"Ibu!....Maafkan aku!"
"Ibu juga nak! Kata ibuku sambil mengangkat pundakku, dan dipeluknya aku. Orang-orang dijalan melirik tapi tak satu orang pun yang menegur kami. Sementara anakku cuma bengong melihat peristiwa itu. Ibuku meliriknya dan berkata.
"Ini anakmu?"
"Ya bu,"
"oh cucuku, sudah besar!" lalu  dia memeluk anakku. Anakku sungkem sambil  mencium tangan ibuku.
"Aku sudah dengar, dari banyak orang, bahwa kamu sekarang jualan batik. Â Kami sekeluarga, sangat menyesal atas tindakan kami, hingga kamu dan anakmu terlunta-lunta seperti ini! Namun ibu bangga rupanya kamu lebih tegar pada pilihan hidupmu! Karena itu ibu dan bapakmu memutuskan untuk menyerahkan perusahaan batik di rumah untuk kamu kelola Nak, dan kamu pasti akan lebih baik mengurusnya!"
Entah apa yang terjadi, hari itu memang tidak seperti hari-hari lainnya. Ternyata doa dan kerja keras kami tidak sia-sia. Â Perasaan terharu dan bangga pada kenyataan yang ada dengan kuterima sebagai proses hidup yang kunikmati.
Tidak ada  pilihan lain,  tawaran keluargaku kuterima dengan lapang dada. Tetapi yang membuatku untuk beranjak dari jalanan itu bukan karena aku mengambil keuntungan dan memanfaatkan tawaran keluarga begitu saja. Aku merasa sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjalani hidup yang berliku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H