"Panen ngarep masih telu sasih. Ngerti ora duwe kerja, nyekolahne anak adoh, neng kene wae nyapo."
Bude marah. Bapak segera bangkit dan menggandeng tanganku untuk pulang. Emak pun turut bangkit dan menyalami tangan Bude.
Kami berjalan kaki menelusuri jalan desa yang mulai sepi. Rumah-rumah pun gelap, mereka sudah mematikan lampunya, hanya beberapa rumah saja yang masih terang. Tepat di depan rumah Mas Roma, Bapak menyuruh Emak pulang.
"Mulih karo Safa, Mak! Bapak neng omah Mas Roma."
Aku paham, mungkin Bapak mau cari pinjaman ke Mas Roma. Dia salah satu petani di Kampung kami.
Selang beberapa menit, Bapak pulang ke rumah dengan sumringah sembari menyodorkan uang kepada Emak.
Sejak saat itu, Bapak jadi kuli bangunan. Emak tetap ke sawah, tandur, gepyok. Jika musim sawah selesai. Emak akan bercocok tanam di tegal pinggir sungai. Tanah milik pemerintah, tidak perlu bayar, asalkan dirawat.
"Nduk, ko malah ngelamun," sapa Emak, tangannya menepuk pundakku.
"Mak, maksud Safa, apa Emak tidak gepyok lagi di sawah? ini kan waktunya panen," Aku melanjutkan pertanyaan tadi.
"Nduk, saiki serba mesin, gak ada sing gepyok."
"Trus, Emak, dapat gabah dari mana, kalau tidak ke sawah?" tanyaku penasaran.