"Bu, aku ingin melanjutkan sekolah ke Bandung, tolong bilang ke Bapak ya!" ucapku waktu itu.Â
Ibu yang duduk di amben bambu sambil melipat baju terdiam. Matanya tak sedikit pun menatapku yang sedang berharap jawaban.
"Bu, boleh aku ikut ujian di Bandung?" ulangku sambil memegang tangannya.
"Tidak boleh, nanti lulus, uang dari mana? Adikmu banyak, waktunya butuh biaya, cukup sampai SMA," tegas Ibu.Â
Dia terus merapikan baju yang baru diangkatnya dari jemuran.
Tak terasa mataku mulai basah. Rasanya mimpi untuk mahasiswa dan menjadi seorang guru pun pupus. Aku tak bisa menahan kesedihan, tangisku pun  memecah kesunyian rumah tua milik kerabat Bapak.Â
Ibu memeluk tubuhku yang mungil. Aku pun mempererat pelukan Ibu, berharap ada ketenangan dari hangatnya tubuhnya.Â
"Kamu bekerja saja di Bandung, ikut kerabat Bapak. Di sana kamu bisa belajar banyak. Tidak perlu kuliah untuk mendapatkan ilmu," lanjut Ibu.Â
Aku tak bisa membantah saran Ibu, memaksa kuliah pun tidak baik, karena saat itu gaji Bapak sebagai PNS, guru SD tidak cukup untuk biaya kuliah. Aku pun tidak tahu jalan menuju beasiswa.Â
Usia 19 tahun, di saat teman-teman duduk di bangku kuliah. Aku harus mencari pekerjaan di kota besar dan menumpang di rumah salah satu kerabat. Sebagai balas jasanya, aku mengurus rumah layaknya seorang bjabu. Masak, nyuci, setrika, mengepel. Kala pekerjaan rumah selesai, aku menyelusuri jalanan, keluar masuk pabrik, toko.Â