Aku bergaul dengan teman-teman yang kaya raya, lantas tidak membuatku ikut masuk ke gaya mereka, atau menjadikan aku lupa dengan teman-teman yang orang tuanya pas-pasan.
Ada seorang teman yang rumahnya berdekatan dengan sekolah, ekonominya lebih memprihatinkan dari orang tuaku. Ibunya selalu titip pesan supaya jam istirahat aku datang ke rumahnya sejenak. Tahu gak aku disuruh apa di rumahnya? Diajak makan siang dengan dadar telur dan kecap, sementara putrinya di sekolah bertingkah seperti orang kaya.
"Kenapa Mi, orang tua temanku, guru-guru, banyak yang mencintaiku dengan meminjamkan buku paket?" tanyaku suatu ketika pada Mimi.
"Itu salah satu doa Mimi, supaya anak-anakku di mana pun berada disayangi semua orang," jawabnya.
"Ci jangan minder berada di lingkungan bagus, tapi ingat posisi kita, harus tetap menjadi orang yang rendah hati!" pesan Mimi.
Hingga aku lulus, dan bekerja di SMAN tempat sekolah dulu, aku masih disayangi guru-guru yang dulu sering  dipinjami bukunya. Aku juga tidak lupa dengan pesan Mimi, harus tetap rendah hati.
Ketika bergaul dengan orang-orang besar, bergaul juga dengan orang kecil, karena aku berasal dari orang kecil, tidak memiliki apa-apa.
Nongkrong di depan sekolah bersama Aki baso, Aki bubur ayam, Mang siomay itu cara aku menyapa mereka. Mereka adalah pedagang kaki lima yang diperbolehkan jualan sekitar sekolah.
"Aki, basonya tanpa mangkok," candaku.
"Pasti mau makan bubur ya, Neng?" tanya aki bubur kegeeran.
"Boleh, Ki, gak pakai bubur."