Kita mungkin sering mendengar ungkapan, anak menangis itu tandanya lagi sedih, anak tertawa tandanya bahagia.Â
Lalu bagaimana jika anak tidak menangis? Apakah dia selalu bahagia, tidak merasakan duka? Belum tentu bukan?
Saya pernah memperhatikan keponakan yang berusia 9 tahun ditinggal bapaknya, dia tidak menangis, dia seperti biasanya. Dia mengikuti prosesi pemakaman tanpa ada raut wajah kesedihan.
Banyak orang pun berkata, jika anak ini tegar menghadapi kepergian bapaknya. Ada pula yang bertanya-tanya, "Kok anak gak tampak sedih-sedih ya, bapaknya tiada?"Â
Namun, dengan anak tidak menangis belum tentu hatinya tidak berduka, bukan?
Peristiwa lain ketika ibu saya meninggal setelah 3 pekan kami berkunjung. Saya berduka, menangis, tetapi anak-anak saya diam. Mereka tidak berkata, tidak pula menangis.
Saya sempat berpikir ini anak orangtuanya sedih tidak ada tanda-tanda berduka. Ternyata dugaan saya salah, anak-anak lebih pandai menyembunyikan kesedihan di depan orangtuanya.
Bagaimana Anak Menanggapi Kedukaan?
Kita tidak tahu apa yang ada di dalam hati anak, tetapi yang perlu kita ketahui, anak pun berduka ketika kehilangan. Kehilangan bukan saja tentang orang terdekat, tetapi bisa juga mainan, teman atau lainnya.
Bagi anak yang terbuka dan bisa mengungkapkan kesedihannya pada orangtua atau keluarga, tidak masalah. Namun, banyak anak yang memilih tidak bercerita.
Menurut Elena Lister, MD, seorang psikolog di laman psyhologytoday mengatakan, ketika anak-anak kehilangan dan sedih, mereka mampu mengatasinya dan mampu bertransisi dengan cepat.
Jadi jangan aneh ketika anak-anak sedih, menangis, tiba-tiba dia tertawa dan tertarik dengan mainan baru atau pergi bersama temannya untuk bermain.
Elene Lister berpendapat, anak yang tidak mampu menceritakan kesedihan kepada orangtua ada beberapa alasan:
Anak berpikir dia sebagai penyebab dari kejadian
Saya ambil contoh ketika ibu saya meninggal setelah beberapa hari kami berkunjung.
 Ada percakapan saya dengan salah satu tetangga yang mengatakan ibu saya sakit setelah saya mudik.
"Coba kalau Teteh tidak pulang, Ibu gak akan sakit dan meninggal!"
Anak jika mendengar percakapan itu akan membenarkan ungkapan tetangga ibu saya. Kami menjadi penyebabnya semua yang terjadi pada ibu saya.Â
Atau mungkin ketika anak rebutan mainan dengan temannya dan akhirnya mainaan itu rusak. Anak diam tidak menceritakan rusaknya maianan tersebut, karena ada perasaan takut dia penyebabnya.
Ada lagi kisah, salah satu tetangga saya yang bapaknya meninggal karena sakit. Saya mendengar desas-desus tetangga ketika pulang taziah, kalau bapak itu meninggal karena mikir anaknya yang nakal.
Omongan negatif tersebut jika sampai ke telinga anak akan memengaruhi mental anak. Sekalipun anak itu nakal akan ada pertanyaan, "Benarkah penyebab meninggalnya bapak karena saya?"
Anak menjaga perasaan orangtua
Jangan katakan anak tidak peka, justru mereka sangat memahami perasaan orangtua.Â
Ketika orangtua sedih karena kehilangan, seperti yang dialami saya, dia lebih menjaga perasaan ibunya daripada emosi dirinya.
Darimana saya tahu jika anak peka terhadap kesedihan orangtuanya? Setelah beberapa hari ibu saya meninggal, anak saya cerita dan menangis sambil memeluk.
"Mah, aku ingat mimi."
Lalu, bagaimana dengan ponakan, anak tetangga atau abak lain yang kehilangan bapaknya, maiannya, temannya, pengasuhnya?
Saya rasa sama, anak akan bersedih, ibunya juga bersedih. Namun untuk menceritakan kesedihan pada orangtuanya anak tidak akan tega karena memahami ibunya juga bersedih.Â
Melihat kondisi itu anak mengalihkan kesedihannya dengan diam, bermain, bersepeda, ke masjid. Dengan demikian dia bisa menghibur diri sendiri juga meringankan kesedihan orangtuanya.,
Dia masih bingung dengan kenyataan
Bagi anak, orang meninggal itu sesuatu yang membingungkan. Banyak pertanyaan, kenapa dan bagaimana bisa terjadi, sehingga untuk menangis, bersedih pun untuk apa. Dia hanya merasakan kesedihan karena tidak melihat, tidak bersama lagi dengan orang yang disayanginya.
Agar tidak membingungkan anak, sebaiknya orangtua menjelaskan kenapa orang meninggal dengan bahasa yang mudah dipahami.
Bagaimana Mengenali dan Mengatasi Kesedihan Anak?
Suatu hari saya bertanya pada ibu dari anak yang bapaknya meninggal. "Pernah lihat anak menangis dengan kepergian bapaknya?"
"Tidak, dia sudah biasa kali ya, karena waktu sakit kan sering ditinggal opname di RS, jadi tidak ada kedekatan," jawabnya.
Saya yakin anak itu sedih dan ingin menangis. Akan tetapi mereka kurang akrab mengatakan kesedihan, misalnya, "Saya bersedih dengan kepergian bapak" atau "Saya bersedih kehilangan mainan ini" atau mungkin "Saya sedih kehilangan ibu".
Untuk itu, walaupun orangtua sedih, tetaplah harus memperhatikan emosi anak. Jangan abaikan persaannya. Bantulah dia untuk mengungkapkan emosinya, menangis, menjerit, setelah itu ajaklah anak berbicara. Dengan komunikasi, orangtua dapat mengenali kesedihan anak, sehingga mampu mempererat hubungan batin anak dan orangtua.Â
Dalam pendekatan, orangtua bisa membahas tentang makna kehilangan. Makna kehilangan itu akan meningkatkan ketangguhan emosi pada orang yang ditinggalkan paling utama meningkatkan keimanan hamba-Nya. Itu semua bisa disampaikan pada anak. Jadi dengan memahami makna kehilangan, anak tidak akan bahagia dengan terpaksa.
Menurut saya anak bermain, berkumpul dengan temannya, menyibukkan diri di luar rumah itu bentuk melarikan diri dari kedukaan.
Ketika kembali ke rumah dia akan berduka, selanjutnya tidak bisa ditentukan kapan dia akan menerima kenyataan dengan ikhlas.
Semoga bermanfaat, salam dan terima kasih telah singgah.
Terinspirasi dari psychologytoday
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H