Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istriku Pahlawan Devisa yang Terjerumus

5 Mei 2023   21:39 Diperbarui: 5 Mei 2023   21:42 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Yah!,   besok  kalau Neta ulang tahun, mama akan pulang bawa hadiah buat Neta ya..." Kata Neta anakku yang usianya menginjak lima tahun, tadi malam ketika aku menemaninya belajar. Neta sudah pandai membaca walau menulisnya belum begitu bagus, maklum masih TK.

"Ayah tidak tahu, Nak. Kan mama telponnya sama Neta sendiri," jawabku. Karena sudah hampir setahun ini Lela tidak mau berbicara padaku di telpon, ia hanya mau bicara pada Neta saja.

Neta, adalah anak semata-wayang hasil pernikahanku dengan Lela, istriku yang sekarang bekerja di Hongkong sebagai buruh migran. Sudah hampir 3,5 tahun semenjak kepergian Lela, aku sendiri yang mengurus segala keperluan Neta mulai dari menemaninya belajar, menyiapkan makannya sampai menemani tidur. Aku berperan sebagai bapak sekaligus ibu bagi Neta. Aku bekerja sebagai buruh pabrik garmen yang marak berkembang di kotaku, untuk menyerap tenaga kerja. Bila aku sedang bekerja Neta terpaksa aku titipkan pada ibuku. Karena rumahku persis ada di samping rumah ibuku. Rumah yang pada awalnya menjadi rumah impian Lela walau belum selesai pembangunannya.

Lela meninggalkan Neta sejak masih berusia 1,5 tahun. Saat itu Neta masih perlu banget kehadiran seorang ibu, dia baru belajar bicara dan berjalan. Namun karena tekad untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempunyai rumah sendiri yang kuat, membuat Lela tega meninggalkan Neta bersamaku. Untuk bekerja ke negeri yang sangat  jauh menurutku.

Pada awalnya aku dan Lela sama-sama menjadi buruh pabrik garmen, aku mengenalnya dan  kami berpacaran selama 6 bulan sebelum aku memutuskan untuk menikahinya. Sejak mengandung Neta, Lela keluar dari pekerjaannya karena ada aturan suami istri tidak boleh menjadi karyawan di pabrik yang sama. Awalnya memang cukup saja memenuhi kebutuhan kami berdua dengan gajiku yang tak seberapa itu, namun sejak Neta lahir kebutuhan hidup semakin meningkat. Kami juga masih menumpang di rumah ibuku, karena aku tidak mempunyai uang untuk mengontrak rumah buat kami bertiga, ibuku juga sebenarnya tidak mempermasalahkan karena beliau hanya tinggal bersama adikku saja. Sedangkan bapak sudah meninggal sejak aku dan adikku masih kanak-kanak.

Lama kelamaan hubungan Lela dan ibuku menjadi kurang baik, aku tidak mau menyalahkan keduanya. Mungkin aku yang salah, tidak sanggup menasehati dan membuat suasana enak untuk istriku. Sedangkan ibuku mungkin tidak suka dengan kelakuan Lela yang terkadang semaunya sendiri. Aku merasa tidak enak hati bila diantara mereka berdua terjadi perselisihan, walaupun itu perselisihan kecil. Ini kesalahanku tidak bisa memberikan tempat yang nyaman buat keluarga kecilku, agar bentrokan-bentrokan kecil antara mertua dan menantu tak terjadi. 

" Mas, kalau kau masih sayang aku ayolah kita ngontrak. Aku tidak tahan bila setiap saat diomelin ibumu!" 

"Yang sabar, Lela. Mungkin ibu hanya ingin mengajarimu menjadi istri yang baik" jawabku menenangkan Lela.

"Aku sudah tidak tahan kalau begini terus, Mas. Sedikit-sedikit diomelin, Lela capek, Mas!" Begitu keluh Lela hampir tiap hari. Aku menjadi serba salah, karena keduanya wanita yang aku sayangi dan harus aku lindungi. Namun aku tidak mampu membuat mereka nyaman, dengan berpisah tempat. 

Aku juga sudah berusaha membuat usaha kecil-kecilan untuk menambah pendapatan, dengan berjualan makanan yang dibuat Lela dan aku jual pada teman-temanku di pabrik namun hasilnya tidak seberapa juga. 

Sampai akhirnya Lela, kena bujuk tetangga yang bekerja di PJTKI. Dengan iming-iming bayaran yang tinggi untuk bekerja di luar negeri, Lela mulai terpengaruh, walaupun pada awalnya dia tidak tertarik karena Neta masih kecil tidak tega meninggalkannya.

Kisah sukses teman-temannya yang sudah berkerja di Hongkong, Taiwan dan Singapura membuat hati Lela akhirnya meleleh juga. Impian bisa mempunyai rumah, dan menyekolahkan Neta ke sekolah yang tinggi membuat Lela bersemangat untuk mencoba keberuntungan di negeri yang sangat jauh dari kami. Mengalahkan ketakutan untuk jauh dari putri semata wayangnya. " Toh aku ingin bekerja jauh untuk kamu anakku, Neta" . Lela sudah benar-benar bertekad untuk meninggalkan kami. Sampai akhirnya dia, berani untuk meminta ijin padaku. Karena sebelumnya aku tahu dia masih sembunyi-sembunyi mencari informasi soal menjadi TKW.

" Mas, aku mau minta ijin untuk bekerja di Hongkong...boleh ya?" Lela mengatakan saat kami hendak tidur di kamar dengan suara lirih. Aku sejenak terdiam tak bisa mengatakan apapun, aku tidak bisa membayangkan hidup terpisah dengan Lela dan harus mengurus Neta sendiri. 

"Mas, kamu mendengar perkataanku, Kan?" kata Lela membuyarkan lamunanku.

"Tidak, Lela! Aku tidak akan membiarkanmu bekerja jauh di negeri orang tanpa tahu keselamatanmu bagaimana, apa kamu tega meninggalkan kami di sini?" jawabku tidak kalah kuat.

"Tapi nasib kita akan begini terus, Mas. Dengan gaji Mas segitu, mana mungkin kita bisa punya rumah, mana mungkin kita bisa menyekolahkan Neta nantinya. Sedangkan untuk beli susu Neta saja kita sudah kewalahan!" bantah Lela begitu menusuk nuraniku.

"Sabar, Lela. Kita akan mencari jalan, namun bukan dengan kau menjadi TKW di Hongkong" 

" Tidak, Mas! Tekat ku sudah bulat untuk segera mengubah nasib selagi Neta masih kecil, aku ingin dia tidak mengalami hal yang sama dengan kita. Aku tidak tahan dengan kemiskinan ini " Lela tetap mempertahankan pendapatnya.

Tekat Lela untuk bekerja di Hongkong sudah kuat. Malam itu hampir terjadi pertengakaran di antara kami. Hingga akhirnya aku melunak dan diam. Aku menyadari sebagai laki-laki yang belum bisa memberikan kebahagian berupa materi, agar anak dan istriku bisa hidup layak. Aku mengerti semua yang dilakukan Lela adalah demi masa depan Neta. Aku tahu dibalik kekerasan tekadnya ada rasa sayangnya yang lebih untuk Neta, entah kalau buatku. Laki-laki yang tak bisa membahagiakannya. Tak terasa ada air mata membasahi pipi Lela, aku pun segera meraihnya menenangkan dalam pelukanku. Hanya itu yang aku mampu, aku merasa malu pada diriku sendiri. Kenapa bukan aku saja yang bekerja ke luar negeri?

Beberapa hari kemudian, Lela lapor padaku :

" Mas, aku sudah mendatangai PJTKI segala persyaratan sudah diberikan, ijinkan aku untuk mengurusnya ya..." kata Lela saat kami sedang duduk di beranda rumah.

" Jadi kamu sudah sampai ke PJTKI tanpa sepengetahuanku, terus kamu tinggal begitu saja Neta ya, kenapa tidak  menunggu dulu agar aku bisa mengantarkanmu " kataku agak jengkel.

" Tapi, Mas sepertinya gak ada tanggapan dengan kata-kataku kemarin "

" Justru karena itu kamu harusnya menunggu sampai aku benar-benar mengijinkan bukan terus jalan sendiri gitu..."

" Iya sudah, sekarang Mas memberi ijin atau tidak, aku tetap akan berangkat kerja ke Hongkong, ingat Mas, Neta semakin besar dan membutuhkan banyak biaya." Kata Lela sengit.

"aku juga ingin punya rumah sendiri, gak numpang sama mertua terus begini! " kata Lela getir,  penuh nada kecewa ia menutup wajahnya dengan ujung jilbabnya yang panjang agar air mata yang membasahi pipinya tak terlihat olehku. Lela yang dulu  aku kenal sebagai gadis cantik sekarang tampak pucat tak terawat pakaian yang dipakainya juga itu-itu saja, dia bahkan hanya punya beberapa jilbab yang dipakai bergantian. Kasihan aku melihatnya. Walaupun dia masih tetap cantik di mataku, karena aku yang membuatnya menjadi sepeti itu.  Penghasilanku sungguh tidak memadai dengan kebutuhan kami, apalagi akhir-akhir ini kami sering diliburkan karena orderan yang masuk ke pabrik berkurang, dan eksport juga terhambat.

Setelah melalui berbagai pemikiran, debat dan juga tanya sana-sini akhirnya aku memberi ijin Lela untuk mengurus kepergiannya. Sejak saat itu aku mulai banyak merawat Neta, sambil mempersiapkan bila saatnya Lela pergi, Neta sudah terbiasa bersamaku.

Awalnya aku agak kerepotan mengurus Neta, karena selama ini tugas itu selalu ditangani oleh Lela dengan baik, tapi Lela mengajariku untuk mengurus semua keperluan Neta anak kami. Syukur sekarang Neta sudah semakin dekat dengan aku daripada dengan Lela, ibunya.

Semua persyaratan akhirnya lengkap sudah,  tinggal menunggu panggilan kalau sudah mendapatkan majikan di Hongkong. Lela pun segera masuk ke tempat penampungan dan pelatihan tenaga kerja di Jakarta, bersama beberapa orang dari kampung kami. Lela, Narti, Tari dan Susi semuanya juga bekas karyawan pabrik garmen seperti Lela.

Selama 2 bulan di tempat penampungan Lela jarang menghubungiku, karena jadwal pelatihan yang begitu padat. Hingga akhirnya Lela mengabarkan kalau sudah mendapat calon majikan di Hongkong. Seminggu lagi Lela berangkat dari tempat penampungan di Jakarta. Ingin rasanya aku menenggoknya untuk bertemu terakhir kali, namun ongkos ke Jakarta sangat sulit aku dapat. Akhirnya aku merelakan kepergiannya tanpa menghantarkannya untuk yang terakhir kali.

Sampai di Hongkong Lela segera mengabarkan kalau sudah sampai dan masih di tempat penampungan menunggu dijemput majikan, begitu katanya.

Bulan pertama kerja HP Lela disita tidak boleh menggunakan HP sama sekali, hanya sesekali Lela meminjam HP temannya yang sudah bekerja lama di sana untuk menghubungiku. Mengabarkan keadaannya, dan menanyakan keadaan Neta.

Lela ternyata tidak ditempatkan di sebuah keluarga seperti perjanjian pada waktu berada di tempat penampungan namun dipekerjakan di sebuah restoran. Pekerjaan Lela setiap hari mencuci mangkok-mangkok dari berbagai ukuran yang ribuan jumlahnya. Hari-hari pertama Lela merasakan capek yang luar biasa, apalagi jam istirahatnya sangat terbatas. Pagi-pagi sekali sebelum restoran buka Lela sudah harus mengelap mangkok-mangkok itu, sampai siang jam 2 siang diberi waktu istirahat kurang dari satu jam untuk makan dan istirahat.

" Mas, aku gak tahan...di sini kerjanya berat sekali, badanku, kakiku dan tanganku capek sekali tapi bagaimana lagi, bosnya galak sekali sering memarahiku bila aku salah sedikit karena kurang memahami bahasanya. Aku sudah berusaha menghubungi agen yang disini, katanya kalau aku pulang aku harus mengganti semua biaya kepergianku yang jumlahnya besar sekali, doakan aku untuk kuat ya, Mas.." Begitu telpon Lela dengan suara terbata-bata menahan tangis dan capek. Hatiku terasa hancur setelah mendapat telpon dari Lela, rasanya tidak rela  istriku mendapat perlakuan semacam itu. Namun aku tetap membesarkan hatinya dan memberinya semangat, karena bagaimana pun itu sudah pilihannya sendiri, aku tak mampu mencegahnya.

Tiga bulan setelahnya Lela menelpon kalau sekarang sudah berganti majikan, ikut dalam sebuah rumah tangga.  Kali ini pun Lela  bekerja tidak sesuai dengan deskripsi kerja yang ditanda-tanganinya. Karena di rumah yang luas terdiri dari 3 tingkat itu hanya dia sendiri yang bekerja. Anggota keluarganya pun banyak, selain suami istri dengan 2 anak, masih ada 2 manula. Walaupun begitu di tempat ini Lela merasa lebih nyaman karena majikannya tidak terlalu cerewet dan galak. Hanya 2 manula, nenek dan kakeknya yang bawel, kata Lela.

Seminggu sekali Lela bisa menelponku dan juga Neta, untuk sekedar melepas rindu lewat suara. Bila hari minggu tiba Lela bisa keluar berkumpul dengan teman --temannya sesama BMI. Banyak acara dan teman baru yang dicerita Lela kepadaku, aku agak merasa lega karena sepertinya Lela sudah bisa menyesuaikan diri dan banyak teman di sana. Lela sudah tampak bahagia, walau pekerjaannya berat.

Sebulan sekali Lela juga mengirim uang untuk keperluan Neta dan sisanya aku tabung. Satu setengah tahun Lela masih setia menelpon dan mengirim uang untuk Putri dan aku, sampai sebuah rumah kecil bisa  mulai dibangun di samping rumah ibuku.  Belum sampai rumah itu selesai pembangunannya kiriman uang dari Lela sudah macet. Kadang tiga bulan baru mengirim uang itupun jumlahnya tak seberapa tidak seperti sebelumnya, aku juga tidak berani menanyakan dan menuntut buat apa uangnya. Dia hanya mengatakan di sana banyak kegiatan yang membutuhkan biaya. Itu saja yang aku tahu, entah kegiatan apa.

Aku harus bekerja keras dan mencari pinjaman sana-sini agar rumah bisa jadi, paling tidak bisa layak untuk ditinggali, jadi nanti kalau Lela pulang sudah tidak tinggal numpang bersama ibuku lagi. Itu yang ada dalam pikiranku, sambil mengharap Lela segera bisa pulang.

Namun sayang beberapa bulan kemudian Lela jarang, bahkan tidak pernah menelfon lagi terakhir kali Lela hanya mau bicara pada Neta saja, tidak mau bicara kepadaku. Aku tak tahu apa kesalahanku, hingga Lela mendiamkan aku. Atau ada sesuatu di sana, yang tidak diceritakan ke aku.

Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan Lela. Dari foto yang dia kirim ke HP anaknya sepertinya dia bukan Lela yang dulu lagi, wajahnya cantik seperti artis Korea, ada tindik di hidungnya, jilbabnya sudah tidak dikenakannya lagi. Lelaku yang cantik kini sudah berubah total. Entah apa yang membuatnya begitu. Aku juga sudah mencari tahu lewat akun Facebook yang dimiliki, rupanya aku sudah diblokir juga.

Aku berusaha mencari tahu lewat Narti, tetangga yang berangkat ke Hongkong bersama Lela dan saat ini juga masih di Hongkong. Narti menceritakan kalau di sana Lela akrab sekali dengan Tora, seorang TKW dari Indonesia juga, mereka akrab sekali kemana-mana berdua, kata Narti Lela pacaran dengan Tora yang juga wanita. 

Deg! hatiku hancur tak terkira, kenapa Lela bisa terjerumus dengan pergaulan seperti itu. Bahkan hampir setiap malam minggu Lela mengikuti pesta-pesta yang diadakan oleh teman-teman Tora. Pesta seks dan minuman keras sudah akrab bagi Tora dan kawan-kawannya, hal itu sudah menular pula pada Lela. Astafirullah..hatiku sangat pedih.

Aku jadi tahu kenapa Lela tidak mau berbicara padaku lagi, dia memilih untuk telpon ke HP Neta langsung. Neta cerita padaku kalau Lela berjanji untuk pulang di hari ulang tahunnya.

" Yah ! apa Mama jadi pulang ? ulang tahunku kurang 3 hari..kok mama tidak telpon" kata Neta yang walaupun umurnya baru lima tahun sudah pinter menghitung hari. Dia sudah memberi tanda lingkaran merah besar di kalender saat ulang tahunnya tiba.

" Kita tunggu saja Net, mudah-mudahan mamahmu, tidak mengingkari janjinya, kan mama selalu sayang Neta, " kataku membesarkan hati Neta walaupun aku sendiri tidak yakin akan kedatangan Lela.

Pagi-pagi sekali tepat di hari ulang tahun Neta, aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah kami. Aku dan Neta yang sudah bangun sejak subuh segera berlari keluar dengan harapan itu Lela yang datang.

Seorang wanita berambut pendek warna kemilau ungu, dengan tindik di hidung, berkulit bersih dan bercelana ketat dan bersepatu Boots turun dari mobil dengan menyeret sebuah koper besar. Aku masih ragu apa itu Lela, aku hanya berdiri terpaku menyaksikannya. Kalau itu Lela aku sungguh tidak mengenalinya lagi, karena Lelaku yang dulu adalah wanita berhijab yang menutup auratnya. Sebelum akhirnya wanita itu lari berhambur pada kami.

" Maafkan saya, Mas...maafkan saya.." kata wanita itu bersimpuh di pelukku, dan aku masih terpaku tak tahu apa yang harus aku lalukan. Apakah aku harus jijik pada wanita ini atau aku harus merengkuhnya.

Air mataku tak tahan juga untuk jatuh, hatiku meleleh melihat air matanya, aku segera merengkuh dan memeluk wanita itu, setelah aku yakin kalau dia Lela, istriku.

" Maafkan aku juga yang membiarkanmu menjadi seperti ini " 

Neta rupanya tahu kalau itu mamanya dan ikut berhampur berpelukan bersama kami. Neta pun mendapat boneka cantik seperti yang telah dijanjikan mamanya.

Tapi sayang Lela hanya seminggu di rumah yang dulu diimpikannya, setelah itu ada perempuan bertato berwajah sangar yang menjemputnya. 

" Lela, kamu hanya punya waktu seminggu untuk mengurus perceraianmu. Ingat janjimu kita akan hidup bersama selamanya di Hongkong!" Kata perempuan itu. Yang ternyata adalah Tora. 

Lela awalnya sempat binngung karena dia begitu sayang pada Neta, dan tidak ingin meninggalkan Neta lagi.

" Ingat Lela, kamu harus menepati janjimu. Kalau tidak kamu harus membayar semua hutang-hutangmu selama di Hongkong. Kamu mau jadi wanita gembel lagi setelah aku menyelamatkanmu. Ingat Lela kamu sekarang sudah berubah. Dan itu butuh biaya banyak yang telah aku keluarkan karena mencintaimu, Lela!" Ancam perempuan itu lagi.

" Aku bisa membuatku sangat menderita kalau kau ingkar janji! Cepat beresi pakaianmu dan kita segera pergi. Biar perceraianmu diurus oleh pengacara!" Kata  Tora, yang kali ini dituruti oleh Lela. Lela segera mengambil koper dan memasukkan kembali pakaian yang sempat dipakai selama seminggu di rumah. Dalam sekejap dia sudah siap meninggalkan kami lagi.

" Lela..!, jangan pergi!" Kata-kataku dan tangis Neta sudah tak digubris lagi. Hanya deru mobil Avanza sewaan yang tertinggal. Memecah kesunyian kampung kami, menjadi guncingan dengan nada satir dan sisnis yang aku dengar dari para tetangga.

Ya Tuhan! Lelaki macam apa aku ini, yang sangat lemah dalam melindungi keluargaku. Dan tak mampu menyelamatkan istriku sang pahlawan devisa terjatuh dalam kenistaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun