Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doamu Terkabul, Ibu

22 Desember 2023   14:23 Diperbarui: 22 Desember 2023   15:03 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak berpelukan. Foto dari shutterstock.

"Bu, aku ingin melanjutkan sekolah ke Bandung, tolong bilang ke Bapak ya!" ucapku waktu itu. 

Ibu yang duduk di amben bambu sambil melipat baju terdiam. Matanya tak sedikit pun menatapku yang sedang berharap jawaban.

"Bu, boleh aku ikut ujian di Bandung?" ulangku sambil memegang tangannya.

Baca juga: Hadiah untuk Ibu

"Tidak boleh, nanti lulus, uang dari mana? Adikmu banyak, waktunya butuh biaya, cukup sampai SMA," tegas Ibu. 

Dia terus merapikan baju yang baru diangkatnya dari jemuran.

Tak terasa mataku mulai basah. Rasanya mimpi untuk mahasiswa dan menjadi seorang guru pun pupus. Aku tak bisa menahan kesedihan, tangisku pun  memecah kesunyian rumah tua milik kerabat Bapak. 

Ibu memeluk tubuhku yang mungil. Aku pun mempererat pelukan Ibu, berharap ada ketenangan dari hangatnya tubuhnya. 

"Kamu bekerja saja di Bandung, ikut kerabat Bapak. Di sana kamu bisa belajar banyak. Tidak perlu kuliah untuk mendapatkan ilmu," lanjut Ibu. 

Aku tak bisa membantah saran Ibu, memaksa kuliah pun tidak baik, karena saat itu gaji Bapak sebagai PNS, guru SD tidak cukup untuk biaya kuliah. Aku pun tidak tahu jalan menuju beasiswa. 

Usia 19 tahun, di saat teman-teman duduk di bangku kuliah. Aku harus mencari pekerjaan di kota besar dan menumpang di rumah salah satu kerabat. Sebagai balas jasanya, aku mengurus rumah layaknya seorang bjabu. Masak, nyuci, setrika, mengepel. Kala pekerjaan rumah selesai, aku menyelusuri jalanan, keluar masuk pabrik, toko. 

Namun, tak ada perusahaan yang mempekerjakan aku. Entah mengapa, padahal nilai ijazahku bagus. Jurusan di SMA pun fisika, aku bisa komputer.  

 Setiap kali aku mudik selalu menangis diperlukan Ibu. 

"Bu, gak kuat jadi babu di rumah orang, pekerjaan bagus pun tak didapatkan. Aku ingin pulang." Hanya itu yang sering aku utarakan pada Ibu. 

Ibu pun tak bosan mendoakan, "Sabar, nanti dapat pekerjaan bagus."

Usiaku semakin bertambah, cobaan hidup di kota pun sudah aku lalui. Ibu juga yang selalu memeluk dan membesarkan hati. 

Ketika aku dituduh mencuri, tanpa pembelaan, aku meninggalkan kota besar itu dan menangis di pelukan Ibu. 

"Tidak apa-apa, orang kecil selalu disangka mencuri, suatu saat kamu akan jembar rezeki, tak kurang sedikit pun," doa Ibu. 

Ketika gagal menikah pun, Ibu yang pertama memeluk dan mendoakan terbaik, "Tidak apa-apa, nanti juga ada laki-laki baik, saleh yang menjadi jodohmu."

Ibu selalu mengatakan tidak apa-apa. Bukan kepasrahan, tetapi mengajarkan bersyukur. Aku pun menjadi anak gadis yang berjiwa besar, berjuang dalam segala hal. Hingga satu persatu yang Ibu doakan terkabul.

Aku mendapat pekerjaan bagus di SMA hingga dapat membantu ekonomi keluarga. Aku pun mendapat jodoh yang baik, saleh, taat ibadah. 

Ujian rumah tangga pun datang silih berganti. Tidak berniat mengadu pada Ibu, cukup aku yang menyelesaikan. Namun, Ibu selalu tahu derita anaknya dari mataku. 

"Tidak apa-apa, nanti ekonomi keluargamu baik, suamimu tak mungkin menelantarkan anak dan istrinya."  

Ketika ujian-ujian lain pun, Ibu selalu mengatakan yang sama "Tidak apa-apa, nanti .... " Ketika kami batal naik haji furoda pun. Ibu yang pertama menyambut kedatangan kami dan mengatakan, "Tidak apa-apa, uangnya pasti kembali dan nanti bisa naik haji, sabar wae." 

Semua doa Ibu sekarang terkabul. Kami baik-baik saja. Aku tak bisa menjaga Ibu dengan baik hingga harus menghadap Ilahi dengan cara sakit Covid. 

Terima kasih atas doa-doa dan pelukan Ibu selama ini. Kami hanya bisa mendoakan tempat terbaik di sisi-Nya, karena kami tahu Ibu orang yang tulus.  

Selamat hari ini untuk para ibu, sang pejuang tangguh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun