Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puspa Nista

26 Juni 2024   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   09:04 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harum kembang ternyata bisa menuai rasa gundah yang tak terbantahkan. Seperti malam ini, wangi Kamboja dari pohon di pinggir jalan membuatku sedih. Aku menangis,  perasaanku begitu jauh menoreh kekentalan cinta lama yang harus dipisahkan. Atas nama kedudukan, rasa penghormatan atau status sosial. 

Air mata mengalir memenuhi alas pandang di setiap malam tiba. Perasaanku mewirid sepi di gemuruh bathin, menguak pada kekasihku yang hilang. Tamparan demi tamparan tak menggoyahkan aku yang merindu pada anak yang kucintai. Orang tuaku selalu menghinanya dengan ludah hinaan. 

Mereka seperti ingin menghapus perasaan cintaku. Aku mengatakan," Tidak" ! .  Aku tidak akan tergoyahkan jika perasaan itu harus dipenggal. Aku percaya pada diriku sendiri.  Tak mungkin melepaskan kekasih hati dalam perasaan ini. Keluargaku menganggap bahwa kekasihku adalah keturunan rendah dan kotor. 

Tidak pantas berada di dalam keluarga berdarah biru. Namun anggapan itu kubantah, dengan  mata  berkaca-kaca.  Aku diusir, ditendang melewati pintu kehormatan keluarga. Aku berjalan dengan  sebongkah perasaan cinta yang mendalam. Menelusuri trotoar, mencari kekasihku yang sudah lama pergi. 

Tidak malam ataupun siang. Debu-debu jalanan lekat menjadi teman keseharian. Dan perutku perlahan terus membesar.Berpuluh hari berpuluh malam, bahkan bulan tak kutemukan kau, kekasih hatiku.  Perasaanku terus bergemuruh.  Di hati ini hanya engkau yang terpatri dalam hidupku. 

Aku terus berjalan dan berjalan.  Kakiku menumpukan jejak di kesunyian pencarian. Perlahan aku menunduk di sudut persimpangan, menangis, sepi!.  Perasaanku gundah tak menemukan yang kucari. Air mataku perlahan menetes, menetesi  setiap sudut-sudut luka. Sesungguhnya siapa yang menjadi pendosa, sehingga aku harus menembus batas-batas kesunyian, bersama degup hidup anakku?. 

Perut ini menunjukan secercah cahaya, pewaris cinta kasihku. Berpuluh persimpangan juga trotoar-trotoar kulakoni gundah hidup ini,  dengan ribuan tetes air mata. Tak satupun diantara orang-orang di tepi itu menyapa, malah mereka kadang meludah dihadapanku. 

Aku dianggap kotor dan dianggap orang gila. Bahkan perutku yang bunting ini dianggap karena disetubuhi orang-orang iseng. Sakit memang!.  Tapi perasaanku telah  membatu dibekukan sunyi. Ketika pagi, siang ataupun malam.

Karena keterpaksaan untuk mempertahankan hidup, aku menari di depan setiap toko, di persimpangan lampu-lampu merah, di kerumunan orang-orang. 

Badan berlenggang-lengggok juga menebar senyuman.  Aku bernyanyi semampuku. Uang-uang recehan menghambur begitu saja. Kadang ada juga yang iba memberiku uang untuk makan. Perlahan demi perlahan kukumpulkan uang-uang sisa makan, dan  perutku semakin besar. Aku berusaha untuk mencari rumah perlindungan. Harga  kamar kosan  membuatku harus bekerja keras membanting tulang. 

Tetapi paling tidak sekarang aku sudah bertempat walau di sudut kampung kumuh. Tidak terbayang hidupku akan seperti ini. Kebiasaan hidup yang mewah, karena rasa cinta, berganti menjadi terlunta-lunta. Namun itu tidak jadi penyesalan. Gairah hidupku mewujud untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Tak peduli tamparan sosial yang kejam, aku menikmatinya kini.

Perjalanan ku cukup jauh dan panjang. Akhirnya aku melahirkan anak dari kekasihku, yang entah dimana kini. Cukup banyak teman-temanku di jalanan membantu, mereka sangat bertenggang rasa atas proses hidupku yang rumit dan pedih. Bayi yang mungil itu menangis di kebisingan kehidupan yang pongah. 

Namun aku tetap masih mencari kekasih hati, karena kini telah terwujud  benih dari cinta kasihnya. Memang begitu sulit dan berat karena kepergiannya. Tapi rasa cintanya itu masih membekas,  bertapak. Bahkan anaknya kini berada dalam pelukanku. Aku kan terus berjalan di sepanjang gulita kegelapan.

Tapi rupanya kita tidak perlu menuntut nasib, sebab pengadilannya ada dalam diri kita. Aku yakin ini adalah proses hidupku yang berliku. Kenangan kusimpan kini erat-erat dalam bathin, dan aku bekerja untuk kehidupan anakku. Tampaknya tidak pantas sesuatu yang bisa dikerjakan laki-laki, kini kukerjakan dengan seribu langkah. Aku  kemudian bekerja mengeluarkan keringat yang bercampur debu jalanan. Berteriak sana-sini mencari penumpang. Karena menjadi seorang kondektur harus gesit  dan tangkas.

Perjalanan bus antar kota itu membuat anakku terlatih untuk lebih kuat dibandingkan anak-anak seusianya. Sering aku bekerja sambil menggendong anak.  Kadang aku dudukan anakku dikursi yang sudah menjadi tempatnya di samping sopir. Sesekali kutitip pada tetangga, atau juga teman lama di jalanan. Memang agak repot, namun apa daya ini kenyataan yang harus kuhadapi.

Disuatu saat, tepat pada bulan Juli. Aku seperti melihat kekasihku  berjalan di pinggir terminal. Kukejar dan ternyata benar. Namun cerita pilu kembali menumbuk pedih dirasa. Orang yang kucari-cari selama ini, ternyata sudah hidup  bersama yang lain, membangun mahligai rumah tangga. 

Dia sudah punya anak, usianya hampir sama dengan anak dariku. Aku tidak bisa cerita apa-apa lagi. Kepedihan yang bertahun-tahun kupendam dalam harap sunyi, kini kembali menyayat hati. Kupeluk  anakku dan air mata menetes kembali "Apa sesungguhnya yang terjadi dengan  perasaan ini"? pertanyaan itu mengulang dalam wirid sunyiku

Dengan kepedihan yang dalam kubangun kehidupan; menumbuh besarkan anak, bekerja keras, berkonsentrasi pada kerjaan. Tidak mungkin aku harus hidup dijalanan seperti ini terus-menerus. Kemudian Aku berusaha membangun usaha dengan modal pas-pasan, tapi kurajut dengan erat-erat kuat, anakku ikut membantu. Dia kini sudah besar.

Pada saat jeda dari pekerjaan aku sering teringat dengan kekasihku itu, Ayah dari anakku. Terbayang senyuman dan candanya. Membantu untuk mewarnai desain batik. Tangannya yang terampil membangun jiwaku bersemangat menggambar.

Keterampilan menggambar batik itu, membuat aku terinspirasi untuk membuka usaha batik. Masih terbayangkan juga usaha dan kerja kerasnya saat dia bekerja di rumah orang tuaku dulu. Hal itulah yang membuatku ingin berubah. Perlahan-lahan ku rintis usaha batik dengan berbagai upaya dan kesabaran.  

Seperti proses membuat batik meliuk-liukan tangan di kain dengan canting yang sesekali di tiup untuk memunculkan membran warna. Memang setiap usaha belum tentu secepat yang diharap.  Tetapi keteguhan jiwa harus seperti tugu yang tak terpagut. Aku terus merajutnya Tanpa henti. 

Siang malam kuarungi dengan kegigihan, dan dengan sendirinya anakku mengikuti, mempelajari apa yang kukerjakan. Bertumbuh besar dia, cantik dan pintar. Aku merasa bangga, di wajahnya terlihat raut kekasih hati yang melekat.  Walau kehidupan dengannya begitu berliku.  Dulu kami mengikrarkan tali kasih yang terpendam, dengan sembunyi-sembunyi. Sebab orang tuaku menganggap dia pembantu.  Jadi dia pergi karena sangat merasa terhina dengan cacian dari orangtuaku.

Aku dan anakku bekerja mengejar waktu.  Tarian lembut tanganku meliuk dengan getaran cinta ditepi kain-kain, menata keindahan motif batik yang digandrungi orang-orang. Aku hampir tidak percaya dengan kemampuanku, ada getaran-getaran dan bisikan gaib terus mengalir dalam jari jemariku untuk terus melukis di atas kain batik itu. 

Angin pun tak segan-segan tertiup tipis di wajahku. Dan terbayang kembali tangan kanannya memegang tangan kananku, lalu aku mengikuti gerakan-gerakannya merambah belantara gambar-gambar, mencipta batik nan indah.

Tidak ada siapa-siapa lagi selain dia, anakku dan Aku. Aku tak peduli dia merajut hidupnya dengan yang lain, namun aku percaya dihatinya masih melekat antara aku dan dia. Dan itu kuasa. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri, seandainya dia tiba kembali, cinta bersemi dalam hatiku.  Aku akan menyebutnya  "Ada cinta didadanya".

"Oh...aku merasa waktu tidak merubah apa-apa". Aku bergelut dalam hidup karena cinta. Aku tidak merasa dibohongi oleh perasaanku sendiri.  jika memang dia pergi bukan berarti kita harus ingkar diri menutup pintu dari pintu pertama yang dia buka. Aku bergeliat tubuh dengannya tak lain karenakedalaman cintaku. Hingga sekarang tumbuh menjadi buah hidupku.

Kembang-kembang dijalanan menumbuhkan semangat dalam irama putaran waktu yang berulang. Matahari dan rembulan menyapa bumi setiap kali aku berpijak dan menggetarkan perasaan yang kuat tentang "Makna Cinta". Disetiap langkah anakku, berjalan pula langkah kekasihku.

Waktu memang terus menyurut, menumbuk usia semakin larut. Namun cintaku membawa hidup walau berada ditempat-tempat sunyi. Aku terus menyulam kehidupan, karena semangatnya. Namun tangan-tangan terampil anakku, menggantikan kehangatan dalam jiwa ini. Setiap malam aku bekerja, pagi tiba aku kejalanan mencari uang-uang tambahan. Memang tidak mudah menggapai langit  cerah. Aku harus mengucurkan keringat diantara patahan-patahan langkahku.  

Di antara tangan-tanganku menggapai harap. Dari  perjalanan yang panjang ini, tak terasa anakku tumbuh besar nan cantik, terwariskan semangatku didadanya. Langkahnya seperti ayahnya saat memburuku dimalam persembunyian dulu. Begitupun tangannya yang terampil.

Langit itu kembali cerah, sinar matahari menembus disela-sela dinding dan ventilasi, orang-orang sibuk lalu lalang. Tampak wajah-wajah begitu tegang dan rusuh, seperti halnya aku dan anakku, mengempit kantong-kantong besar. Dadaku merasa sesak karena berat  kantong yang kubawa. Hal itu kulakukan setelah beralih usaha. 

Aku tidak lagi menjadi kondektur yang setiap hari bepergian jauh, sekarang cukup keliling dipasar-pasar atau terminal menjajakan kain-kain batik. Begitupun dengan anakku, kami kadang berpencar.

Kakiku terasa begitu kasar, bercak-bercak bekas luka ditumit terlihat begitu kontras dengan sandal. Debu jalanan dan suara orang-orang menawarkan barang dagangan. Hari itu cukup mengganggu kepalaku, kepalaku sangat sakit! Pusing. Mungkin karena hampir beberapa malam, tidak cukup baik untuk tidur.

Aku duduk sejenak disudut terminal.  Teman-temanku menyapa begitu saja, badanku berkeringat dingin, rasanya ada yang tidak enak dirasa, tubuhku bergetaran. Anakku bertanya:

"Kenapa bu ?"

"Tidak tau nih! ko badan ibu lemas banget, dan kepala pusing!"

"Kita pulang aja, dan ibu bisa istirahat!"

"Tapi dagangan belum habis, gimana?"

"Besok lusa, kita masih jualan, ko bu!"

"Ya...udah kalau begitu!"

Kepalaku memang hampir tidak bisa dikontrol, dan dunia terasa berputar.  Dan tidak ada wajah yang terselesaikan, mereka hancur, tak terbentuk.  Dan dunia mulai gelap. Aku hampir ambruk, namun penyangga begitu kuat menahan tubuhku. Tangan anakku yang kuat memeluk pundakku. 

Sejenak aku menyandar di tembok, lalu duduk perlahan. Anakku tampak panik, dia menatapku begitu resah, dan melirik kesana kemari mencari pertolongan. Namun tak seorangpun yang peduli. Hari itu memang benar-benar panas menyengat.  Tidak hanya udara, namun tubuhku juga panas. 

Perlahan mataku terpejam, merasakan sakit kepala. Aku berusaha tidak panik pada rasa sakit itu, dan kucoba menikmatinya. Pelan-pelan mata kubuka, langit yang gelap perlahan bercahaya dan tampak biru pucat. Sementara disampingku, anakku masih menatap dengan resah. 

Namun yang membuat aku terkejut ada seorang perempuan tua berdiri disamping anakku, dia menatap begitu tajam.  Kulitnya yang putih terlihat kontras dengan suasana trotoar yang lusuh dan berdebu. Terdengar suara dari mulutnya.  Perlahan tapi membuatku berdebar hingga rasa sakit kepala hilang begitu saja.

"Anakku, sedang apa kau disini?" Sudah lama kami sekeluarga mencarimu. Tampak mata perempuan tua itu berkaca-kaca, dan tangannya bergetar meraba pundakku. Perasaanku bergemuruh laksana air terjun di tepi sungai. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanyalah air mata. Tak tertahankan jatuh perlahan.

"Ibu!....Maafkan aku!"

"Ibu juga nak! Kata ibuku sambil mengangkat pundakku, dan dipeluknya aku. Orang-orang dijalan melirik tapi tak satu orang pun yang menegur kami. Sementara anakku cuma bengong melihat peristiwa itu. Ibuku meliriknya dan berkata.

"Ini anakmu?"

"Ya bu,"

"oh cucuku, sudah besar!" lalu  dia memeluk anakku. Anakku sungkem sambil  mencium tangan ibuku.

"Aku sudah dengar, dari banyak orang, bahwa kamu sekarang jualan batik.  Kami sekeluarga, sangat menyesal atas tindakan kami, hingga kamu dan anakmu terlunta-lunta seperti ini! Namun ibu bangga rupanya kamu lebih tegar pada pilihan hidupmu! Karena itu ibu dan bapakmu memutuskan untuk menyerahkan perusahaan batik di rumah untuk kamu kelola Nak, dan kamu pasti akan lebih baik mengurusnya!"

Entah apa yang terjadi, hari itu memang tidak seperti hari-hari lainnya. Ternyata doa dan kerja keras kami tidak sia-sia.  Perasaan terharu dan bangga pada kenyataan yang ada dengan kuterima sebagai proses hidup yang kunikmati.

Tidak ada  pilihan lain,  tawaran keluargaku kuterima dengan lapang dada. Tetapi yang membuatku untuk beranjak dari jalanan itu bukan karena aku mengambil keuntungan dan memanfaatkan tawaran keluarga begitu saja. Aku merasa sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjalani hidup yang berliku ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun