Yang paling saya ingat, ketika pertama kali mengurus visa schengen . Kami berangkat bukan untuk liburan atau undangan kedutaan, tetapi urusan bisnis dan dapat undangan dari yayasan tempat suami bekerja. Tiket pesawat dan booking hotel dikirim perusahaan melalui email. Saya hanya menyiapkan paspor dan asuransi perjalanan, foto copy rekening.
“Jangan diurus agen, saya antar ke kedutaan untuk pembuatan visa,” kata teman yang domisili di Jakarta. Dia berangkat juga ke Eropa bareng kami, hanya sudah ngurus visa duluan.
Singkat cerita saya dan suami menginap di rumahnya semalam. Sepanjang malam dia cerita kalau hingga saya datang visa-nya belum selesai. Ketika pengurusan banyak kendala dan mendapat perlakuan sinis dari petugas.
“Kalau saya bolak balik gak apa-apa, tinggal di Jakarta, jenengan, Mbak kan jauh,” katanya.
“Semoga nggak sulit, persyaratan sudah lengkap,” sahut saya.
“Saya ya sudah lengkap, tetapi ada saja, trus ketika balik lagi, pukul 11.00 sudah tutup, terpaksa ditunda hingga besok,” keluhnya
“Trus gimana?”
“Siapkan amplop saja, Mbak, untuk kemudahan,” sarannya.
Maksudnya baik, agar saya tidak mendapat kesulitan, tetapi, tidak berpikir dampak yang akan saya terima, jika melakukan suap.
“Jangan ah, kita ikuti prosedur saja,” sanggah saya.
“Atau bawa oleh-oleh,” sarannya lagi.