"Truuusss ngapain ke mari, Neng, kalau gak mau beli?"
"Nunggu yang mau bayarin dong, Ki!"
Di saat orang lain teriak-teriak pesan makanan dan minta diantar ke ruang kantor. Aku akan selalu tidak tega, dan membiarkan waktuku tersita membantu Aki baso mengantarkan pesanan ke ruang kantor.
Mak warung nasi, sebelah kantor ada warung nasi yang menjadi incaran para guru dan polisi saat makan siang tiba. Menjadi incaranku juga, karena makanannya enak dan suka dapat gratisan. Ups gadis pemburu gratis.
"Mak, aku bantu nyiapin piringnya!" aku menawarkan diri.
"Gak usah, Neng, nanti dicari pak kepala, lagi," tolak Mak Anis.
"Ya ... bantunya jangan banyak juga kali, Mak, cukup piring aku saja, ambil nasi sendiri, lauk sendiri, Mak Anis ladeni yang lain." Lagi-lagi Mak Anis jadi bahan candaanku.
"Neng Ci, makan di sini sama Aki, ada sambel dan ikan peda kesuakaanmu!" si Aki suami Mak Anis, berteriak dari arah dapur.
Gratis makan siang lagi. He ... he ...
Itulah caraku supaya disayang semua orang, membantu dengan ikhlas, bercanda dengan gaya sederhana.
Keberadaanku di kantor memberi kehangatan, keceriaan. Namun sayang itu hanya lima tahun saja. Aku memutuskan menikah dengan seorang laki-laki difabel. Minderkah aku? Tidak.