Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani N dideso

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Minder? Tidak Dong...

8 Desember 2020   21:04 Diperbarui: 8 Desember 2020   21:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.Pribadi sesaat setelah acara Kick Andy

"Aku keluar dari kelas fisika, Ci!" kata temanku saat pembagian kelas di Sekolah Menengah Atas Negeri.

"Kenapa pindah kelas IPS?" tanyaku penasaran.

"Minder aku, orangnya bonafit semua, anak Kajari, anak pengusaha, sedangkan aku anak buruh tani," jawabnya dengan muka ciut kayak ciput, eehhh siput.

Aku sebetulnya sudah senang bisa satu kelas lagi dengannya, walaupun di kelas, dia saingan terberat, tetapi aku masih bisa bertahan di peringakat satu. Kelas fisika, saat itu hanya tersedia satu kelas, sedangkan biologi dua kelas, sosial tujuh kelas. Sementara peminat kelas fisika banyak. Untuk bisa masuk kelas fisika, tentu nilai eksak harus di atas delapan. Kenapa ketika sudah masuk harus disia-siakan?

Aku sebetulnya ada perasaan minder, kekhawatiran tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka pernah terbesit. Orang tuaku hanya seorang guru, tidak mungkin mengikuti gaya belajar, gaya hidup anak orang gedean seperti teman-teman di kelas fisika.

Gaya belajar, mereka akan mengikuti les-les di tempat bagus, membeli buku-buku  mahal dan berbobot, demi nilai sekolah yang memuaskan.

Gaya hidup, mereka tentu akan memakai tas, sepatu, perlengkapan alat tulis yang komplit.

Semua itu tidak aku miliki, tetapi aku bertekad harus belajar bersama mereka, hilangkan rasa minder kalau ingin pinter, maju.

Gaya belajarku cukup unik dan cerdik, itu menurut teman-temanku yang keren. Karena tidak mungkin untuk membeli buku paket yang mahal. Sepulang sekolah dengan gaya lugu dan manja, aku akan meminjam buku paket kepada guru mata pelajaran di ruang kantor guru.

Eiittt jangan salah, di ruang kelas guru-guru mengabaikan aku, tanpa alasan. Entah karena aku orang kecil tak dikenal atau aku terlalu pendiam di kelas. Teman-temanku pada awalnya mengabaikanku juga.

Karena aku orangnya periang, suka bercanda, sedikit pinter bergaul, masuk ke dunia mereka tidaklah sulit. Dengan uang jajan sedikit bahkan terkadang tidak membawa uang jajan, aku bisa bergaul, dicintai teman-teman yang kata orang anak bonafit.

Aku bergaul dengan teman-teman yang kaya raya, lantas tidak membuatku ikut masuk ke gaya mereka, atau menjadikan aku lupa dengan teman-teman yang orang tuanya pas-pasan.

Ada seorang teman yang rumahnya berdekatan dengan sekolah, ekonominya lebih memprihatinkan dari orang tuaku. Ibunya selalu titip pesan supaya jam istirahat aku datang ke rumahnya sejenak. Tahu gak aku disuruh apa di rumahnya? Diajak makan siang dengan dadar telur dan kecap, sementara putrinya di sekolah bertingkah seperti orang kaya.

"Kenapa Mi, orang tua temanku, guru-guru, banyak yang mencintaiku dengan meminjamkan buku paket?" tanyaku suatu ketika pada Mimi.

"Itu salah satu doa Mimi, supaya anak-anakku di mana pun berada disayangi semua orang," jawabnya.

"Ci jangan minder berada di lingkungan bagus, tapi ingat posisi kita, harus tetap menjadi orang yang rendah hati!" pesan Mimi.

Hingga aku lulus, dan bekerja di SMAN tempat sekolah dulu, aku masih disayangi guru-guru yang dulu sering  dipinjami bukunya. Aku juga tidak lupa dengan pesan Mimi, harus tetap rendah hati.

Ketika bergaul dengan orang-orang besar, bergaul juga dengan orang kecil, karena aku berasal dari orang kecil, tidak memiliki apa-apa.

Nongkrong di depan sekolah bersama Aki baso, Aki bubur ayam, Mang siomay itu cara aku menyapa mereka. Mereka adalah pedagang kaki lima yang diperbolehkan jualan sekitar sekolah.

"Aki, basonya tanpa mangkok," candaku.

"Pasti mau makan bubur ya, Neng?" tanya aki bubur kegeeran.

"Boleh, Ki, gak pakai bubur."

"Truuusss ngapain ke mari, Neng, kalau gak mau beli?"

"Nunggu yang mau bayarin dong, Ki!"

Di saat orang lain teriak-teriak pesan makanan dan minta diantar ke ruang kantor. Aku akan selalu tidak tega, dan membiarkan waktuku tersita membantu Aki baso mengantarkan pesanan ke ruang kantor.

Mak warung nasi, sebelah kantor ada warung nasi yang menjadi incaran para guru dan polisi saat makan siang tiba. Menjadi incaranku juga, karena makanannya enak dan suka dapat gratisan. Ups gadis pemburu gratis.

"Mak, aku bantu nyiapin piringnya!" aku menawarkan diri.

"Gak usah, Neng, nanti dicari pak kepala, lagi," tolak Mak Anis.

"Ya ... bantunya jangan banyak juga kali, Mak, cukup piring aku saja, ambil nasi sendiri, lauk sendiri, Mak Anis ladeni yang lain." Lagi-lagi Mak Anis jadi bahan candaanku.

"Neng Ci, makan di sini sama Aki, ada sambel dan ikan peda kesuakaanmu!" si Aki suami Mak Anis, berteriak dari arah dapur.

Gratis makan siang lagi. He ... he ...

Itulah caraku supaya disayang semua orang, membantu dengan ikhlas, bercanda dengan gaya sederhana.

Keberadaanku di kantor memberi kehangatan, keceriaan. Namun sayang itu hanya lima tahun saja. Aku memutuskan menikah dengan seorang laki-laki difabel. Minderkah aku? Tidak.

Hari pernikahan, sekolah memutuskan, anak-anak pulang lebih cepat, supaya bisa menghadiri dan menjadi saksi atas pernikahanku saat itu.

Hingga saat ini aku tidak pernah minder bersanding dengan seorang difabel. Tak jarang di depan publik kami tidak disapa oleh orang yang kami kenal. Kami maklumi, mereka malu. Akan tetapi kami juga sering disapa oleh orang tak dikenal.

Minderkah ketika mengajak anak-anak ke ruang publik bersama ayahnya yang difabel? Tidak.

Seandainya kami minder, kami akan mengurung diri di rumah. Hal ini tidak aku ajarkan kepada anak-anak, suami. Kami tidak pernah memaksa orang lain menerima kami.

Mereka memiliki hak untuk tertarik dengan kisah hidup kami, tapi tidak memiliki kewajiban peduli dan mencintai kami.

Lengkapnya ada di buku "Kalau Berbeda, Lalu Kenapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun