Mempertahankan hak milik berupa tanah adalah wajar mengingat aset tanah harganya terus melambung. Namun ketika ada tetangga yang tertutup akses jalannya sehingga tidak bisa leluasa keluar masuk rumahnya sendiri adalah luar biasa. Apalagi di negara yang mempunyai pandangan hidup Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, yang mengharagi hak asasi manusia.
Mestinya, semua dapat dimusyawarahkan untuk mufakat, bukan menang-menangan karena mempunyai kekayaan dan kekuasaan.
Apalagi Indonesia sebagai negara hukum, semua itu ada aturannya agar ada ketertiban dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Â
Seorang warga bernama Eko Purnomo yang tinggal di Ujung Berung Bandung menjadi viral di media sosial dan media elektronik, karena rumahnya tertutup tembok tinggi yang dibangun tetangganya.
Terlepas dari sertifikat hak milik tanah sebagai bukti sah yang tidak mencantumkan ataupun sudah ada gambar jalan, hal ini tidak akan terjadi kalau ada komunikasi, musyawarah para pemilih tanah.
Saat  membangun rumah mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), semestinya kasus ini sudah terdeteksi, karena harus meminta tanda tangan kerelaan dari para tetangga kanan, kiri, depan dan belakang.
Walaupun pemilik tanah "merasa" mendirikan bangunan diatas tanah hak miliknya, harus dipahami bahwa:"semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6 UU No.5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria).
Makna semua hak atas tanah mempunyai fungsi  sosial, bahwa seseorang yang mempunyai hak atas tanah apapun (milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), tidaklah dapat dibenarkah tanah itu dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Apalagi dalam memanfaatkan tanah itu dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat (menutup akses jalan termasuk perbuatan merugikan bagi tetangga). Penggunaan tanah sesuai dengan peruntukannya sehingga dapat mensejahterakan pemilik, masyarakat dan negara.
Namun bukan berarti kepentingan perorangan terdesak oleh kepentingan umum, semua harus saling mengimbangi, dan akan memperhatikan kepentingan fihak yang ekonominya lemah (penjelasan UU No.5 Tahun 1960).
Artinya agar tercipta kehidupan yang aman, nyaman, damai, dan sejahtera harus ada harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak kurang-kurang pak Eko Purnomo telah melakukan mediasi dengan pemilik tahan yang menutup akses jalan, dengan pihak berwenang , belum membuahkan hasil. Bahkan ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Bandung, mendekat, dan menyampaikan surat ditulis tangan.
Baru setelah viral pihak berwenang memanggil para pihak dan hasilnya ada 3 (tiga) alternatif solusi yang ditawarkan, pertama Pak Eko menjual tanahnya kepada tetangga, kedua pak Eko membeli jalan dari para tetangga, dan ketiga, tetangga memberikan akses jalan kepada pak Eko agar dapat berkegiatan keluar masuk rumah.
Dalam hal ini ada pihak-pihak yang seharusnya mempunyai kebesaran hati dan jiwa untuk memberikan jalan kepada pak Eko.
Apabila memahami fungsi sosial tanah, tetangga dengan kerelaan, keikhlasan mengurangi tanahnya untuk jalan bagi keluarga pak Eko yang mendiami tanah warisan dengan luas 76 meter persegi.
Kalau dihitung secara ekonomi pemilik tanah yang memberi pak Eko pasti kehilangan nilai rupiah, seharga tanah dan luas yang diberikan.
Katakanlah lebar 1,5 meter dikalikan panjang 10 meter, berarti 15 meter. Andaikan harga per meter Rp 3 juta, berarti pemilik tanah kehilangan Rp 45 juta.
Namun dalam kehidupan bermasyarakat yang menganut asas kekeluargaan dan gotong royong itu tidak semua bisa dihitung dengan untung dan rugi.
Keajaiban sering terjadi, orang yang memberi jalan kepada orang lain walau secara kasat mata kehilangan Rp 45 juta, justru rejekinya mengalir, dan dicukupkan kebutuhannya.
Apalagi memberi dengan ikhas tanpa mengharap imbalan semata-mata karena Alloh SWT yang Maha Kaya, maka selain mendapat pahala amalan jariah, juga rejekinya dilipatgandakan.
Patut dipahami bahwa wujud rejeki tidak harus berupa nilai rupiah, harta benda, namun sehat, hidup tenang, tenteran, damai, rukun dengan tetangga adalah rejeki dan keberkahan yang tidak bisa diukur dengan apapun termasuk nilai rupiah.
Keangkuhan dan kesombongan itu hanya dapat dirasakan dan dinikmati di dunia yang fana  dan sangat singkat ini. Pada saatnya sumua akan ditinggalkan, yang tidak dapat dibanggakan apalagi menjadi bekal.
Dalam pengadilan hakiki nanti tidak ada jual beli perkara dan "suap", justru keikhlaan dan merelakan tanahnya untuk  tetangganya menjadi bekal adalm keabadian. Secara hak orang yang menutup jalan benar, dan sah.
Namun secara sosial belum melaksanakan kewajiban untuk menolong tetangganya yang paling dekat, bahkan bisa disebut sebagai saudara.
Hal ini wajar, mengingat  kalau terjadi sesuatu yang pertama kali memberi pertolongan adalah tetangga, bukan saudara yang tinggalnya jauh.
Semoga keluarga Eko Purnomo kembali menempati rumahnya yang saat ini ditinggalkan karena untuk masuk rumah harus lewat genting tetangga lainnya.
Yogyakarta, 13 September 2018 Pukul 13.58
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H