"Iya".
 "Dari siapa?".
 "Enggak tahu, dia enggak nyebutin namanya. Dia cuma titip ini buat kamu".
 "Ohh ... Oke, terima kasih ya?".
 "Sip!".
Kugenggam rangkaian bunga mawar merah yang cantik dan harum. Kubaca sepucuk surat yang terselip dalam rangkaian bunga yang ranum.
 "Aku memang bukan seorang penyair yang mampu merangkai kata -- kata indah. Aku hanyalah pengagummu yang berasal dari negeri antah berantah. Entahlah, apakah perasaan yang kurasa ini salah? Aku mulai resah, membuatku semakin gundah. Membayangkan wajahmu yang elok nan indah".
 Aku tersenyum dan berkata "Indah sekali rangkaian kata -- kata penulis surat ini. Terima kasih telah mengagumiku".
 Kupikir, hal ini akan terhenti saat itu saja. Ternyata, kejadian itu berlanjut. Hampir setiap hari, aku mendapatkan rangkaian bunga mawar merah disertai dengan rangkaian kata -- kata yang indah. Rangkaian bunga mawar ini, seakan menuntunku untuk menemukan belahan jiwaku. Tuhan, apakah ia yang telah Engkau kirimkan untuk mendampingiku dan satu untuk selamanya? Semoga ...
 Suatu hari, rangkaian bunga yang kunanti tak kunjung tiba. Hatiku bertanya -- tanya, "Tuhan, hari ini tak kudapat rangkaian bunga dan kata -- kata indah darinya, apa yang terjadi padanya,Tuhan? Apa yang kurasa saat ini?aku begitu mengkhawatirkannya, padahal aku tak pernah tahu siapa ia serta apa maksud dan tujuannya? Mungkin rasaku ini salah. Tapi aku yakin akan rencana -- Mu yang indah, Tuhan".
 Tepat pada hari ulang tahunku yang ke -- 19, kuterima kembali rangkaian bunga mawar itu. Namun, isi surat tersebut jauh lebih singkat, jelas dan padat tanpa ada rangkaian kata -- kata indah.