Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puspa Nista

26 Juni 2024   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   09:04 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan ku cukup jauh dan panjang. Akhirnya aku melahirkan anak dari kekasihku, yang entah dimana kini. Cukup banyak teman-temanku di jalanan membantu, mereka sangat bertenggang rasa atas proses hidupku yang rumit dan pedih. Bayi yang mungil itu menangis di kebisingan kehidupan yang pongah. 

Namun aku tetap masih mencari kekasih hati, karena kini telah terwujud  benih dari cinta kasihnya. Memang begitu sulit dan berat karena kepergiannya. Tapi rasa cintanya itu masih membekas,  bertapak. Bahkan anaknya kini berada dalam pelukanku. Aku kan terus berjalan di sepanjang gulita kegelapan.

Tapi rupanya kita tidak perlu menuntut nasib, sebab pengadilannya ada dalam diri kita. Aku yakin ini adalah proses hidupku yang berliku. Kenangan kusimpan kini erat-erat dalam bathin, dan aku bekerja untuk kehidupan anakku. Tampaknya tidak pantas sesuatu yang bisa dikerjakan laki-laki, kini kukerjakan dengan seribu langkah. Aku  kemudian bekerja mengeluarkan keringat yang bercampur debu jalanan. Berteriak sana-sini mencari penumpang. Karena menjadi seorang kondektur harus gesit  dan tangkas.

Perjalanan bus antar kota itu membuat anakku terlatih untuk lebih kuat dibandingkan anak-anak seusianya. Sering aku bekerja sambil menggendong anak.  Kadang aku dudukan anakku dikursi yang sudah menjadi tempatnya di samping sopir. Sesekali kutitip pada tetangga, atau juga teman lama di jalanan. Memang agak repot, namun apa daya ini kenyataan yang harus kuhadapi.

Disuatu saat, tepat pada bulan Juli. Aku seperti melihat kekasihku  berjalan di pinggir terminal. Kukejar dan ternyata benar. Namun cerita pilu kembali menumbuk pedih dirasa. Orang yang kucari-cari selama ini, ternyata sudah hidup  bersama yang lain, membangun mahligai rumah tangga. 

Dia sudah punya anak, usianya hampir sama dengan anak dariku. Aku tidak bisa cerita apa-apa lagi. Kepedihan yang bertahun-tahun kupendam dalam harap sunyi, kini kembali menyayat hati. Kupeluk  anakku dan air mata menetes kembali "Apa sesungguhnya yang terjadi dengan  perasaan ini"? pertanyaan itu mengulang dalam wirid sunyiku

Dengan kepedihan yang dalam kubangun kehidupan; menumbuh besarkan anak, bekerja keras, berkonsentrasi pada kerjaan. Tidak mungkin aku harus hidup dijalanan seperti ini terus-menerus. Kemudian Aku berusaha membangun usaha dengan modal pas-pasan, tapi kurajut dengan erat-erat kuat, anakku ikut membantu. Dia kini sudah besar.

Pada saat jeda dari pekerjaan aku sering teringat dengan kekasihku itu, Ayah dari anakku. Terbayang senyuman dan candanya. Membantu untuk mewarnai desain batik. Tangannya yang terampil membangun jiwaku bersemangat menggambar.

Keterampilan menggambar batik itu, membuat aku terinspirasi untuk membuka usaha batik. Masih terbayangkan juga usaha dan kerja kerasnya saat dia bekerja di rumah orang tuaku dulu. Hal itulah yang membuatku ingin berubah. Perlahan-lahan ku rintis usaha batik dengan berbagai upaya dan kesabaran.  

Seperti proses membuat batik meliuk-liukan tangan di kain dengan canting yang sesekali di tiup untuk memunculkan membran warna. Memang setiap usaha belum tentu secepat yang diharap.  Tetapi keteguhan jiwa harus seperti tugu yang tak terpagut. Aku terus merajutnya Tanpa henti. 

Siang malam kuarungi dengan kegigihan, dan dengan sendirinya anakku mengikuti, mempelajari apa yang kukerjakan. Bertumbuh besar dia, cantik dan pintar. Aku merasa bangga, di wajahnya terlihat raut kekasih hati yang melekat.  Walau kehidupan dengannya begitu berliku.  Dulu kami mengikrarkan tali kasih yang terpendam, dengan sembunyi-sembunyi. Sebab orang tuaku menganggap dia pembantu.  Jadi dia pergi karena sangat merasa terhina dengan cacian dari orangtuaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun