Banyak orang berasumsi bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah. Masa cinta putih abu -- abu bersemi. Percaya atau tidak, pada masa putih abu- abu segala macam problematika kehidupan seakan datang mendera dalam proses pendewasaan. Mulai dari problematika cinta hingga persahabatan. Mulai dari cinta monyet yang berawal dari persahabatan hingga cinta lokasi. Eiits ... cinta lokasi yang dimaksud karena kedekatan jarak yang sangat intens.
Kini, cinta yang kualami bukanlah cinta monyet ataupun cinta lokasi. Lah? Terus apa dong? Cinta diam -- diam. Mungkin wanita adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan penuh keistimewaan dan kelebihan. Mengapa demikian? Hal ini terkait cinta diam -- diam yang kualami pada masa putih abu -- abu. Seorang wanita pandai menyimpan perasaannya. Wanita pandai sekali menata perasaan dalam hatinya.
Namun, kisah cintaku dimulai bukan dari masa putih abu -- abu. Kisah cintaku dimulai dari masa putih merah atau masa SD. Aku memiliki seorang teman, temanku bernama Arie. Semasa SD, aku dan ia tak pernah akur. Setiap kali bertemu, ia selalu memanggilku dengan sebutan "Cacing", kubalas kembali cemoohannya dengan sebutan "Gorila". Aku selalu bertanya -- tanya, "mengapa ia selalu memanggilku dengan sebutan cacing? Pada masa itu, aku membenci semua tindakan dan perlakuannya padaku".
Pada masa putih biru, entah apa yang kurasa, aku merindukan orang yang kubenci. Kubuka kembali album kenangan masa SD, perlahan kubuka lembaran kenangan itu. Jariku sekaan terhenti dalam sebuah lembar kenangan bersama dengannya. Aku tersenyum kecil dan hatiku berkataÂ
"Mengapa aku sangat merindukannya?".
Aku berusaha mencari informasi tentang teman SD ku itu. Ego dan gengsiku masih tinggi, aku berusaha menggali informasi melalui teman dekatnya dengan berbagai alibi. Akhirnya, kini aku mengetahui jika ia meneruskan studi di pondok pesantren.
Dalam, momentum yang tak diduga dan tak disangka -- sangka, aku berjumpa dengannya. Aku terkejut dan tercengang, karena ia bukan orang yang kukenal dulu. Kini ia tampak lebih memiliki karisma yang membuatku terpesona. Aku masih menunjukkan ego dan gengsiku, aku tak boleh terkesan sangat merindukannya. Aku harus pandai menyimpan perasaanku ini.
Percakapan kami dimulai dengan kata sapa "Hai?".
"Apa kabar?".
"Baik".
Perlahan ia mendekatiku. Hatiku bertanya -- tanya "ada apa nih?"