raka.
‘Alsabila, maafkan aku’ kalimat singkat yang diucapkan Raka membuat hati sang putri meluluh. Namun, Cheonsa tidak kehilangan akal untuk menutupi perasaan bahagianya. Sang putri hanya diam dan pergi meninggalkan pangeran di sudut ruang kelas.
Raka tidak menyerah sedikitpun dengan dorongan para prajurit dan semangat para dayang istana, ia mendekati sang Cheonsa sekali lagi.
“Alsabila, aku tau jika aku telah bersalah. Aku mohon maafkan aku, I wanna be your boyfriend.”
Cheonsa takut sang pangeran membuatnya sakit lagi. Tanpa sepatah kata yang diucapkan membuat seisi istana menjadi sunyi.
Kring...kring
Bel pulang berdering seluruh siswa berhambur pulang meninggalkan kesunyian yang baru saja terjadi. Aku tau jika Cheonsa tidak akan menjawab ‘iya’ namun dia juga tidak menjawab ‘tidak’.
Aku memahami perasaan bahagia yang Cheonsa rasakan. Hari itu senyumannya tak pernah padam, ia menggenggam erat tangkai bunga yang aku berikan sebelum pulang sekolah. Aku tau dia akan menerima bunga itu karena itu dari Raka, pangeran impiannya.
Hari berganti, masih tidak ada jawaban untuk sang pangeran. Aku dan Cheonsa semakin dekat karena dia sering menitipkan ribuan salam untuk Raka. Sampai tiba waktunya Cheonsa periang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Surat terakhir yang Cheonsa letakan di balik meja Raka, terlihat kusam tak berbentuk. Sobekan puisi cintanya mengiringi kepergian Raka dari hadapannya. Semakin jauh saja bola mata hitam yang sendu itu mencari keberadaan Raka. Aku melihat jelas cahaya matanya memancarkan harapan kosong untuk sang pangeran, tidak lagi ia mengalikan tatapannya ke arahku. Cheonsa tidak pernah lagi tersenyum ke arahku dan memberi banyak tugas untukku. Seperti, memintaku memberi salam pada Raka, menyuruhku membaca puisinya untuk Raka, membuat Raka tersenyum, menjadi penolong untuk Raka. Aku merindukan senyuman khas yang selalu ia tebarkan untuk Raka, aku merindukan wajah malunya saat Raka memberi harapan kepadanya.
Aku selalu memperhatikan wajah Cheonsa yang selalu ditutupi kabut hitam. Terlebih lagi saat sang pangeran impiannya menemui cinta yang lain. Cheonsa tetap terlihat tegar dan baik- baik saja. Tidak jarang aku melihat Cheonsa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya, sang Cheonsa yang aku kenal sebagai seorang yang ceria berusaha keras menyembunyikan air matanya. Rambut ikalnya yang panjang kini menutupi separuh raut wajah sederhananya yang kelam. Tidak pernah lagi aku melihat warna lain dari harinya yang suram. Cheonsa benar- benar terluka, cinta tulusnya menjadi pisau dalam takdirnya. Merenggut banyak harapan kosong yang semakin lama semakin memudar.
Aku dengar Cheonsa bertambah sakit. Cibiran orang tentang keluarganya membuat luka yang sudah ada bertambah besar. Pertengkaran Ayah dan Ibunya menjadi sorotan mata banyak orang untuk mengasihaninya. Sang Cheonsa tidak putus asa dengan takdir kelam yang memaksanya terus menangis. Terkadang hal sepeleh harus membawa Cheonsa tersenyum ceria.
Satu tahun lebih aku memaksa Raka untuk menemui Putri yang menghilang meninggalkan sekolah ini. Aku ingin Raka mengembalikan keceriaan Cheonsa, dia kakak kelas paling manis yang pernah aku kenal. Kata- katanya yang ramah membuatku benar- benar merasa kehilangan.
Sayangnya, sejak aku temui dia di istana yang berbeda. Wajah manisnya tidak padam dari bayanganku. Bangku SMA menemani kesunyian Cheonsa tanpa Raka, orang yang ditunggunya tidak datang menemuinya. Bahkan, sang pangeran malah memilih untuk pergi jauh tanpa meninggalkan jejak.
Sekarang, Cheonsa yang aku kenal bukan Cheonsa tiga tahun yang lalu. Senyumnya yang khas sangat sulit aku temui, saat aku menegurnya dia hanya tersenyum tanpa berkata apapun. Apakah Cheonsa lupa denganku? Seorang prajurit yang menjadi pengawal pangerannya dulu.
Ada satu yang ia sisakan untukku mengenalnya. Sepasang bola mata hitamnya yang sendu masih sering terlihat dari balik jendela kelasnya. Sang Cheonsa masih mencari bayangan pangerannya yang ternyata tidak akan pernah datang untuknya.
Gadis penuh harapan ini terlihat semakin lugu dari pada yang aku temui tiga tahun lalu. Aku merindukan suara memohon darinya agar aku menyampaikan ribuan salam untuk Raka. Walaupun aku tau dia bukan lagi Cheonsa yang dulu, sangat sulit untukku memanggilnya dengan nama Alsabila.
Alsabila terlalu asing untuk mengantikan Cheonsa di dalam pikiranku, gadis manis berambut ikal ini tidak akan pernah berubah di mataku. Walaupun dua nama itu di miliki oleh orang yang sama. Namun, Alsabila tetaplah Cheonsaku yang dulu. Tunggu.... ‘tetaplah Cheonsaku yang dulu’ bukan maksudku tetaplah Cheonsa Raka yang dulu.
Tidak ada orang yang memperhatikan Cheonsa lebih dalam dari pada aku. Gadis berkulit putih pucat ini membuat hariku penuh dengan rasa penasaran. Perubahan sikap saat aku temui dia di SMA sangat berbeda jauh saat pertama aku mengenalnya di SMP.
Rambut ikalnya yang biasa aku lihat tidak sepanjang dulu, terasa aneh jika aku membandingkannya dengan masa lalu. Bayanganku tentang Cheonsa mengarahkanku pada satu hal yang membuatnya sangat asing sekarang. Ketika aku melihatnya lebih dekat, senyuman, tawa, dan suaranya terasa begitu hambar tanpa makna.
Bukan Cheonsa yang aku kasihani karena terpuruk dalam jebakan kasih yang dalam. Namun, aku sangat merasa kasihan pada Raka yang akan kehilangan putri cantiknya ini. Aku ingin sekali marah kepada Cheonsa, harusnya sepasang bola mata hitam yang sendu waktu itu ia tujukan padaku, bukan Raka. Aku juga ingin mendapatkan puisi dan pujian darimu Cheonsa. Seperti kau memberikan semua itu pada Raka. Seharusnya akulah pangeran impianmu, yang akan menemani harimu yang ceria waktu itu.
Putri yang bercahaya telah redup. Tidak banyak pangeran yang akan meliriknya, mungkin karena raut wajahnya tidak seterang dulu. Gadis sederhana ini menutupi banyak rahasia, harapan dan cerita cintanya yang tidak kunjung usai. Hanya orang yang mencintainya dengan tulus yang bisa mengetahui penderitaan kelam yang ia rasakan saat ini, seperti aku contohnya.
‘Cheonsa, aku mau menjadi seorang dokter untukmu yang bisa mengobati banyak luka yang kau rasakan’
Sayangnya, aku tidak mempunyai banyak keberanian seperti laki-laki pada umumnya yang bisa dengan mudah menakhlukan hati banyak perempuan. Cheonsa, gadis yang memiliki rambut ikal ini membuatku jatuh hati. Semakin lama aku memperhatikannya semakin dalam rasa kasihku padanya.
Pangeran kedua mulai datang menyapa gadis sederhana ini. Seorang putri yang menunggu datangnya pangeran merasa kecewa karena pangeran kedua bukanlah orang yang di tunggunya. Ribuan kata cinta ia tolak dengan lembut, sebagai alasan sekolahnya lebih penting dari pada status Berpacaran.
Aku mulai takut untuk mendekati sang Cheonsa. Siapalah aku ini? Hanya sebagai seorang pengawal untuk pangerannya dulu. Aku tutupi rasa yang meluap- luap di hatiku dengan candaan yang sebenarnya menyakitiku.
“Alsa, Raka merindukanmu.”
“Gak mungkinlah.”
“Serius, kau masih menunggunyakan.”
Rona merah pipimu masih sama saat aku melihatnya pertama kali, waktu Raka memberimu setangkai bunga yang aku petik. Benarkan, Cheonsa masih merindukan pangeran pertamanya.
Sampai waktu yang aku tunggu tiba, Cheonsa mendekatiku dengan perasaan penuh dengan harapan. Aku ingat sekali, hari itu Cheonsa terlihat sangat lelah. Putri cantik itu membawa banyak sekali surat dan puisi yang tersusun rapih dalam sebuah kotak.
“Kamu bernama Arya kan?.”
“Apa kau tidak mengenaliku selama ini Alsa?.”
“Maaf Arya, aku terlalu takut untuk mengenali banyak orang.”
“Baiklah, ada apa kau menemuiku?.”
“Maaf Arya jika aku banyak merepotkanmu. Namun, aku sangat membutuhkan bantuanmu.”
“Ada apa?.”
“Aku ingin bertanya, apa kabar Raka sekarang?.”
Akhirnya, aku menemukan Cheonsa yang dulu. Cheonsa yang selalu bertanya tentang Raka padaku. Namun, hati kecilku terluka saat aku mendengar suaranya yang mulai habis.
“Raka?, kau masih menunggunya ya?, dia selalu baik- baik saja.”
“Syukurlah, sepertinya kau masih dekat ya dengan laki- laki itu.”
“Iya, hubungan kami masih seperti dulu.”
“Emm, Arya aku ingin minta tolong.”
“Tolong apa?.”
“Sampaikan ribuan salamku untuk Raka dan kutitip ini untuknya?.”
Oh lihatlah, wajah memohonnya kembali menatapku penuh harapan. Bagaimana aku bisa menolak permintaannya. Sungguh, aku merindukan Cheonsa yang ada di hadapanku sekarang.
“Banyak sekali kau membuat surat ini, pasti kau mengerjakannya semalaman.”
“Ga kok, aku membuat ini saat aku merindukannya saja.”
“Kau masih merindukan Raka.” Ucapanku membuat rona merah pipi Cheonsa terlihat jelas.
“Sudahlah jangan meledekku. Oh iya, aku mohon sekali lagi, tolong kasih suratnya satu-satu ya, jangan sekaligus.”
“Kenapa?.”
“Karena aku ingin surat itu menjadi teman untuk harinya tanpa aku.”
“Kau tidak ingin memberiku sesuatu agar menjadi teman untuk hariku tanpamu?.” Kata- kataku membuat Cheonsa tertawa kecil.
“Aku sudah memberimu tugas yang cukup sulit, itulah teman untuk harimu dariku.”
Oh tuhan, kata- kata semanis itu aku dengar secara langsung dari mulut putrinya Raka.
“Apa susahnya memberi surat itu kepada Raka.”
“Kamu lupa ya, Raka ga ada di sampingmu seperti dulu. Kau harus memberikannya lewat Emailmu, atau membacakannya lewat ponselmu.”
“Dan itu harus aku lakukan setiap hari.”
“Maafkan aku Arya, hanya kamu yang bisa mengabulkan harapan terakhirku ini.”
“Baiklah putrinya Raka, aku akan mengabulkannya. Jangan katakan ini sebagai harapan terakhir, aku masih mau mengabulkan harapanmu yang lain.”
“Benarkah!.”
“Iya, tapi jangan yang aneh- aneh ya.”
Setelah hari itu, Cheonsaku yang manis tidak terlihat lagi. Tunggu.... ‘Cheonsaku yang manis’ bukan maksudku Cheonsa Raka yang manis.
Tiga bulan telah berlalu, dimana Cheonsa sekarang? Puisinya telah habis aku bacakan untuk sang pangeran. Raka selalu menanyakan puisi cinta itu padaku, Rasanya ingin aku bunuh dia dengan tanganku sendiri. Kenapa dia menagih surat yang membuat perasaanku hancur itu kepadaku harusnya ia tanyakan langsung pada Cheonsa.
“Aku merindukannya Arya.” Kata- kata Raka membuatku merasa terbebani. Sungguh, aku juga sangat merindukan Cheonsa.
Hari ini aku mencari sosok Cheonsa. Tiga bulan aku kehilangan tawanya, senyumnya, dan suaranya. Mungkin aku telah terbiasa kehilangan semua itu. Namun, akhir- akhir ini aku sangat mengkhawatirkannya. Entahlah, rasanya seluruh pikiranku hanya tertujuh pada dirinya.
Dua hari yang lalu, aku mendapatkan sebuah alamat yang terlihat begitu bercahaya. Sungguh, mungkinkah aku akan melihat Cheonsa lagi? Mungkinkah aku akan disambut hangat oleh sang putri?.
Harapan singkatku membuat diriku jatuh ke dalam jurang tanpa udara. Nafasku begitu sesak untuk diriku bertahan hidup. Samar- samar aku baca tulisan yang mulai kusam di tengah karangan bunga itu. Air mataku rasanya tidak pantas untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Aku laki- laki terbodoh di dunia.
Bukan nama Cheonsa yang tertulis pada karangan bunga. Namun, itu nama Alsabila. Bagaimana aku bisa menerima fakta bahwa Cheonsa adalah Alsabila?. Raut wajah manis Cheonsa pada karangan bunga yang kusam itu membuktikan bahwa ia adalah Alsabila.
Aku terpaku di depan gerbang rumah sang putri. Tidak ada sambutan hangat dari Cheonsa untukku? Aku bahkan tidak dapat melihatnya lagi. Cheonsaku telah pergi jauh. Tunggu.... ‘Cheonsaku telah pergi jauh’ bukan maksudku Cheonsa Raka telah pergi jauh.
Aku memang tidak pernah pantas untuk memanggilnya Cheonsaku. Lihatlah, saat ini aku sangat menyedihkan. Walaupun aku mendapatkan sambutan ramah dari keluarga Cheonsa, aku tetap tidak dapat merasakan hidupku saat ini. Aku bagai raga tidak bernyawa. Kepada siapa aku harus marah? Siapa yang akan bertanggung jawab atas semua yang terjadi?.
Cheonsa yang malang. Bukan... bukan Cheonsa yang malang, tapi aku. Aku yang malang. Karangan bunga itu telah sukses membuatku begitu tak berdaya. Karangan bunga itu menyambutku dengan tersenyum ramah. Karangan bunga itu memberiku pesan bahwa Cheonsa yang aku harapkan telah tiada. Cheonsa yang sebenarnya aku cintai telah tiada.
Aku tidak tau pasti kapan aku mulai mencintainya. Namun, aku selalu merindukan sepasang bola mata hitam yang sendu itu. Walaupun tatapan Cheonsa tidak ke arahku. Aku tetap menyukainya. Seperti itukah yang Cheonsa rasakan selama ini?. Walaupun Raka tidak pernah melihat ke arahnya. Cheonsa tetap mencintainya.
Andai saja dulu aku mengatakan perasaan ini kepadanya. Apakah Cheonsa akan tetap mencintai Raka?. Tubuhku membeku di depan rumah Cheonsa. Memikirkan hal- hal yang harusnya tidak aku pikirkan.
‘Cheonsa telah tiada’. Aku tidak bisa melihat gadis sedehana penuh harap ini lagi, aku kehilangan rambut ikal yang biasa menutupi wajah cantiknya. Aku belajar banyak hal darimu Cheonsa. Harapanmu menjadikanmu seseorang yang istimewa untukku. Kesetianmu menjadi penjaga hatiku untuk tetap menunggumu.
Kau tau Cheonsa, menjadi orang yang setia membuatmu tampak seperti malaikat untuk orang yang kau cintai. Kau adalah seorang malaikat untuk Raka.
Ruangan yang aku dapati sekarang sangat bersih dan wangi. Aku melihat banyak sekali cahaya pada dinding- dinding putih kamar Cheonsa. Foto yang ia letakan di meja kamarnya membuatku terpaku. Apakah itu adalah aku? Kapan Cheonsa mengambil foto itu? Foto aku bersama Raka. Mading yang Cheonsa tempelkan pada sudut ruangan ini membuat air mataku menetes.
‘Tuhan, jika aku pergi nanti tolong jaga Raka dan Arya untukku’
‘Ibu jangan salahkan siapapun! Aku sungguh mencintainya’
‘hatiku mulai melemah Angel, aku merindukanmu’
‘Arya, terima kasih untuk semuanya’
‘my Angel is Raka, Apa kabar Raka?’
Cheonsa tidak melupakanku, dia selalu mengingatku. Aku memang tidak pantas untuk menjadi pangeranmu Cheonsa. Kau terlalu sempurna untuk menjadi putri bagiku. Raka benar- benar beruntung telah mendapatkan cinta darimu. Mengapa kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku?.
Cukup lama aku berada di ruang kamar Cheonsa, sangat sulit untukku menerima kenyataan bahwa Cheonsa benar- benar pergi jauh. Gadis berambut ikal ini telah pergi meninggalkan aku dan pangerannya Raka.
“Terima kasih Bu, telah mengizinkan saya melihat kamar Alsa. Saya akan pulang sekarang, karena hari sudah larut.” Ucapku kepada Ibu Cheonsa.
“Terima kasih kembali nak Arya. Alsa selalu menceritakanmu, ini ada sebuah surat yang ia titipkan. Alsa memberikan ini sebelum dia melakukan operasi liver.”
21 Juli 2016
08:01
Dear Angel
Apa kabar Angel? Aku merindukanmu. Angel, kamu jangan mengkhawatirkan aku. Karena, sahabatmu sangat baik kepadaku. Kamu orang yang sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya, aku juga beruntung bisa dekat dengannya. Angel jangan cemburu kepada Arya, dia adalah orang yang baik. Dia sangat menghormati persahabatan kalian. Aku tidak bisa mencintainya karena dia terlalu sempurna untukku. Maaf Angel aku lebih memilih terus mencintaimu dari pada mencoba mencintai Arya. Aku takut perasaanku kepada dirimu membuat Arya sakit.
Angel, puluhan puisiku telah kau dengar dari suara lembut milik Arya. Aku harap kau tidak akan melupakan semua pujian itu. Hanya aku yang bisa membuatkan itu untukmu. Benarkan!, dan hanya Arya yang bisa aku pinta untuk membacakannya.
Angel, kau terlalu jauh untuk menjadi tempat curahan hatiku. Akhir- akhir ini perutku terasa sangat sakit sekali, bila aku tatap diriku pada sebuah kaca aku semakin terlihat pucat dan aku selalu mengalami rasa mual. Aku terlalu lemah untuk menahan rasa sakit ini, aku selalu jatuh pingsan saat di sekolah. Andai saja kau bisa menangkapku.
Harapan kosongku tentang dirimu membuatku selalu ingin sembuh. Namun, kenyataan yang aku terima tidak pernah membuat hidupku terasa manis. Panyakit ini sangat menjengkelkan. Jika aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padamu dan Arya. Aku sungguh minta maaf.
Katakan terima kasih untuk Arya dariku. Aku sangat mencintaimu Raka dan aku sangat berterima kasih pada Arya. Kalian berdua adalah kenangan indah yang bisa aku bawa ke alam yang lain. Semoga kita bisa bertemu lagi..
Raka menyesali semua yang baru saja dia lewatkan selama lima tahun terakhir. Putrinya tidak akan lagi menitipkan puisi cinta kepadaku. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak mengetahui penyakitnya. Cheonsa sangat pintar menyimpan rahasia dan membuat semua orang yakin bahwa dia baik- baik saja.
Cheonsa, kau adalah gadis sederhana yang penuh dengan harapan. Aku belajar banyak hal dari kesetiaanmu kepada Raka. Terima kasih telah hadir diantara aku dan Raka.
‘Cheonsa aku mencintaimu’
tamat*
Author : Srr1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H