"Semoga Emak, besok datang membawa uang SPP," batinku sembari menatap buku Akidah Akhlak. Sebenarnya belum ada satu pun bab yang aku baca. Aku masih teringat apa kata Emak pekan kemarin ketika datang ke pondok.
"Nduk, SPP bulan ini, emak belum dapat pinjaman."
"Apa belum panen, ko cari pinjaman, Mak?"
"Lha, awake dewek kan ora duwe sawah, Nduk, panen ko endi?" jawab Emak sembari menghapus keringat di pipinya yang mulai keriput.
Bahasa Jawa Emak memang medok, dia sebetulnya bisa bahasa Indonesia. Konon Emak pernah bekerja di Jakarta sebelum menikah. Emak juga kulitnya putih, badannya tinggi. Kata tetangga, Emak cantik ketika baru datang ke desa itu. Namun, setelah aku lahir dan Bapak tidak bekerja, dia harus ikut ke sawah bersama ibu-ibu lain. Kulit putih Emak berubah menjadi gelap.
Ketika aku memutuskan untuk pesantren dan masuk Aliyah di kota lain. Bapak sempat bilang,
"Sekolah neng kene wae, Nduk, ben gratis, Bapak urung oleh kerjaan."
Namun, Emak mendorongku untuk pesantren, "Ora opo-opo mondok, Bapak iso neng sawah, gepyok karo Emak. Minggu ngarep wes arep panen, upahe bisa dijual kanggo biaya mlebu pondok."
Emak sama Bapak akhirnya terjun bareng ke sawah. Mereka gepyok di sawah orang lain, juga di sawah Bude, kakak dari Bapak. Buruh hasil gepyok kurang, Bapak pun mencari pinjaman kepada Bude.
"Kurang lima ratus ribu, Mbakyu, sok panen potong saka upahku,"Â jawab Bapak ketika Bude meragukan kalau bapak bisa bayar.