Perjalanan dari Terminal Dago ke Babakan Siliwangi
Di sebuah pagi dingin di Bandung, aroma liburan mengudara---Hari Natal, hari penuh kehangatan, doa, dan harapan.
Dari Terminal Dago, kami memulai langkah-langkah kecil, menyusuri jejak-jejak alam yang penuh makna.
Perjalanan ini, meski sederhana, adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada kehidupan, perjalanan santai sebagai rekreasi sekaligus menghidupkan jiwa melalui olahraga kardio.
Terminal Dago ke Curug Dago: Napak TilasÂ
Langkah pertama membawa kami menuruni jalur yang mengarah ke Curug Dago, sebuah air terjun kecil yang banyak menyimpan cerita.Â
Jalan setapak menurun tajam, dan lutut saya, mulai merasakan tekanan yang perlahan menguji. Namun, itu saya abaikan, setiap langkah terasa lebih bermakna.
Suara gemericik air mulai terdengar, memecah keheningan pagi.
Curug Dago adalah curug kecil dibandingkan dengan air terjun lainnya di Jawa Barat. Memiliki nuansa sakral tersendiri.
Di tengah hutan kecil, air yang mengalir seolah berbisik tentang kedamaian dan pertemuan.
Tidak hanya menyimpan keindahan, tempat ini juga menyimpan sejarah---prasasti batu bertuliskan aksara Thai menjadi saksi kehadiran Raja Chulalongkorn dari Thailand pada akhir abad ke-19.
Seperti Natal yang merayakan kasih, prasasti ini mengingatkan bahwa pertemuan budaya adalah harmoni yang patut dirayakan.
Namun, perjalanan ke dasar Curug Dago menuntut "kaki yang utuh". Anak tangga yang terlalu tinggi, licin dan curam memberikan tantangan fisik yang nyata. Lutut saya mulai terasa berdenyut,tetapi semangat itu memulihkan---memberikan energi untuk terus melangkah.
Melintasi Kampung Padi Dago, Pesantren dan Kampung Tjibarani
Dari Curug Dago, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Tjibarani, melewati Kampung Padi Dago.
Udara di sini masih terasa segar, seperti doa-doa pagi yang memenuhi ruang-ruang langit.
Di Hari Natal ini, kampung kecil ini memberikan kesan.
Anak-anak bersenda gurau, bermain sepeda sambil tertawa ceria, anak-anak berlarian di antara pekarangan rumah, tertawa riang tanpa gadget di tangan mereka. Sebuah perayaan harmoni antara manusia dan alam.
Jalanan yang lengang, bersih dan dipenuhi dengan pohon-pohon hijau yang tertata rapi bergoyang lembut ditiup angin, menari seperti kidung pujian di gereja.
Perjalanan kami berlanjut, melewati perkampungan kecil.
Di sini, ayam dan bebek bebas berkeliaran di halaman rumah, sesekali melintas di jalanan yang kami lalui.
Pohon-pohon bambu berbaris di kiri dan kanan jalan, menciptakan suasana yang teduh.
Angin yang bertiup melewati rumpun bambu menghasilkan suara yang ritmis, seperti irama sebuah kidung yang menenangkan kami
Setelah melewati perkampungan, kami melewati sebuah pesantren besar yang berdiri di pinggir sungai.
Kompleks bangunan yang megah, namun tetap sederhana, tampak menyatu dengan lingkungannya.
Kami berhenti sejenak di sini, mengagumi tempat ini yang begitu tenang.
Beberapa santri terlihat sibuk mencuci pakaian di tepi sungai, sementara yang lain duduk-duduk di pinggir sungai sambil membaca kitab.
Suasana ini mengajarkan kami tentang dedikasi, dan ketekunan.
Kemudian kami melewati Kampung Tjibarani, sebuah perkampungan yang begitu alami. Menjadi oasis kecil di tengah hiruk-pikuk kota Bandung.
Kampung ini dikenal sebagai kampung bebas sampah---sesuatu yang langka dan menginspirasi di tengah urbanisasi yang tak selalu ramah lingkungan.
Udara di sini terasa masih bersih, jalan-jalan kecilnya tertata rapi, penuh dengan tanaman hijau dan bunga-bunga berwarna cerah.
Di sela langkah kami, kupu-kupu dengan sayap warna-warni berterbangan, sementara capung merah cerah melayang di atas genangan kecil air yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Suasana ini menciptakan perasaan damai yang sulit dilupakan, seolah-olah kampung ini adalah ruang waktu yang terjaga, di mana manusia dan alam hidup dalam harmoni.
Di sini, kami merasa sejenak terlepas dari dunia luar, meresapi keindahan yang lahir dari kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Makan Siang di Dalaraos
Tepat jam makan siang, sekitar jam 11.30 kami tiba di Dalaraos, sebuah tempat makan sederhana yang dikonsep seperti keluarga yang berkumpul di meja makan.
Makanan di sini bervariasi. Dari mulai Nasi Putih, Merah dan Nasi liwet hangat dengan banyak pilihan lauk, macam-macam sambal, bermacam sayuran dan lalapan segar tersaji. Tinggal pilih.
Di Dalaraos, kami diberi kejutan yang menyenangkan. Bertemu seorang teman lama, Ibu Siti Kulsum, yang kini menjadi seorang guru di salah satu sekolah di Kota Bandung.Dengan senyumnya yang hangat dan suara yang lembut, ia duduk bersama keluarga kecilnya, menikmati makan siang yang serupa dengan kami.
Pertemuan ini terasa istimewa, seolah-olah Dalaraos adalah titik temu yang dirancang semesta di tengah perjalanan kami.
Ibu Siti baru saja pulang dari Hutan Kota Babakan Siliwangi, tempat yang menjadi tujuan akhir perjalanan kami.
Ia mengisahkan bagaimana ia dan anak-anaknya menikmati keteduhan hutan, mendengarkan gemerisik daun, dan mengamati burung-burung kecil yang melintas di kanopi pepohonan.
"Hutan itu seperti ruang belajar lain bagi anak-anak," katanya dengan mata berbinar.
Hutan Kota Babakan Siliwangi
Perjalanan kami berakhir di Babakan Siliwangi, hutan kota yang menjadi paru-paru Bandung.Â
Di tengah teduhnya pepohonan, kami melangkah perlahan. Suasana cukup ramai, banyak pengunjung.
Namun ada tempat dimana masih terdengar suara burung bercampur dengan gemerisik daun menciptakan simfoni alam yang menenangkan, seperti alunan "Silent Night" dalam versi yang berbeda.
Hutan kota ini adalah sebuah ruang perenungan. Menurut cerita warga, tempat ini dulunya adalah wilayah sakral yang dihuni oleh penjaga alam.Kini, meskipun menjadi ruang publik, mitos itu tetap hidup. Menciptakan rasa hormat terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Di Babakan Siliwangi, rasa nyeri di lutut saya kembali menyapa. Perjalanan ke Curug Dago yang menuruni jalur berbatu menjadi pemicunya. Nyeri ini adalah pengingat bahwa tubuh memiliki batas.
Namun, di sisi lain, ia juga adalah tanda dari perjalanan yang berhasil kami lewati. Sebuah perjalanan yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga mendekatkan kami pada alam dan diri sendiri.
Ketika kami akhirnya keluar dari hutan kota, langit Bandung mulai mendung. Setiap langkah yang kami lalui terasa seperti fragmen dari sebuah cerita besar.
Cerita tentang harmoni, tentang keterhubungan, persahabatan dan tentang melampaui batas diri. Lutut saya pasti sembuh, dan ingatan akan perjalanan ini akan tetap abadi.
"Ikutilah ritme alam, rahasianya adalah kesabaran." -- Ralph Waldo Emerson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H