"Iya".
 Mulutku terdiam dan bungkam.
 "Aku minta maaf ya kalo selama ini, aku selalu merahasiakan semuanya dari kamu. Mulai dari rangkaian bunga, surat dan cokelat yang kukirim untuk kamu. Aku tahu, kamu teman masa kecilku, teman masa SD. Hubungan kita dimasa SD pun kurang baik, aku suka ngisengin kamu, ngatain kamu dengan sebutan yang kupikir kurang layak untuk gadis secantik kamu. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku melakukan itu semua karena kamu selalu menghindar dariku. Akhirnya, kugunakan cara itu untuk mendekati kamu. Tapi, ternyata rencanaku gagal, kamu semakin jauh dan membenciku. Sejak perpisahan SD itu, aku berpikir akan dipertemukan denganmu kembali. Ternyata, Tuhan mempertemukan kita saat kelas 3 SMP, disaat yang tak diduga. Semenjak pertemuan itu, aku senang, namun aku bimbang".
 "Bimbang karena?".
 "Saat itu aku sedang menjalani hubungan dengan yang lain. Bimbang karena hubunganku dan dia kurang baik dan aku bertemu dengan cinta lamaku kembali, namun sebagai laki -- laki, aku harus memiliki sebuah komitmen. Kuputuskan untuk selalu menjaga komitmen dan hubungan kami. Namun, apa yang kulakukan ternyata sia -- sia. Ia justru membalas semua pengorbananku dengan sebuah pengkhianatan".
 "Pengorbanan? Pengorbanan apa yang kamu lakukan?".
 "Aku berusaha keras melupakan cinta lamaku yaitu kamu. Tapi, aku yakin, Tuhan memiliki rencana yang indah. Tuhan telah menunjukkan bahwa kamu adalah pilihanku selama ini".
 "Seberapa besar keyakinan kamu itu?"
 "Keyakinan itu hanya ada didalam hati dan tidak dapat direpresentasikan dalam ukuran nilai yang pasti. Aku enggak mau memberi sebuah janji, tapi tindakan yang kulakukan adalah wujud representasi keyakinanku sama kamu. Tapi, muncul satu pertanyaan besar dalam batinku, apakah aku akan menjadi pilihan kamu layaknya aku menjadikan kamu sebagai pilihanku?".
 "Kenapa baru sekarang? Aku menanti pertanyaan ini sejak beberapa tahun yang lalu?".
 "Maksud kamu?".