"Ngasak, Nduk,"Â jawabnya lirih.
Aku terdiam, pekerjaan ngasak, sering aku lihat ketika Bapak dan Emak, gepyok. Ada mbah tua yang sering ngasak di antara jerami-jerami padi. Tiap jerami yang bercecer diambilnya. Butiran gabah, ia masukkan ke dalam karung kecil atau kresek.
Ternyata, sekarang dialami juga oleh Emak ku. Aku bisa membayangkan ketika Emak ngasak, ngambil sisa gabah yang tercecer di sawah bekas mesin Kombi.
Butiran-butiran padi itu hasilnya tentu tidak seberapa jika Emak dan Bapak gepyok.Â
"Gak usah ngelamun wae, Nduk minggu ngarep Emak mrene maneh, ngadonga wae, Bapakmu oleh rejeki!"Â ujar Emak
"Sekolah sing rajin, Emak mulih yo." ujarnya lagi sembari mengulurkan tangan kanan.
Setelah mencium tangannya, aku mengantar Emak hingga pintu gerbang pondok putri.
"Ya Allah ... beri kesehatan pada Emak dan Bapak." Doaku ketika Emak melambaikan tangan.
Perlahan langkah Emak meninggalkan pondok, tampak lesu. Aku mengusap air mata yang sejak tadi bergelayut di kelopak mata, jangan sampai emak tahu. Emak harus ngasak, itu kabar duka. Aku juga merasa bersalah telah membuat Emak kerja keras untuk biaya sekolah ku.
Lamunanku buyar ketika tangan Nurul menimpa paha, "Aduh."Â