Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Butiran Gabah, Emak Kumpulkan untuk Biaya Sekolah

8 November 2021   13:20 Diperbarui: 8 November 2021   13:50 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto orang ngambil sisa padi di sawah. Dokumen Sri Rohmatiah

Aku menatap almanak yang tergantung di dinding kamar, "November," batinku. 

Aku mengalihkan pandangan pada jam dinding usang yang ada di atas pintu. Jarum jam itu menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Teman-teman dalam kamar sudah menggelar tikar, satu persatu terlelap dalam mimpi indah. Ah ... benarkah mimpi indah?

Setiap malam kami hanya tidur beralaskan tikar dengan ukuran cukup satu orang saja dan bantal pun tumpukan baju. Di atasnya baju setengah kering tergantung.  Sementara di pojok pintu, ada sisa makanan yang baunya bercampur aduk dengan keringat 20 santriwati.

Dengan kondisi seperti ini, kami tidak pernah bercerita kalau semalam mimpi indah, yang ada hanya keluhan. 

"Badanku sakit semua." Atau, "Aih, siapa yang semalam memukul perutku?" 

Tidur berdekatan, seringkali tangan atau kaki berkeliaran tanpa sadar mengenai sebelahnya.

Ketika ada mata kantuk yang melek dan dia teriak "Pukul tiga." Suasana pun menjadi riuh, berhamburan mengambil perlengkapan mandi.

Aku, tidak pernah mandi pagi, karena antrian panjang akan menghabiskan waktu subuh. Berangkat sekolah pun aku tak pernah mandi, lagi-lagi kamar mandi yang berukuran 2x2 m itu akan dipenuhi antrian.

Aku lebih memilih mandi pukul 14.00 ketika pulang sekolah dan bersiap-siap ke masjid untuk meneruskan pelajaran pesantren.

"Semoga Emak, besok datang membawa uang SPP," batinku sembari menatap buku Akidah Akhlak. Sebenarnya belum ada satu pun bab yang aku baca. Aku masih teringat apa kata Emak pekan kemarin ketika datang ke pondok.

"Nduk, SPP bulan ini, emak belum dapat pinjaman."

"Apa belum panen, ko cari pinjaman, Mak?"

"Lha, awake dewek kan ora duwe sawah, Nduk, panen ko endi?" jawab Emak sembari menghapus keringat di pipinya yang mulai keriput.

Bahasa Jawa Emak memang medok, dia sebetulnya bisa bahasa Indonesia. Konon Emak pernah bekerja di Jakarta sebelum menikah. Emak juga kulitnya putih, badannya tinggi. Kata tetangga, Emak cantik ketika baru datang ke desa itu. Namun, setelah aku lahir dan Bapak tidak bekerja, dia harus ikut ke sawah bersama ibu-ibu lain. Kulit putih Emak berubah menjadi gelap.

Ketika aku memutuskan untuk pesantren dan masuk Aliyah di kota lain. Bapak sempat bilang,

"Sekolah neng kene wae, Nduk, ben gratis, Bapak urung oleh kerjaan."

Namun, Emak mendorongku untuk pesantren, "Ora opo-opo mondok, Bapak iso neng sawah, gepyok karo Emak. Minggu ngarep wes arep panen, upahe bisa dijual kanggo biaya mlebu pondok."

Gepyok padi. Foto via infopublik.com
Gepyok padi. Foto via infopublik.com

Emak sama Bapak akhirnya terjun bareng ke sawah. Mereka gepyok di sawah orang lain, juga di sawah Bude, kakak dari Bapak. Buruh hasil gepyok kurang, Bapak pun mencari pinjaman kepada Bude.

"Kurang lima ratus ribu, Mbakyu, sok panen potong saka upahku," jawab Bapak ketika Bude meragukan kalau bapak bisa bayar.

"Panen ngarep masih telu sasih. Ngerti ora duwe kerja, nyekolahne anak adoh, neng kene wae nyapo."

Bude marah. Bapak segera bangkit dan menggandeng tanganku untuk pulang. Emak pun turut bangkit dan menyalami tangan Bude.

Kami berjalan kaki menelusuri jalan desa yang mulai sepi. Rumah-rumah pun gelap, mereka sudah mematikan lampunya, hanya beberapa rumah saja yang masih terang. Tepat di depan rumah Mas Roma, Bapak menyuruh Emak pulang.

"Mulih karo Safa, Mak! Bapak neng omah Mas Roma."

Aku paham, mungkin Bapak mau cari pinjaman ke Mas Roma. Dia salah satu petani di Kampung kami.

Selang beberapa menit, Bapak pulang ke rumah dengan sumringah sembari menyodorkan uang kepada Emak.

Sejak saat itu, Bapak jadi kuli bangunan. Emak tetap ke sawah, tandur, gepyok. Jika musim sawah selesai. Emak akan bercocok tanam di tegal pinggir sungai. Tanah milik pemerintah, tidak perlu bayar, asalkan dirawat.

"Nduk, ko malah ngelamun," sapa Emak, tangannya menepuk pundakku.

"Mak, maksud Safa, apa Emak tidak gepyok lagi di sawah? ini kan waktunya panen," Aku melanjutkan pertanyaan tadi.

"Nduk, saiki serba mesin, gak ada sing gepyok."

"Trus, Emak, dapat gabah dari mana, kalau tidak ke sawah?" tanyaku penasaran.

"Ngasak, Nduk," jawabnya lirih.

Aku terdiam, pekerjaan ngasak, sering aku lihat ketika Bapak dan Emak, gepyok. Ada mbah tua yang sering ngasak di antara jerami-jerami padi. Tiap jerami yang bercecer diambilnya. Butiran gabah, ia masukkan ke dalam karung kecil atau kresek.

Ngasak padi. Foto dokumen Sri Rohmatiah
Ngasak padi. Foto dokumen Sri Rohmatiah

Ternyata, sekarang dialami juga oleh Emak ku. Aku bisa membayangkan ketika Emak ngasak, ngambil sisa gabah yang tercecer di sawah bekas mesin Kombi.

Butiran-butiran padi itu hasilnya tentu tidak seberapa jika Emak dan Bapak gepyok. 

"Gak usah ngelamun wae, Nduk minggu ngarep Emak mrene maneh, ngadonga wae, Bapakmu oleh rejeki!"  ujar Emak

"Sekolah sing rajin, Emak mulih yo." ujarnya lagi sembari mengulurkan tangan kanan.

Setelah mencium tangannya, aku mengantar Emak hingga pintu gerbang pondok putri.

"Ya Allah ... beri kesehatan pada Emak dan Bapak." Doaku ketika Emak melambaikan tangan.

Perlahan langkah Emak meninggalkan pondok, tampak lesu. Aku mengusap air mata yang sejak tadi bergelayut di kelopak mata, jangan sampai emak tahu. Emak harus ngasak, itu kabar duka. Aku juga merasa bersalah telah membuat Emak kerja keras untuk biaya sekolah ku.

Lamunanku buyar ketika tangan Nurul menimpa paha, "Aduh." 

Kembali aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Aku segera menutup buku dan merebahkan badan di samping Nurul yang sejak tadi sudah terlelap. Aku harus segera tidur supaya besok tampak segar ketika menyambut dan memeluk Emak. Dia pahlawanku.

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021

Logo rumah pena inspirasi sahabat. Foto by kompasiana.com
Logo rumah pena inspirasi sahabat. Foto by kompasiana.com

Sri Rohmatiah,

Madiun, 8 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun