Kring...kring
Bel pulang berdering seluruh siswa berhambur pulang meninggalkan kesunyian yang baru saja terjadi. Aku tau jika Cheonsa tidak akan menjawab ‘iya’ namun dia juga tidak menjawab ‘tidak’.
Â
Aku memahami perasaan bahagia yang Cheonsa rasakan. Hari itu senyumannya tak pernah padam, ia menggenggam erat tangkai bunga yang aku berikan sebelum pulang sekolah. Aku tau dia akan menerima bunga itu karena itu dari Raka, pangeran impiannya.
Â
Hari berganti, masih tidak ada jawaban untuk sang pangeran. Aku dan Cheonsa semakin dekat karena dia sering menitipkan ribuan salam untuk Raka. Sampai tiba waktunya Cheonsa periang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Â
Surat terakhir yang Cheonsa letakan di balik meja Raka, terlihat kusam tak berbentuk. Sobekan puisi cintanya mengiringi kepergian Raka dari hadapannya. Semakin jauh saja bola mata hitam yang sendu itu mencari keberadaan Raka. Aku melihat jelas cahaya matanya memancarkan harapan kosong untuk sang pangeran, tidak lagi ia mengalikan tatapannya ke arahku. Cheonsa tidak pernah lagi tersenyum ke arahku dan memberi banyak tugas untukku. Seperti, memintaku memberi salam pada Raka, menyuruhku membaca puisinya untuk Raka, membuat Raka tersenyum, menjadi penolong untuk Raka. Aku merindukan senyuman khas yang selalu ia tebarkan untuk Raka, aku merindukan wajah malunya saat Raka memberi harapan kepadanya.
Â
Aku selalu memperhatikan wajah Cheonsa yang selalu ditutupi kabut hitam. Terlebih lagi saat sang pangeran impiannya menemui cinta yang lain. Cheonsa tetap terlihat tegar dan baik- baik saja. Tidak jarang aku melihat Cheonsa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya, sang Cheonsa yang aku kenal sebagai seorang yang ceria berusaha keras menyembunyikan air matanya. Rambut ikalnya yang panjang kini menutupi separuh raut wajah sederhananya yang kelam. Tidak pernah lagi aku melihat warna lain dari harinya yang suram. Cheonsa benar- benar terluka, cinta tulusnya menjadi pisau dalam takdirnya. Merenggut banyak harapan kosong yang semakin lama semakin memudar.
Aku dengar Cheonsa bertambah sakit. Cibiran orang tentang keluarganya membuat luka yang sudah ada bertambah besar. Pertengkaran Ayah dan Ibunya menjadi sorotan mata banyak orang untuk mengasihaninya. Sang Cheonsa tidak putus asa dengan takdir kelam yang memaksanya terus menangis. Terkadang hal sepeleh harus membawa Cheonsa tersenyum ceria.