Sampai akhirnya Lela, kena bujuk tetangga yang bekerja di PJTKI. Dengan iming-iming bayaran yang tinggi untuk bekerja di luar negeri, Lela mulai terpengaruh, walaupun pada awalnya dia tidak tertarik karena Neta masih kecil tidak tega meninggalkannya.
Kisah sukses teman-temannya yang sudah berkerja di Hongkong, Taiwan dan Singapura membuat hati Lela akhirnya meleleh juga. Impian bisa mempunyai rumah, dan menyekolahkan Neta ke sekolah yang tinggi membuat Lela bersemangat untuk mencoba keberuntungan di negeri yang sangat jauh dari kami. Mengalahkan ketakutan untuk jauh dari putri semata wayangnya. " Toh aku ingin bekerja jauh untuk kamu anakku, Neta" . Lela sudah benar-benar bertekad untuk meninggalkan kami. Sampai akhirnya dia, berani untuk meminta ijin padaku. Karena sebelumnya aku tahu dia masih sembunyi-sembunyi mencari informasi soal menjadi TKW.
" Mas, aku mau minta ijin untuk bekerja di Hongkong...boleh ya?" Lela mengatakan saat kami hendak tidur di kamar dengan suara lirih. Aku sejenak terdiam tak bisa mengatakan apapun, aku tidak bisa membayangkan hidup terpisah dengan Lela dan harus mengurus Neta sendiri.Â
"Mas, kamu mendengar perkataanku, Kan?" kata Lela membuyarkan lamunanku.
"Tidak, Lela! Aku tidak akan membiarkanmu bekerja jauh di negeri orang tanpa tahu keselamatanmu bagaimana, apa kamu tega meninggalkan kami di sini?" jawabku tidak kalah kuat.
"Tapi nasib kita akan begini terus, Mas. Dengan gaji Mas segitu, mana mungkin kita bisa punya rumah, mana mungkin kita bisa menyekolahkan Neta nantinya. Sedangkan untuk beli susu Neta saja kita sudah kewalahan!" bantah Lela begitu menusuk nuraniku.
"Sabar, Lela. Kita akan mencari jalan, namun bukan dengan kau menjadi TKW di Hongkong"Â
" Tidak, Mas! Tekat ku sudah bulat untuk segera mengubah nasib selagi Neta masih kecil, aku ingin dia tidak mengalami hal yang sama dengan kita. Aku tidak tahan dengan kemiskinan ini " Lela tetap mempertahankan pendapatnya.
Tekat Lela untuk bekerja di Hongkong sudah kuat. Malam itu hampir terjadi pertengakaran di antara kami. Hingga akhirnya aku melunak dan diam. Aku menyadari sebagai laki-laki yang belum bisa memberikan kebahagian berupa materi, agar anak dan istriku bisa hidup layak. Aku mengerti semua yang dilakukan Lela adalah demi masa depan Neta. Aku tahu dibalik kekerasan tekadnya ada rasa sayangnya yang lebih untuk Neta, entah kalau buatku. Laki-laki yang tak bisa membahagiakannya. Tak terasa ada air mata membasahi pipi Lela, aku pun segera meraihnya menenangkan dalam pelukanku. Hanya itu yang aku mampu, aku merasa malu pada diriku sendiri. Kenapa bukan aku saja yang bekerja ke luar negeri?
Beberapa hari kemudian, Lela lapor padaku :
" Mas, aku sudah mendatangai PJTKI segala persyaratan sudah diberikan, ijinkan aku untuk mengurusnya ya..." kata Lela saat kami sedang duduk di beranda rumah.