Perjalanan kami berakhir di Babakan Siliwangi, hutan kota yang menjadi paru-paru Bandung.Â
Di tengah teduhnya pepohonan, kami melangkah perlahan. Suasana cukup ramai, banyak pengunjung.
Namun ada tempat dimana masih terdengar suara burung bercampur dengan gemerisik daun menciptakan simfoni alam yang menenangkan, seperti alunan "Silent Night" dalam versi yang berbeda.
Hutan kota ini adalah sebuah ruang perenungan. Menurut cerita warga, tempat ini dulunya adalah wilayah sakral yang dihuni oleh penjaga alam.Kini, meskipun menjadi ruang publik, mitos itu tetap hidup. Menciptakan rasa hormat terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Di Babakan Siliwangi, rasa nyeri di lutut saya kembali menyapa. Perjalanan ke Curug Dago yang menuruni jalur berbatu menjadi pemicunya. Nyeri ini adalah pengingat bahwa tubuh memiliki batas.
Namun, di sisi lain, ia juga adalah tanda dari perjalanan yang berhasil kami lewati. Sebuah perjalanan yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga mendekatkan kami pada alam dan diri sendiri.
Ketika kami akhirnya keluar dari hutan kota, langit Bandung mulai mendung. Setiap langkah yang kami lalui terasa seperti fragmen dari sebuah cerita besar.
Cerita tentang harmoni, tentang keterhubungan, persahabatan dan tentang melampaui batas diri. Lutut saya pasti sembuh, dan ingatan akan perjalanan ini akan tetap abadi.
"Ikutilah ritme alam, rahasianya adalah kesabaran." -- Ralph Waldo Emerson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H